Masa Depan NU: Tetap Jadi Buih atau Kembali sebagai Penggerak Perubahan?

Masa Depan NU: Tetap Jadi Buih atau Kembali sebagai Penggerak Perubahan?
Kiai Said vs Gus Yahya

Nalar Warga – Masa depan NU (Nahdlatul Ulama) akan ditentukan di Muktamar ke-34 Lampung. Perhelatan tertinggi lima tahunan ini akan menjawab apakah NU tetap menjadi buih yang hanya menarik buat para politisi atau menjelma kembali sebagai penggerak perubahan seperti pernah dilakukan Gus Dur.

Untuk menjawab itu, Luthfi Assyaukanie turut berbagi pandangan. Meski mengharapkan hal kedua, yakni sebagai penggerak perubahan, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang bakal memimpin organisasi masyarakat berbasis keagamaan ini ke depan.

Lewat unggahannya di media sosial, Luthfi sebelumnya merasa tidak kuat menahan diri untuk tidak menulis seputar NU. Jelang muktamar di Lampung minggu ini, timeline di media sosialnya berseliweran berita dan pernyataan seputar itu.

Namun, yang paling menarik baginya dari semua kabar tentangnya adalah kandidat Ketua Umum yang bakal memimpin nanti.

“Saya tidak mengikuti dengan detail siapa calon-calon ketum yang bakal meramaikan bursa pemilihan. Yang saya tahu, ada dua nama besar yang paling berpotensi memimpin jam’iyah ini, yakni KH Said Aqil Siradj, petahana yang sudah menjabat Ketum selama dua periode, dan KH Yahya Cholil Staquf yang kini menjabat sebagai Katib Aam di PBNU,” tulis Luthfi, Selasa (21/12).

Meski turut mendengar beberapa kandidat, Luthfi mengaku tidak terlalu akrab dengan nama-nama lain. Ia memilih mengabaikannya saja sebab NU adalah organisasi besar yang butuh pemimpin dengan kapasitas besar pula, sehingga nama-nama lain di luar Kiai Said dan Gus Yahya dianggap kurang layak diperhitungkan.

“Mereka bisa saja ikut bertarung untuk meramaikan pesta demokrasi yang dihelat kaum Nahdliyin itu. Seburuk-buruknya, jika kalah, mereka sudah bisa tampil di panggung yang penuh dengan sorot kamera.”

Dari kedua kandidat utama, Kiai Said vs Gus Yahya, siapakah yang paling layak memimpin NU ke depan?

Tanpa ragu, Luthfi memilih Gus Yahya sebagai nakhoda. Bukan hanya karena Kiai Said sudah memimpin jam’iyah ini selama dua periode, tetapi karena NU sekarang dinilai membutuhkan seorang sosok yang mampu membawanya satu langkah ke depan.

“Saya melihat tidak ada satu pun tokoh NU sekarang ini yang memiliki kualitas seperti itu selain Gus Yahya. Tidak juga Kiai Said.”

Baca juga:

Sejak ditinggalkan Gus Dur, kepemimpinan NU di mata Luthfi seperti berjalan di tempat. Tidak ada tokoh pengganti yang dianggap bisa menyamai sosok pembaru Islam paling berpengaruh di Indonesia itu, bahkan mendekati kualitasnya.

“Tidak KH Hasyim Muzadi, penggantinya, tidak juga Kiai Said.”

Sejak ditinggalkan Gus Dur, lanjut Luthfi, NU seperti kehilangan arah, tak puya karakter, dan mudah terombang-ambil. Satu-satunya kekuatan yang dimilikinya adalah jumlah anggota yang menjadi daya tarik sangat besar bagi politik nasional.

“Kiai Hasyim adalah seorang politisi yang tak punya visi intelektual apalagi visi kemajuan. Sementara Kiai Said lebih sebagai seorang kiai tradisional yang selalu kikuk berhadapan dengan dunia modern. Untunglah dia (Kiai Said) dikelilingi anak-anak muda cerdas di bawahnya.”

Luthfi pun menegaskan, NU mulai mendapatkan perhatian dunia internasional sejak dipimpin Gus Dur. Studi-studi tentang Islam Indonesia sebelum Gus Dur memimpin didominasi oleh kelompok-kelompok modernis yang hanya menampilkan organisasi masyarakat berbasis keagamaan ini sebagai sesuatu yang tidak menarik untuk dikaji.

Namun, setelah Gus Dur datang, jelas Lutfhi kembali, NU menjadi objek kajian yang seksi bagi dunia kesarjanaan. Puluhan sarjana di Amerika, Eropa, Australia, dan Jepang berlomba-lomba menulis tentangnya.

NU yang sebelumnya bisu, tak punya juru bicara, digambarkan tiba-tiba mencuat dengan sosok Gus Dur yang luar biasa. Bukan hanya mampu menjawab soal-soal non-agama, Gus Dur dilihat memiliki kemampuan berkomunikasi dengan sangat baik, termasuk penguasaan bahasa Inggris yang tak banyak dimiliki oleh orang-orang NU.

“Gus Dur adalah mesiah yang membawa NU dari kegelapan ke panggung penuh sorot cahaya.”

Meski menilai Gus Yahya tidak sama persis dengan Gus Dur, Luthfi yakin kualitasnya mendekati Gus Dur. Ia tidak mengenalnya secara personal, tetapi mengikuti kiprahnya dan mendengarkan pidato-pidatonya.

“Yahya Staquf adalah sosok yang pantas untuk memimpin NU. Seperti Gus Dur, ia lahir dari lingkungan darah biru NU. Juga seperti Gus Dur, dia pandai berkomunikasi, piawai berbahasa Inggris, dan mudah bergaul dengan siapa saja. Belum ada tokoh NU yang memiliki kecakapan paripurna semacam itu selain dia.”

Baca juga:

Dengan kemampuannya, nilai Luthfi, Gus Yahya bisa membawa Nahdlatul Ulama ke level yang lebih tinggi. Bukan hanya di pentas politik nasional, tetapi juga di panggung dunia.

“Sudah cukup lama NU tak memiliki jubir yang baik di dunia internasional. Kehadiran Gus Yahya bisa mengisi kekosongan itu.”