Masihkah Mahasiswa Menjadi Kekuatan Masyarakat Sipil?

Masihkah Mahasiswa Menjadi Kekuatan Masyarakat Sipil?
©Staiku

Tulisan ini dibuat untuk merespons diskusi di grup WhatsApp warga Muhammadiyah Sulawesi Tenggara. Keberadaan mahasiswa saat ini selalu menjadi perbincangan oleh banyak kalangan, mulai dari para aktivis, mantan aktivis, sampai pada masyarakat biasa.

Banyak kalangan yang menyoroti mahasiswa saat ini. Salah satu pertanyaannya yang sering ditanyakan ialah masihkah mahasiswa saat ini menjadi motor penggerak? Apakah mahasiswa masih menjadi bagian dari kekuatan masyarakat sipil? Apakah mahasiswa masih kritis terhadap berbagai kebijakan yang tidak pro dengan masyarakat banyak?

Pernyataan ini banyak bermunculan pada masyarakat yang pernah menjadi aktivis kampus. Biasanya celoteh yang mereka keluarkan adalah membanding-bandingkan gerakan yang dilalui dulu dan saat ini. Walaupun secara sosiologis, psikologi sangat jauh berbeda. Ada pepatah mengatakan setiap orang itu ada masanya, dan setiap masa punya orangnya. Pepatah sederhana yang penuh dengan syarat makna.

Pertanyaan di atas adalah bagian dari interupsi yang sebagian kalangan melihat gerakan mahasiswa yang tidak lagi menjadi bagian dari kepentingan rakyat. Contohnya, gerakan mahasiswa yang dibangun selalu dilatarbelakangi oleh kepentingan, baik kepentingan individu maupun kepentingan bohir (bakingan). Kenyataan ini tidak bisa terhindarkan ketika adanya isu-isu nasional yang semua kalangan mahasiswa tidak turun menggerakkan massa di lingkungan kampus maupun masyarakat.

Mengapa pengerakan mahasiswa begitu penting disoroti? Keberadaannya adalah tonggak berdirinya daya kritis dan penjaga eksistensi kehidupan masyarakat. Mahi M Hikmat menyebut mahasiswa sebagai iron stock yaitu penjaga nilai-nilai masyarakat yang kebenarannya mutlak, menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, gotong royong dan integritas (Hikmat, 2021: Jurnal Keadilan Pemilu Vol I).

Fenomena yang ada menunjukkan, mahasiswa masih menjadi alat penggerak dan kekuatan masyarakat sipil yang konsisten. Keberadaan mereka masih sangat relevan dengan keadaan masyarakat membutuhkan mahasiswa. Justru dalam pandangan yang ada, menunjukkan mahasiswa justru kurang fokus melihat realitas kehidupan yang ada. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan yang bersifat seremoni dan meninabobokkan. Juga didorong oleh pendidik (dosen) yang mendoktrin agar melaksanakan kuliah dengan baik agar cepat lulus.

Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Mahasiswa disibukkan dengan kuliah, tugas, praktik lapangan (doktrin kuliah yang baik dan tepat waktu) sehingga mahasiswa tidak memiliki kesempatan untuk melakukan konsolidasi. Jika demikian menjadi indicator mahasiswa dikatakan tidak lagi menjadi motor penggerak, saya kira ini adalah pernyataan yang benar. Karena kesibukan tugas dan masa studi yang singkat (5 tahun) menjadikan banyak mahasiswa yang berpikir dua kali untuk tidak melaksanakan kuliah dengan baik.

Tanpa disadari karena beban yang begitu banyak mahasiswa dimatikan daya kritisnya. Bayangkan mahasiswa saat ini dibebankan akadamik yang tinggi, masalah keuangan mahasiswa, tantangan karir dan masa depan, masalah mental dan sebagainya menjadi persoalan utama mahasiswa yang ahrus diselesaikan.

Sehingga, mahasiswa pada dasarnya masih memiliki daya kritis yang tinggi, hanya saja system yang dibuat menajdikan mahasiswa benar-benar di perhadapkan pada persimpangan jalan. Jalan untuk memilih berjuang untuk dirinya sendiri atau jalan untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat banyak.

Baca juga:

Membangun Kesadaran Mahasiswa

Justru yang patut dilakukan saat ini adalah membangun Kembali kesadaran mahasiswa secara total. Mahasiswa saat ini masih dalam keadaan setengah sadar, belum sepenuhnya memahami berbagai persoalan. Romantisme sejarah masih menjadi obat penenang gerakan mahasiswa. Sehingga dalam pandangan Eko Prasetyo mahasiswa harus terus bergerak sebagai identitas yang sandang oleh maha (siswa).

Membangun kesadaran adalah salah satu kunci keberlangsungan gerakan mahasiswa tetap terawat. Sebab jika kita merujuk kepada teori Faulo Preire yang membangi kesadaran manusia menjadi tiga bagian yaitu kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Merujuk teori tersebut, saat ini mahasiswa berada pada kesadaran naif yaitu manusia menyadari bahwa adanya penindasan, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh status quo, namun gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa gerakan yang itu hanya memiliki dampak secara pribadi atau kelompoknya.

Kuntowijoyo sendiri menjelaskan bahwa, gerakan pembebasan (liberasi) yang dilakukan tidaklah hanya berdampak kepada diri sendiri melainkan mampu menjadi kesadaran transpormatif yang membawa manusia bergerak untuk ikut terlibat melakukan perbuatan kebaikan. Inilah yang kemudian yang sejatinya dilakukan oleh gerakan mahasiswa saat ini. Tidak hanya sekadar, melakukan gerakan, namun mampu mengajak masyarakat banyak melakukan gerakan nyata.

Demikian sebagaimana dikatakan oleh A Watimena bahwa manusia itu bertindak sesuai kadar kesadaran yang dimiliki. Sehingga teramat penting membangun kesadaran ini sebagai wujud dari perubahan yang dilakukan.

Asman