Memaafkan Gus Yaqut, Menjaga Persatuan dan Kesatuan

Memaafkan Gus Yaqut, Menjaga Persatuan dan Kesatuan
©Kompas

Komentar netizen sudah seronoh sana-sini sejak Gus Yaqut bilang Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) hadiah khusus dari negara untuk NU (Nahdlatul Ulama)  dan bukan untuk Islam secara Umum, mulai dari menteri undian, menteri gak paham moderasi, sampai saran minum yakult tiap hari!

Boro-boro bicara moderasi antarberagama, moderasi intragama saja belum. Begitulah kiranya unek-unek dari warga non-NU, atau juga warga NU yang menyaksikan cacian yang berceceran di akun media sosial (medsos). Seandainya ada media “caci-maki” yang disediakan presiden untuk mengevaluasi kerja kabinetnya, Gus Yaqut pasti sasaran empuknya.

Kalau boleh ditebak, sekarang warga NU dan non-NU sedang dalam fase bongkar sejarah Kemenag di masa lalu. Bagaimana selayang pandang, tujuan, dan hal yang mendasari pendirian Kemenag dalam parlemen. Beruntung dari tilikan arsip sejarah kebenarannya bisa terkuak. Meski dalam haluan yang satu “mempertahankan” dan satu yang lain “menyudutkan”.

Bicara sejarah, begini alurnya:

Dahulu itu ada konsep dikotomisasi antara urusan agama dan negara. Pandangan ini beranggapan di mana negara hanya bentuk lembaga dalam ikhtiar pemenuhan hak dasar kemanusiaan sejak populernya episteme positivisme yuris di Eropa sana sekitar era Aufklarung. Sedangkan urusan agama dianggap hanya media tertib manusia (order) menengarai benturan masalah spiritual yang berseleweran antaragama (baca: Karangan Tersiar).

Konsep dikotomi itu mendasari usulan pertama yang disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin dalam siding BPUPKI 11 Juli 1945. Namun, rias politik menolak keberadaan Kemenag, utamanya dari salah satu anggota PPKI Mr. Johannes Latuharhary pada waktu itu.

Penolakan itu kembali menghadirkan luka bagi umat Islam setelah pembatalan Piagam Pancasila, keharusan warga Indonesia dalam melaksanakan syariat Islam. Karena hal itu dipandang sebagai sebuah jaminan dari negara. Layaknya kurang sah menjalankan syariat agama tanpa jaminan legal-formal dari negara.

Perjuangan Kemenag kembali diusulkan pada sidang KNIP pada 25-27 November 1945 oleh tokoh KNIP Banyumas, di antaranya K.H. Abu Dardiri, K.H. Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro dengan alasan yang sama agar tidak tumpang tindih antara urusan kenegaraan dan keagamaan.

Usulan ini menerima persetujuan dari KNIP Masyumi dan partai yang lain sehingga menghasilkan aklamasi sidang dengan pembentukan Kemenag untuk mengurusi hal yang menyangkut keagamaan warga negara.

Dari awal Kemenag memang hanya diperuntukkan bagi agama Islam. Terlihat dari bagaimana tokoh muslim yang memperjuangkannya pada waktu itu. Selain dalam rangka mengobati kekecewaan orang Islam terhadap pembatalan Piagam Jakarta, populasi kepercayaan beragama (terutama Islam) sangat tinggi, bahkan semua. Sehingga dipandang perlu pengurusan khusus untuk itu.

Baca juga:

Sekarang dapatkah dibenarkan jika Kemenag hadiah untuk NU bukan Islam secara umum?

Jika ditelisik dari sejarah tidaklah demikian. Begitu pun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1951 Pasal (3) di mana tupoksi Kemenag tercatat Membimbing, menyokong, memelihara dan mengembangkan aliran-aliran agama yang sehat—yang dalam arti agama yang seluas-luasnya. Bukan agama ini apalagi kelompok itu.

Terlepas dari itu semua, penulis berharap warga kita tidak baper dengan fantasi keagamaan Gus Yaqut di masa lalu. Mungkin beliau sekadar berfantasi dengan ide dasar Piagam Jakarta kemarin. Kekecewaan yang sempat menggores luka di hati para muslim, utamanya NU. Apalagi sampai menuai perpecahan. Mengapa demikian?

Fantasi Gus Yaqut itu bermuara pada konsep “dikotomi urusan agama dan negara” di atas karena dicatat langsung oleh K.H.A. Wahid Hasyim yang merupakan putra dari pendiri ormas NU, K. Hasyim Asyari. Beliau sebagai aktivis sosial menyadarkan kebutuhan Kemenag dalam parlemen negara yang basis kewarganegaraannya berada di atas keyakinan tuhan yang tunggal (baca: Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim).

Selain itu, pengorbanan Piagam Jakarta demi perdamaian umat beragama juga dilakukan oleh K.H. Wahab Hasbullah yang sekaligus salah satu pendiri NU. Beliau membatalkan sendiri keharusan syariat demi persatuan bangsa agar tidak terpecah belah.

Semua itu hanya sekadar fantasi. Orang boleh saja bertamasya ke masa lalu, mereplay jejak sejarah atau berfantasi dengan espektasi kemarin. Selama dalam batas kewajaran, tidak mengubah rekam kebenaran sejarah dan tidak melawan arah konstitusional, mengapa tidak?

Selanjutnya, Gus Yaqut dengan pernyataannya itu ingin menggambarkan moderasi beragama sebagai landasan persatuan kita dengan pemahaman ke-NU-an. Beliau tidak serta-merta menggunakan NU dalam arti organisasinya, melainkan kepada sifat ke-NU-an yang pluralis dan humanis dalam melihat keberagaman, sehingga berbagai hal harus dilihat dari konteks kenusantaraan.

Sebagai ormas terbesar di Indonesia, NU dalam pandangan Gus Yaqut memiliki beban sosial mengayomi ormas di bawahnya. Sehingga NU dihadiahi Kemenag oleh negara untuk mengemban tugas perdamaian antarumat beragama.

Pernyataan Kemenag hadiah negara untuk NU bukan Islam sebenarnya termaktub makna bagaimana tanggung jawab NU dalam membina persatuan agama agar tidak terjadi diskriminasi dan dominasi terhadap kelompok minoritas.

Pendeknya, NU mengemban amanah. Mentang-mentang kelompok mayoritas bisa seenaknya bergerak dengan leluasa, justru NU memiliki tugas yang lebih dari yang lain untuk membina kesatuan bangsa. Alasan ini sekaligus menjelaskan mengapa ungkapan Gus Yaqut, NU wajar memanfaatkan banyak peluang di Kemenag, karena di sana NU harus mengambil peran lebih untuk misi besar peradaban bangsa.

Baca juga:

Lebih jauh lagi, kembali pada masalah baper tadi, ungkapan Gus Yaqut itu jika ditelisik lebih dalam mengandung unsur “uji konsisten” terhadap moderasi beragama.

Dari respons berupa cacian warga dengan beragam variannya, dapat kiranya disimpulkan bahwa kita masih dalam tahap “prematur” dalam menyikapi isu-isu keberagaman. Bahkan gerak fantasi keagamaan di masa lalu, suasana sudah jadi ricuh tak terkendali.

Mari jaga persatuan dan kesatuan untuk merespons isu keberagaman dengan perasaan dan pikiran yang tenang, no baper!

A. Fahrur Rozi
Latest posts by A. Fahrur Rozi (see all)