Dalam dekade terakhir, isu kesehatan mental telah menjadi perhatian utama di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berbagai wacana mengenai pentingnya kesehatan mental muncul, membawa harapan bagi mereka yang selama ini terpinggirkan. Namun, di balik upaya mulia tersebut, terdapat benang merah kecurigaan yang patut diurai. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah wacana kesehatan mental ini tulus, ataukah sekadar alat politik dan sosial?
Kesadaran akan kesehatan mental tidak dapat dipungkiri. Masyarakat semakin peka terhadap dampak psikologis dari stres dan tekanan sosial. Banyak individu kini berani untuk berbicara tentang masalah yang selama ini dianggap tabu, seperti depresi dan kecemasan. Di sisi lain, munculnya wacana ini tampaknya juga menimbulkan kekhawatiran bahwa kesehatan mental hanya menjadi komoditas. Ketika pemerintah dan lembaga swasta terjun dalam wacana ini, terdapat potensi penyimpangan di mana niatan tulus dapat terdistorsi oleh kepentingan tertentu.
Aspek pertama yang perlu diperhatikan adalah bagaimana wacana ini dipromosikan. Banyak kampanye yang mengangkat isu kesehatan mental, tetapi sering kali mereka kurang menyentuh substansi yang mendalam. Misalnya, iklan layanan masyarakat yang menekankan pentingnya berbicara tentang perasaan dan mengakses bantuan sering kali hanya berfungsi sebagai gimmick. Sekadar menghadirkan poster-poster “Saya peduli kesehatan mental” tanpa didukung oleh program nyata dapat menciptakan ilusi bahwa masalah sudah teratasi, padahal faktanya sangat berbeda.
Lebih jauh lagi, ada ketidakmerataan dalam akses terhadap layanan kesehatan mental. Wilayah urban mungkin memiliki lebih banyak sumber daya, sementara daerah-daerah terpencil sering kali kekurangan tenaga profesional. Hal ini menciptakan jurang yang semakin lebar. Ketika pemerintah atau lembaga mengampanyekan pentingnya kesehatan mental tanpa mempertimbangkan aspek distribusi layanan, maka pesan tersebut menjadi tidak relevan bagi sebagian besar masyarakat yang memang sangat membutuhkannya.
Aspek lain yang menarik untuk dicermati adalah pengaruh budaya. Di Indonesia, stigma terhadap masalah mental masih mengakar. Sementara ada upaya untuk menghapus stigma tersebut, wacana yang berkembang tidak serta merta mengubah pola pikir masyarakat. Dalam banyak kasus, ketidakpahaman dan ketidakmampuan untuk menerima masalah kesehatan mental justru dipertahankan oleh norma-norma sosial yang telah ada. Masyarakat di beberapa daerah masih menganggap bahwa mereka yang mengalami masalah mental sebagai “orang gila”. Ini menjadi tantangan tersendiri ketika mengimplementasikan program-program kesehatan mental yang inklusif.
Selain itu, ada pula bahaya manipulasi politik di balik isu ini. Wacana kesehatan mental dapat digunakan sebagai alat untuk meredakan ketidakpuasan sosial atau menyalurkan kemarahan masyarakat pada isu-isu lain. Dalam konteks ini, pemerintah dapat mengalihkan perhatian publik dengan memperbincangkan kesehatan mental sambil mengabaikan isu-isu yang lebih mendesak, seperti kemiskinan, diskriminasi, dan korupsi. Dengan mem-posting berbagai inisiatif atau program kesehatan mental, perhatian masyarakat dapat tersedot, mengalihkan sorotan dari masalah yang lebih mendasar.
Dalam beberapa tahun terakhir, kehadiran influencer di media sosial juga memperparah persoalan ini. Banyak dari mereka yang tampil sebagai “advocator” kesehatan mental, tetapi terkadang hanya sebagai bentuk pencitraan. Kesehatan mental menjadi tren yang “hip” untuk dibicarakan, tetapi sering kali tidak diiringi dengan pemahaman yang mendalam. Ini bisa berbahaya karena pesan yang disampaikan menjadi tidak konsisten dan bahkan menyesatkan. Influencer yang tidak memiliki latar belakang atau pengetahuan yang kuat tentang kesehatan mental seharusnya lebih berhati-hati.
Jika kita benar-benar ingin memahami dan mengatasi permasalahan kesehatan mental, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Pertama-tama, pendidikan tentang kesehatan mental harus dimasukkan ke dalam kurikulum nasional. Selanjutnya, akses ke layanan kesehatan mental harus diperluas, tidak hanya di kota besar tetapi juga di daerah-daerah terpencil. Dan yang tak kalah penting adalah upaya untuk menginternalisasi pemahaman bahwa kesehatan mental bukanlah masalah individu semata, melainkan tanggung jawab bersama.
Dalam upaya ini, penting untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Kerja sama antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil sangat krusial. Dengan kolaborasi ini, kita dapat membangun landasan yang kuat untuk diskusi tentang kesehatan mental yang berfokus pada individu, tanpa melupakan konteks sosial dan budaya yang melatarbelakangi masalah tersebut.
Akhirnya, kita perlu menaruh curiga terhadap setiap wacana yang muncul sehubungan dengan kesehatan mental. Apakah kita benar-benar ingin memahami dan membantu mereka yang tertekan, atau apakah kita sekadar mengikuti arus tren demi kepentingan politik dan sosial? Pertanyaan ini harus terus bergulir dalam benak kita, karena jawabannya akan menentukan arah kebijakan dan penanganan kesehatan mental di negara ini.






