
Dalam merespons ulang tahun Sulawesi Barat, Salimerah Institute mengadakan kuliah tamu dengan tema Anak Tidak Sekolah (ATS) dalam momentum ulang tahun Sulbar; sebuah refleksi 17 tahun. Kuliah tamu ini diadakan Jumat, 8 Oktober 2021, bertempat di Centralismo, Lampa, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Diskusi ini menghadirkan Nehru Sagena, seorang praktisi program penanganan ATS.
Aku dengan beberapa sanak keluarga dan teman pun datang ke Centralismo, sebuah ruang diskusi bersama, perpustakaan, dan toko buku. Walau terlambat, kami disambut sang pemiliknya, Andi Undu Mappatunru. Di awal sebelum Nehru memaparkan materinya, kami saling mengenalkan diri sebagai peserta kuliah tamu ini. Beliau pun memperkenalkan dirinya yang sering dianggap bukan orang Mandar.
Nehru memaparkan data-data banyaknya angka ribuan anak putus sekolah pada 2004 di Sulbar. Beliau mengatakan dengan menyasar dua kecamatan di Sulbar ditemukan fakta bahwa di Kecamatan Tinambung tercatat 1.066 orang dari 2.149 anak usia 7-18 tahun tidak bersekolah. Sedangkan, di Kecamatan Tapango, sebanyak 900 orang tidak sekolah dari 1.261 anak usia sekolah.
Angka yang mencengangkan tentang putus sekolah di Kecamatan Tinambung dan Tapango itu merupakan hasil pendataan Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM) tahun 2004 kerja sama Pemkab Polmas-Unicef yang disosialisasikan di Tinambung dan Tapango. Hal ini kemudian menjadi starting point penanganan anak putus sekolah di seluruh Indonesia.
Lebih lanjut, dari presentasinya, beliau mengambil sumber dari surat kabar harian Fajar, Jumat, 24 Desember 2004, dari artikel yang berjudul “Ribuan Anak Putus Sekolah”. Artikel ini juga mengungkapkan bahwa penyebab anak tidak bersekolah paling banyak karena soal biaya, karena ekonomi yang mencapai 29,38% di Tinambung dan Tapango sebanyak 42,20%. Kemudian alasan lainnya adalah alasan yang kurang jelas, seperti sekolah jauh, merasa pendidikan yang diperoleh sudah cukup, dan disebabkan pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur.
Nehru pun menjelaskan bahwa siapa saja yang termasuk anak tidak sekolah itu adalah: tidak atau belum pernah sekolah, baik di jenjang SD/MI sederajat, SMP/MTS sederajat, SMA/MA sederajat, termasuk di sekolah nonformal dan informal; kemudian lulus tapi tidak lanjut ke jenjang selanjutnya, transisi dari jenjang ke jenjang; dan putus sekolah atau DO di tengah-tengah pendidikan.
Saat itu, mata kita dibuka oleh banyaknya data yang dipaparkan oleh pemateri tentang banyaknya kasus anak putus sekolah di Sulbar padahal wajib belajar sudah dicanangkan oleh pemerintah selama 9 tahun. Belum lagi aturan-aturan yang mendukung untuk “belajar” seperti Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 31. Undang-Undang 20/2003 Pasal 6 Ayat (1) tentang Sistem Pendidikan Nasional sampai pada PP 47/2008 tentang Wajib Belajar.
Beliau juga menjelaskan wajib belajar ini bisa ditempuh di berbagai jalur pendidikan. Ada tiga (3) jalur pendidikan. Pertama, pendidikan formal, yaitu dari PAUD hingga pendidikan tinggi. Kedua, ada pendidikan non-formal yang bisa ditempuh pada satuan pendidikan seperti lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, PKMB, dan sebagainya, termasuk juga dengan program-program semacam keaksaran, kesetaraan, dan sebagainya. Yang terakhir, ketiga, adalah pendidikan keluarga dan lingkungan (kegiatan belajar mandiri).
Bagaimana Sulawesi Barat setelah 17 Tahun?
Nehru Sagena kemudian mengatakan bahwa saat ini 10 provinsi dengan peserta diterima terbanyak di UTBK-SBMPTN 2021, Sulbar menempati posisi ke-7 dengan total peserta yang diterima sebanyak 8.028 orang. Sehingga, capaian pembangunan manusia di Provinsi Sulbar yang terus membaik dalam satu dekade terakhir (2010-2020) walau masih di dalam posisi lima besar dari bawah.
Pada 2012, sebanyak 2.316 anak kembali ke sekolah. Polman kemudian mencetak rekor MuRi sebagai daerah terbanyak yang sekolahkan anak putus sekolah. Lalu diikuti juga oleh Mamuju. Sehingga pada akhirnya gerakan kembali bersekolah di Polman dan Mamuju di Sulawesi Barat menginspirasi Indonesia. Kemudian Gubernur Sulbar launching pencanangan portal-ATS, dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat membuat sosialisasi dan pelatihan pendataan SIPBM.
Baca juga:
- Polman Peringkat I Angka Putus Sekolahnya
- Guru Honorer Tak Digaji, Penyelenggaraan Pendidikan di Sulbar Gagal
Belajar dengan Nehru hanya berlangsung secara singkat, kurang lebih sejam, beliau buru-buru ke Mamuju. Padahal, beberapa teman berharap bisa berdiskusi lebih lanjut dan lama dengan beliau.
Menurut teman-teman, beberapa hal tentang pendidikan belum ter-cover oleh beliau, wacana pendidikan di Sulbar yang dijelaskan masih fokus pada pendidikan di sekolah padahal belajar di tempat lain yang nonformal dan informal sudah banyak tersedia di Sulbar. Kami berharap bisa bertemu dan “ngobrol” banyak dengan beliau. But anyway, terima kasih, Nehru, sudah berbagi ilmu dan pengalamannya yang membuka mata hati, pikiran, dan perspektif kami tentang pendidikan di Sulbar.
Akhirnya, ketika kuliah ini berakhir, kami sesama peserta kuliah tamu ini menjadi sibuk berdiskusi tentang pendidikan di Sulbar hari ini. Kami berharap, diskusi ini tidak terbatas pada hari ini saja namun tetap berlanjut. Bukan hanya di Centralismo sebagai penyedia ruang belajar hari ini, namun juga di ruang-ruang yang lain.
Ke Sekolah, Apa yang Kau Cari?
Aku pribadi sebagai orang Mandar banyak sekali menjumpai beberapa kasus tentang banyaknya anak yang putus sekolah. Apalagi di daerah pesisir, keluarga-keluarga nelayan. Anak-anak nelayan yang biasanya ketika ditanya mau jadi apa kalau besar nanti, apa cita-citanya, mereka dengan otomatis menjawab akan menjadi nelayan (posasiq).
Anak-anak nelayan, ketika baru beberapa tingkat di sekolah dasar atau tamat di sekolah dasar, dengan senang hati pergi melaut dengan ayah atau paman mereka. Mereka biasanya memang sudah terlatih dan dilatih oleh orang tuanya untuk menjadi nelayan dengan diajak melaut.
Belajar di lembaga formal terkadang hanya sekedar saja, yang penting sudah bisa membaca dan menulis. Ataupun belajar nonformal seperti mengaji walau terkadang juga diajarkan oleh keluarga mereka sendiri yang pintar dalam membaca aksara arab ini. Karena yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana mereka bisa “mencari makan” (mencari ikan) untuk masa depan mereka. Kehidupan sebagai nelayan adalah kehidupan mereka dan kami saat ini hanya bisa “diam dan berdoa”.
- Konstruksi Kewalian Imam Lapeo di Masyarakat Mandar - 3 November 2023
- Kakek Bantal, Aku Datang! - 31 Oktober 2023
- Kita ke Mana? Ke Wali Tosora-lah! - 19 Oktober 2023