
Salah satu kiai di Sumenep memiliki keinginan untuk menyatukan Nahdlatul Ulama (NU) dan FPI—saya kurang tahu sejak legalitasnya dicabut, kepanjangan FPI jadi apa—dalam satu ikatan. Bisa dibilang sebuah perjodohan. Mungkin, keinginan semacam ini juga lahir dari yang lain, mengingat di antara NU dan FPI kadang terjadi gesekan, dan harmonisasi keduanya kita harapkan bisa jadi jalan keluar.
Sampai sekarang, kiai yang memiliki niat baik tersebut juga aktif di kedua organisasi ini. Di Pimpinan Cabang Nahdhatul Ulama beliau menjadi anggota pengurus, sedangkan di FPI sendiri terangkat sebagai ketua cabang Sumenep. Dua hal yang membuat saya terkejut. Pertama, setelah tidak memiliki legalitas setelah dicabut oleh pemerintah, FPI ternyata masih eksis bahkan mengalami regenerasi kepengurusan. Kedua, aktif di kedua organisasi ini sekaligus bagi saya adalah tantangan, dan beliau bisa menjalankannya.
Namun—saya mendengar dari salah seorang santrinya—beliau memiliki prinsip bahwa beliau akan memilih untuk hengkang dari organisasi yang tidak menyukai keberadaannya. Maksudnya, jika NU tiba-tiba mengusirnya karena statusnya tergabung dengan kelompok FPI, maka dia akan hengkang dari NU, begitu pun sebaliknya, jika FPI tidak suka dengan status gandanya, dia akan memilih meninggalkan FPI. Sekadar informasi, saat ini beliau juga aktif menjadi pengasuh salah satu pesantren salaf terkenal di Sumenep.
Akankah Berjodoh?
Jodoh siapa yang tahu? Mungkin kalimat ini juga pantas tersematkan pada keinginan untuk menggabungkan kedua organisasi ini.
Saya sebenarnya mengapresiasi keinginan baik untuk menjodohkan NU dan FPI, setidaknya mengharmoniskan dua organisasi tersebut. Namun, di satu sisi, saya masih cenderung pesimis akan hal itu. Dalam otak saya, rasa-rasanya tidak mungkin hal itu terjadi.
Tentu beberapa hal melatarbelakangi rasa pesimis yang saya rasakan. Salah satunya adalah realitas mengenai hubungan NU dan FPI sejauh ini. Saya tidak akan membahas mengenai perbedaan dua organisasi ini dalam politik elektoral, berbeda pandangan politik elektoral bisa saja terjadi, bahkan dalam internal NU atau FPI sendiri.
Di beberapa hal, NU dan FPI memiliki kesamaan, seenggaknya sebagai kabar baiknya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa FPI itu adalah anak dari NU. Meskipun, kalimat tersebut terdapat aneksi yang kurang mengenakkan, yakni ‘anak bandel’.
Secara amaliyah ubudiyah, NU dan FPI sama-sama tahlilan, sama-sama qunutan, sama-sama suka ziarah kubur, rakaat tarawihnya sama, 20 rakaat. Dalam hal ini NU dan FPI memang sepaket dan sepakat. Tentu keduanya menentang agenda purifikasi dalam Islam yang selalu kelompok Islam puritan usung, sebut saja HTI. Dalam dua organisasi ini, apa yang kita sebut orang-orang sebagai bid’ah dan tahayul masih lestari. Ini kesamaan pertama.
Baca juga:
Kedua, secara fikrah. Di sini saya membaginya menjadi dua fikrah, fikrah diniyyah dan fikrah siyasiyah, paham keagamaan dan paham politik. Secara fikrah diniyyah, NU dan FPI lagi-lagi akur. Hal itu bisa kita lihat dari landasan yang keduanya gunakan dalam bidang Fikih, Tauhid, dan Tasawuf. Dalam bidang Fiqih, keduanya sepakat dengan Imam Syafii, di bidang Tasawwuf berlandaskan kepada Imam Ghazali, sedangkan dalam bidang Tauhid sama-sama mengikuti Abu Hasan Al-Asy’ari. Ada kesamaan lagi.
Lalu, apa yang membuat saya tidak yakin? Sejak lama, FPI sudah sering melukai hati warga NU. Sejak bagaimana Habib Rizieq Syihab (HRS) menyebut Gus Dur (cucu pendiri NU) buta mata buta hati. HRS tentu melukai perasaan tidak hanya dalam keluarga Gus Dur, namun perasaan warga Nahdliyin secara umum.
Tidak hanya berhenti di situ, saat ini, beberapa kiai NU, sejak K. Aqil Siradj sampai Habib Luthfi kerap menerima ujaran tidak sedap dari FPI. Ini alasan saya mengatakan keduanya akan sulit untuk harmonis, apalagi bersatu.
Selanjutnya, secara Fikrah Siyasiyah (pemikiran/paham politik), NU dan FPI juga sering bentrok, bahkan selalu kontradiktif. NU mengakui dan menyatakan final Pancasila dan NKRI. Sedangkan, FPI selalu mengusung agenda NKRI bersyariah. Pancasila juga kerap mereka tantang dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran agama. Mereka—dalam hal ini—sejalan dengan kelompok Islam puritan, seperti HTI.
Terakhir, NU dan FPI juga tidak memiliki kecocokan dalam harakah. NU dalam dakwahnya selalu tunduk pada konsep moderat, tawazun, dan tasamuh. Berbeda jauh dengan FPI yang selalu tampil dengan tindakan anarkis.
Agenda formalisasi syariah Islam juga selalu kelompok FPI gaungkan, lagi-lagi mereka seolah satu komando dengan kelompok transnasional Islam. Realitas lain adalah ketika HRS menolak wacana Islam Nusantara, bahkan menentangnya.
Fakta-fakta di atas yang membuat saya tidak yakin NU dan FPI akan berjodoh. Sekalipun bisa, mungkin saja dengan keterpaksaan dan dengan cara yang sangat sulit. Untuk menjodohkan keduanya, tentu harus melalui persetujuan kedua belah pihak dan menyamakan persepsi, termasuk dalam fikrah siyasiyah dan harakahnya.
Tidak hanya itu, jika ingin menyatukan keduanya, luka-luka lama yang bersarang antara satu sama lain juga mesti kita hapus, dan itu sulit.
Baca juga:
- Menakar Kedewasaan PDIP - 13 Agustus 2023
- Pilpres 2024, Oposisi Biner, dan Dikotomi Politik yang (Telanjur) Klise - 18 Mei 2023
- Spektrum Politik Identitas: Sikap Gentle ala Partai Ummat - 11 Maret 2023