Menulis sebagai Laku Berpikir

Menulis sebagai Laku Berpikir
©Ellenconny/Wordpress

Sebagai seorang penulis, satu hal yang mesti kita pertegas: bahwa menulis itu adalah juga laku berpikir. Orang tidak bisa menulis tanpa melibatkan pikiran. Dalam arti, memikirkan pembacanya, bukan hanya kepentingan diri si penulis sendiri.

Melibatkan pikiran berarti merefleksikan kegelisahan-kegelisahan. Refleksi darinya itulah yang kemudian tertuang dalam bentuk narasi tulisan. Jadi, tanpa laku berpikir, mustahil kerja-kerja berkarya itu bisa terwujud.

Selain melibatkan pikiran dalam kerja berkarya ini, sebagai pendorong terefleksikannya kegelisahan menjadi gagasan, beberapa hal lain juga patut kita tegaskan di sini. Salah satu yang juga begitu penting adalah “how to write”.

Banyak orang berpikir bahwa menulis hanya tentang menuangkan ide/gagasan di secarik kertas. Ini kiranya terlalu menyerderhanakan. Sebab ibarat sebuah sistem, ada sejumlah kaidah yang tidak boleh kita langkahi. Ya, sejengkal pun!

Umumnya, bagian suatu tulisan ini terdiri dari tiga unsur, yakni pembuka, isi, dan penutup. Ini merujuk pendapat Ayu Utami, novelis kenamaan asal Indonesia, yang ia sebut sebagai struktur narasi.

Meski tampak begitu sederhana, tetapi membangunnya dalam satu kesatuan yang sinergis adalah kerja yang tak semudah membalik telapak tangan.

“Menulis itu seperti bercinta. Itu sebab tiap struktur narasi yang ada harus bermakna: harus meninggalkan kesan, momen-momen yang nantinya akan orang kenang.”

Bisalah pendapat di atas kita artikan bahwa jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi dalam struktur narasi, bisa kita pastikan bahwa refleksi gagasan yang kita tuangkan dalam bentuk tulisan belum layak kita katakan sebagai sebuah tulisan. Artinya, proses bercinta itu telah gagal. Sia-sia sebab tanpa jejak yang ia tinggalkan.

Baca juga:

Tapi, kalaupun ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka hal selanjutnya yang patut kita cermati adalah apakah tiap-tiap struktur narasi yang kita bangun itu berkualitas atau tidak.

“Sering ada tulisan yang punya alur atau struktur yang lengkap. Tapi apakah ia punya mutu, berkualitas? Ini yang selanjutnya harus kita cermati. Kita boleh beropini, tapi mutunya harus kuat.”

Untuk itu, beberapa kesalahan yang lumrah kita dapati di sebuah tulisan harus mendapat pencermatan sedetail mungkin, seperti aspek tema, isi dan fokus gagasan, serta argumen dan data-data pendukungnya. Kesemuanya ini, menurut Ayu Utami, mesti saling menguatkan satu sama lain.

Aspek Lain

Hal lain yang juga sering jadi kesalahan dalam menulis adalah pengulangan kata-kata sifat dalam kalimat. Meski tak terlalu menekankan ini, sebab yang terpenting dari semua itu adalah tampilnya kematangan ide di tiap paragrafnya, ia cukup memengaruhi ketika terpublikasikan dan dibaca secara luas—aspek estetika yang memungkinkannya.

Terakhir, dan ini yang sering kurang mendapat perhatian, adalah soal kesalahan eja/tata bahasa.

“Tulisan yang masih banyak kesalahan eja dan tata bahasanya itu tak jauh beda dengan orang yang belum sikat gigi. Banyak jigongnya.”

Karena itu, sebelum memublikasikan atau mengirimkannya ke media massa, misalnya, sedapat mungkin kesalahan-kesalahan kecil seperti itu kita minimalkan.

“Jangan sekali-sekali menyuruh editor memperbaiki tulisan Anda. Jadilah editor untuk diri sendiri. Baca dan edit kembali tulisan sebelum kamu kirimkan.”

Hemat kata, sikat gigilah sebelum bertemu editor. Dan terpenting dan paling utama, berpikirlah; sebab menulis adalah juga laku berpikir.

Baca juga: