Menyelamatkan Naluri Kemanusiaan

Menyelamatkan Naluri Kemanusiaan
Ilustrasi: twicopy.org

Nalar Warga – Bisa dimaklumi kalau radikalis “pilih kasih” ketika save ini atau itu. Motivasi kemanusiaan-nya juga sangat layak dipertanyakan. Yang kelihatan jelas malah eksploitasi isu untuk kepentingan agendanya sendiri, entah menyerang pemerintah atau memprovokasi konflik SARA di Indonesia, atau keduanya sekaligus.

Yang agak sulit dipahami adalah kalau mereka yang memosisikan diri di kelompok humanis malah juga ikut pola-pola kayak radikalis.

Humans are still humans whoever they are, wherever they are. Eksploitasi genosida, kejahatan atas kemanusiaan luar biasa dalam ukuran HAM, apalagi sampai membenarkannya—untuk sekadar bilang bahwa radikalis itu standar ganda, pilih kasih, dan sebagainya, saya kira, juga sikap yang merendahkan human dignity.

Yahudi di Jerman pernah menjadi korban genosida. Juga bangsa Armenia oleh Turki Usmani, suku Tutsi oleh suku Hutu di Rwanda, Bosnia oleh Serbia.

Dalam batas-batas tertentu, etnis Tionghoa di Indonesia juga mengalami perlakuan yang mengarah pada genosida dalam kerusuhan 1998. Dan itu juga yang sedang terjadi sekarang ini di Myanmar atas Rohingya.

Setiap genosida tentu punya latar belakang masalahnya yang kompleks. Ia berakar jauh ke belakang secara historis.

Yahudi di Jerman adalah masalah bagi Hitler dan ultranasionalis Jerman. Bukan semata-mata karena mereka Yahudi, tapi juga karena faktor-faktor ekonomi politik dalam situasi Jerman yang kalah perang dan membutuhkan kebanggaan atas nasionalisme Jerman untuk bangkit.

Juga mobilisasi besar-besaran Yahudi di Palestina oleh Inggris yang membangkitkan nasionalisme Arab Palestina punya kemiripan dengan mobilisasi besar-besaran penduduk Bengal—yang kini menyebut diri sebagai etnis Rohingya—juga oleh Inggris, yang membangkitkan nasionalisme Myanmar.

Kemiripan juga ditemukan dalam kasus mobilisasi Tionghoa oleh Hindia Belanda, yang hingga kini menyisakan sentimen anti-Cina di sebagian warga Indonesia.

Banyak konflik yang terjadi sekarang adalah warisan permasalahan era kolonial. Persisnya ketika penguasa kolonial menyusun ulang populasi di wilayah koloninya dengan mendatangkan imigran dari wilayah koloninya yang lain untuk kepentingan agenda kolonial.

Buruk bagi kemanusiaan, beberapa konflik berakhir dengan genosida atas nama nasionalisme, atau minimal serangan militer atas kelompok-kelompok yang menolak integrasi ketika suatu negara baru pasca-kolonial dideklarasikan (ini yang terjadi di Indonesia dalam konteks DOM di Aceh, operasi militer di Timtim, dan operasi militer di Papua).

Apakah mengatakan save ini atau itu menyelamatkan mereka yang sedang dinistakan sebagai manusia? Mungkin tidak. Tapi, setidaknya itu menyelamatkan naluri kemanusiaan kita sebagai manusia.

Di situlah mereka yang humanis membedakan diri dari mereka yang radikalis, yang berbicara atas nama sektarianisme, apakah sektarianisme agama, sektarianisme suku, atau sektarianisme kebangsaan.

*Amor Fati

Artikel Terkait:
Warganet
Latest posts by Warganet (see all)