Menyongsong Pilpres 2024 dan Pemimpin Harapan Rakyat

Menyongsong Pilpres 2024 dan Pemimpin Harapan Rakyat
©Perludem

Minggu (14/08) lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi menutup pendaftaran calon partai politik peserta pemilu. Tercatat ada 40 partai yang mendaftar dari awal pembukaan (01/08) hingga akhir, namun yang lolos ke tahap verifikasi administrasi hanya 24 partai politik.

Proses verifikasi kini sedang digelar oleh KPU hingga nanti hasilnya akan diumumkan 14 September mendatang. Nantinya, parpol yang lolos verifikasi administrasi akan ditetapkan secara sah oleh KPU sebagai peserta pemilu 2024.

Terlepas daripada itu, suatu hal yang menarik jika berbicara soal pemilu di negeri ini ialah mengapa dukungan rakyat terhadap proses politik lebih tertuju pada figur dibanding platform partai?

Apalagi jika melihat fenomena politik akhir-akhir ini, meskipun gencarnya pemberitaan media ihwal konsolidasi, koalisi, ataupun konspirasi sampai korupsi yang dilakukan oleh para elite partai. Rakyat cenderung apatis melihat itu dan kesadaran politik mereka hanya tertuju pada persoalan siapa tokoh yang layak untuk memimpin.

Situasi di lapangan pun berkata demikian. Kini, di mana-mana bisa dilihat ada berbagai macam relawan non-partai yang sedang mengampanyekan kelayakan figurnya masing-masing yang akan diusung di 2024 nanti.

Situasi politik Indonesia yang lebih tertuju pada figur ini pun turut digoreng habis-habisan oleh para lembaga survei yang mengangkat elektabilitas tokoh. Sepertinya, elektabilitas atau kompetensi untuk dipilih menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan adalah kunci keberhasilan dalam pilpres.

Namun, realitas yang terjadi menurut penulis sepertinya “elitabilitas” atau tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang hanyalah hasil rekayasa di lingkungan elite yang bisa jadi dilegitimasi oleh lembaga survei yang didanai oligarki. Dan pada akhirnya rakyat dipaksa memilih sodoran figur yang digoreng oleh lembaga-lembaga survei.

Jika benar demikian, maka hal ini tentu mencederai alam demokrasi yang sehat dan berkeadaban politik, serta seolah-olah kita semacam dalam situasi krisis kepemimpinan.

Baca juga:

Kondisi Kepemimpinan di Indonesia

Istilah “kepemimpinan”, dalam kamus bahasa Indonesia, berasal dari kata “pimpin” yang mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan kata “pemimpin” itu sendiri mempunyai makna “orang yang memimpin”. Jadi, kepemimpinan adalah cara untuk memimpin.

Kepemimpinan dapat juga diartikan sebagai proses atau kemampuan memengaruhi, memberi inspirasi, dan mengarahkan tindakan seseorang atau kelompok melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Dalam konteks negara, kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat penting, sebab kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran rakyat bergantung pada kepemimpinan tersebut. Oleh karena itu, pemimpin mempunyai tanggung jawab, baik secara moral maupun politik, terhadap keberhasilan aktivitas pengelolaan negara.

Dalam usia yang berjalan menuju satu abad, Indonesia sebagai bangsa yang merdeka belum juga mampu memenuhi cita-cita kemerdekaan bagi rakyatnya. Keadilan dan kemakmuran yang selalu dijanjikan pemimpin negeri ini, pada faktanya, masih saja menjadi ilusi bagi rakyatnya.

Di Indonesia, ada 7 presiden yang pernah memimpin dengan gaya kepemimpinannya masing-masing. Mulai dari kepemimpinan Presiden Soekarno yang karismatik hingga Jokowi yang partisipatif-transformasional, namun tampaknya kondisi negara kita belum beranjak menuju cercah yang harmoni. Maka muncul pertanyaan, ke mana para pemimpin di negeri ini membawa negara ini melaju?

Sang “Muazin Bangsa”, almarhum Buya Syafii Maarif, dalam bukunya “Mencari Auntentisitas di Tengah Kegalauan”, mengatakan bahwa salah satu faktor kunci keberhasilan Indonesia sebagai sebuah bangsa terletak pada faktor kepemimpinan.

Menurutnya, dalam usia yang beranjak menuju satu abad, Indonesia masih minim bahkan tidak ada sama sekali pemimpin yang merupakan seorang “negarawan” yang punya visi jauh ke depan. Yang ada dan banyak ialah para “politikus rabun ayam”, yaitu mereka yang jangkauan penglihatannya hanya sebatas pemilu (pendek), dengan sebuah harapan meraih posisi demi perbaikan ekonomi dan prestise pribadi atau kelompok.

Bangsa ini menurutnya benar-benar telah kehilangan keteladanan sampai ke tingkat yang paling bawah. Hal ini pada gilirannya akan menghasilkan kekacauan di berbagai tempat. Sebab, para pemimpin tidak lagi mengindahkan keadilan bagi seluruh rakyatnya sebagaimana amanat Pancasila, tetapi sibuk dengan kepentingan masing-masing.

Halaman selanjutnya >>>