Merleau-Ponty, Kekerasan dan Pengalaman Kebertubuhan Manusia

Merleau-Ponty, Kekerasan dan Pengalaman Kebertubuhan Manusia
©The Columnist

“The body is our general medium for having a world.” – Merleau-Ponty

Tubuh manusia merupakan alat untuk mengetahui dan merasakan beragam peristiwa melalui apa yang disebut oleh Merleau-Ponty[i] sebagai persepsi murni (pure of perception). Konsep tersebut dikenalkan dalam bukunya berjudul Phenomenology of Perception yang mendeskripsikan bahwa persepsi senantiasa diserap oleh subjek akibat relasi intensional terhadap hal-hal yang terjadi di luar dirinya dan kemudian akan dirasakan oleh seluruh tubuh manusia serta dapat memengaruhi perjalanan hidupnya.

Menurut Merleau-Ponty, ketubuhan manusia memiliki dualitas yang berperan sebagai subjek sekaligus sebagai objek yang berarti. Sebagai contoh, manusia dapat memegang (subjek-tubuh) atau dipegang (objek-tubuh) dalam waktu yang bersamaan.

Selain persepsi murni, dalam bagian lain buku tersebut, Merleau-Ponty mendeskripsikan pengalaman rasa (sense experience) dalam berketubuhan yang merupakan sarana bagi berlangsungnya pengalaman perseptual.

Beberapa studi tentang konsep persepsi dan kebertubuhan menyebutkan bahwa tubuh, dalam definisi Merleau-Ponty, dipahami sebagai subjek persepsi di mana diri manusia senantiasa terhubung dengan dunia (Sebastian, 2016; Putri, 2018; Kurniawan, 2019; Azisi, 2020). Persepsi tersebut secara radikal berbeda dengan pengetahuan absolut.

Persepsi dalam pengertian Merleau-Ponty merupakan determinasi di dalam ambiguitas eksistensi manusia. Sebastian (2016) menggambarkan keberatan Merleau-Ponty terhadap pengetahuan absolut yang termaktub dalam konsep empirisme dan intelektualisme.

Empirisme mendeskripsikan bahwa sensasi berasal dari subjek, sedang Merleau-Ponty berasumsi bahwa gagasan tersebut dari luar (persepsi) memang tampak seperti yang dideskripsikan. Namun, ia berpendapat bahwa dari dalam, persepsi tidak berkenaan dengan rangsangan fisis serta organ atau indra perasa secara biologis, melainkan merupakan pengalaman yang dihidupi.

Seperti empirisme, intelektualisme juga menampilkan dunia yang-sudah-jadi, yaitu dunia yang digambarkan. Oleh karena itu, bagi Merleau-Ponty, dunia, tubuh, dan diri empiris diartikulasi seperti sebuah sistem yang disubordinasikan.

Persepsi menunjukkan bahwa manusia itu mendunia, berada-di-dunia. Dengan memahami persepsi sebagai intensi dari seluruh cara mengada kita di dunia ini, tubuh manusia dipahami sebagai tubuh-subjek dan bukan tubuh-objek atau badan. Manusia bertubuh adalah cara mengadanya di dunia.

Baca juga:

Tubuh itu milikku, merupakan bagian dari eksistensiku sendiri. Tubuh milikku kuhayati dan karena itu aku mendunia (Merleau-Ponty, 2002).

Maka dari itu, pertanyaannya adalah, bagaimana hubungan persepsi dengan masalah kebertubuhan?

Bila dikontekskan ke dalam isu kekerasan berbasis gender—meminjam logika persepsi Merleau-Ponty—seorang perempuan yang pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual tetap akan merasakan rasa traumatik yang membekas pada kebertubuhannya: ketakutan, kekhawatiran, penderitaan serta pesakitan di dalam tubuh yang ia hidupi—meskipun orang yang melakukannya telah lama menghilang dari kehidupannya.

Akibatnya, penyintas kekerasan seksual tersebut dapat membentuk persepsinya terhadap pelaku pelecehan dan kekerasan seksual serta memberi pemaknaan baru terhadap objek-objek yang senantiasa beririsan dengan eksistensi kesubjek-tubuhan-nya.

Pengalaman merasa tersebut terjadi karena penghayatan dalam cakrawala kehidupan sang subjek, yaitu dalam Lebenswelt-nya. Dalam pengertian Habermas (Hardiman, 2009), Lebenswelt adalah Dunia-Kehidupan yang otonom (hanya Ada Aku) dan tidak terkooptasi oleh sistem (society, market, capital, state, the other, etc) apa pun. Menurut Merleau–Ponty, tubuh adalah wahana dari cara mengada manusia yang disebutnya Etre-au-monde (berada-dalam-dunia).

Penyintas Kekerasan Seksual

Tingginya angka pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan Indonesia menjadi diskursus primer perbincangan publik yang hingga saat ini belum menemukan rumusan penyelesaiannya. Tidak adanya payung hukum yang mengatur dan mencegah secara spesifik kasus pelecehan dan kekerasan seksual, serta miskinnya pengetahuan berbasis gender masyarakat Indonesia, menjadi isu utama diskursus tersebut.

Selain itu, kurangnya respons masyarakat dalam mengakomodir kepentingan penyintas kekerasan seksual menjadi permasalahan tersendiri dalam isu kekerasan dan pelecehan seksual. Hal itu pula yang membuat Indonesia mengalami situasi Darurat Kekerasan Sesksual.

Di Indonesia, angka kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu 12 tahun terus mengalami peningkatan sebanyak 792% atau meningkat sebanyak delapan kali lipat (Hana, 2020). Adanya peningkatan yang signifikan mengindikasikan belum adanya perlindungan dan keamanan terhadap korban, bahkan dianggap telah terjadi pembiaran sehingga berdampak pada korban yang enggan melaporkan kasusnya.

Halaman selanjutnya >>>
Krisnaldo Triguswinri
Latest posts by Krisnaldo Triguswinri (see all)