Muhammad, Data, dan Abad 21

Muhammad, Data, dan Abad 21
©Becoming Human

Muhammad yang diceritakan dalam sejumlah epos masa lalu tersebut mestinya mengalir dan juga menyentuh sisi-sisi abad-21.

Yuval Noah Harari memulai bukunya 21 Lessons for 21 Century dengan sebuah bab tentang Tantangan Teknologi. Tema pertamanya ia beri judul Kekecewaan.

Di kalimat awalnya, ia menulis: manusia berpikir dalam cerita, ketimbang dalam fakta, angka atau persamaan, dan makin sederhana ceritanya, maka makin baik.

Ia sebenarnya hendak bilang bahwa setiap orang atau kelompok manusia memiliki cerita tersendiri tentang masa lalu yang kemudian diyakini dan dijadikan prediksi atas masa depan. Cerita itu bisa macam-macam, baik mitos, dongeng, fable, maupun sejumlah story teologis.

Muhammad adalah salah satunya. Sebagai Nabi, kaum muslim punya historitas tersendiri terhadap kegagahan Muhammad. Baik dalam menyebarkan islam, keteladannya, hingga usaha membangun masyarakat madani.

Saya tak ingin memaparkan ulang kisang-kisah itu. Selain sudah banyak yang menerangkannya, lewat tulisan ini, yang hendak dikatakan adalah Muhammad yang diceritakan dalam sejumlah epos masa lalu tersebut mestinya mengalir dan juga menyentuh sisi-sisi abad-21 ini. Abad di mana keberlimpahan datum (data) mengisi setiap sisi kehidupan manusia.

Ini dimaksudkan agar historitas Muhammad tak dihidupkan dalam nostalgia masa lalu, melainkan menjadi lebih dihadirkan untuk menjiwai dunia hari ini. Bahkan kalau perlu, beyond dari abad-21. Ini yang kemudian disebut dengan kesetiaan pada peristiwa. Kesetiaan untuk menghidupkan kerja-kerja kenabian Muhammad agar makin relevan di setiap ruang waktu kesejarahan.

Bagaimana era datum (data) yang tengah berlangsung mesti menubuhkan Muhammad sebagai sintesis dari kecerdasan teknologi (artificial intelligence) dan kesadaran kemanusiaan (consciousness).

Pertanyaan berikutnya begini: bagaimana mungkin Muhammad yang pada masa lalu tak mengenal sejumlah perangkat digital, harus dibawa ke era digital yang dibanjiri sejumlah datum?

Baca juga:

Jika ini tak bisa dijawab, maka membawa Muhammad ke abad-21 sama saja dengan menginterupsi kerja-kerja kenabian Muhammad. Jangan sampai kerja kenabiannya sama sekali tidak bisa menjawab sejumlah kerja artificial technology, seperti drone, auto-car, bioteknologi, search engineer, algoritme, GPS, atau chip. Jika iya, lantas apa efek kenabiannya (social prophet) yang masih bisa dirasakan hingga hari ini—selain islam—agama yang dibawanya?

Untuk menjawabnya, sebagian besar orang akan menyodorkan argumen sejarah. Muhammad yang hidup pada masa lalu sama sekali tak terpapar kemajuan sejarah hari ini. Sehingga jelas apa yang terjadi pada hari ini, tentu berbeda dengan apa yang dirasakan Muhammad.

Ya, benar, namun jawaban ini sepintas juga problematik. Sebab tak berhasil menempatkan efek kenabian Muhammad ke hari ini.

Padahal, lintasan sejarah hari ini tentu tak bisa lepas dari bentukan sejarah masa Muhammad. Maksudnya adalah, apa yang dipercakapkan hari ini pasti memiliki kelindan dengan apa yang pernah diletakkan oleh Muhammad di eranya. Apalagi sebagai seorang nabi, efek kenabiannya bisa melampui sekat ruang dan waktu.

Pun sebaliknya, evolusi sejarah yang terjadi hari pada ini tak bisa dilepaskan dari sentuhan kesejarahan di masa Muhammad. Hanya saja, evolusi sejarahlah yang kemudian membentuk pemaknaan, kualitas, dan relevansi sejarah menjadi berbeda-beda.

Dalam rangka itulah penting untuk kemudian menempatkan Muhammad dalam artificial-advancing hari ini dengan berpijak pada apa yang –nya pada era kenabian. Teknisnya, menghubungkan nilai yang diletakkan Muhammad pada masa lalu, kemudian dihubungkan ke hari ini, sembari memberi ruang bagi prediksi atas masa depan setelah hari ini.

Muhammad, Nabi bagi Artificial Intelligence?

Pertanyaan penting sebelum membahas bagian ini: apakah Muhammad masih hadir sebagai nabi di era artificial Intelligence hari ini?

Ya masih hadir. Muhammad tentu hadir dan menubuh sebagai nilai. Muhammad adalah nodal point yang tidak saja hadir sebagai tubuh biologis, melainkan juga sebagai tubuh historis. Hadir dan dipercakapkan dalam setiap bentang sejarah. Persis seperti Yesus, Buddha, Soekarno, dan lainnya.

Sehingga, meski tubuh bilogisnya telah tiada, namun ia tetap menubuh dalam setiap story, ritus, dan peristiwa kesejarahan umat manusia.

Dengan demikian Muhammad yang dimaksudkan di sini adalah Muhammad sebagai tubuh historis, bukan sebagai tubuh bilogis. Sebagai tubuh historis, tentu ia selalu hadir dan dikontestasikan dari satu peristiwa ke peristiwa lain, dari satu interpretasi ke interpretasi lain.

Dalam diskursus itulah penting untuk menempatkan Muhammad kembali pada peristiwa sejarah hari ini. Lebih spesifiknya adalah kemajuan artificial intelligence umat manusia abad 21.

Pada 1973, Daniel Bell, lewat bukunya The Coming Post Industrial, menulis bahwa jika era industri manusia memperebutkan aspek material, seperti tenaga kerja dan alat produksi, maka pasca industri manusia justru beralih ke hal-hal non-materi, seperti pengetahuan dan informasi. Barang siapa yang menguasai informasi dan pengetahuan, maka dia akan menguasai mesin produksi dan mengendalikan dunia.

Baca juga:

Muhammad sebenarnya telah menerima prinsip itu jauh-jauh hari saat di Gua Hira. Lewat wahyu pertamanya, ia diajarkan soal pengetahuan dan informasi.

Iqra (bacalah). Perintah membaca adalah perintah keilmuan, untuk membaca setiap kata dan fakta kesejarahan. Bisa melalui kata maupun semesta. Keduanya mesti dibaca dalam terang keilmuan.

Hari ini, kemajuan umat manusia telah bergantung pada kemajuan ilmu pengatahuan, yakni artificial intelligence. Kemajuan artificial intelligence telah menarik ilmu pengetahuan sebagai modal utama menciptakan sejumlah algoritme sebagai mesin penggerak kehidupan manusia.

Kode-kode algoritme itu bisa digunakan dalam sejumlah segmen kehidupan manusia abad 21. Mulai dari kerja-kerja masinis, psikologis, klinis, hingga sosial-politik. Algoritme bisa dengan mudah menyatukannya dalam satu perintah. Semua kerja umat manusia kemudian menjadi terstruktur dengan sekali klik.

Dunia hari ini terus diisi dengan lalu lintas data dan kecerdasan artifisial. Tapi apakah di sana manusia menemukan dirinya sebagai manusia?

Jawabannya tidak. Sejarah selalu menyisahkan lubang kosong di setiap tubuhnya. Ia seperti labirin panjang tanpa penghujung. Melingkar dan kadang melilit para pelakunya sendiri. Manusia pun begitu, bisa hilang dalam lekak-lekuknya itu.

Abad 21 pun bisa “menelan umat manusia”, termasuk “misi kenabian Muhammad” dalam satu perintah algoritme. Agama bisa menjadi semacam keterasingan, bahkan tak penting lagi. Selain akan direduksi dalam satu perintah algoritme, ia dianggap bukan bagian dari tradisi datum.

Baca juga:

Data-data tentang agama selalu melangit, penuh mitos, dan dianggap tidak logis, sehingga harus ditinggalkan. Orang menyerahkan semua sisi penghidupannya pada algoritme. Hanya dengan memprogram, semuanya menjadi teknis, cepat, dan tepat.

Untuk mengisi lubang-lubang kosong kesejarahan itu, maka “Muhammad” dalam tiap jengkal peristiwa abad-21 mesti dihidupkan kembali. Tidak hanya lewat logos (iqra), melainkan juga kesadaran (akhlaq) yang diletakkan Muhammad pada paruh waktu di Madinah.

Kesadaran mesti menjadi yang paling “Muhammad” untuk ditaruh sebagai alas kecerdasan artifisial. Ini yang absen dari peristiwa abad 21. Abad 21, dengan berbagai perangkat algoritmenya, telah mempersempit interaksi umat manusia sangat mekanis, matematis, dan instrumentalis.

Muhammad sebenarnya mewakili dua dimensi ini, kecerdasan (intelligence) yang mesti diimbangi kesadaran (consciousness). Kecerdasan memberi manusia kemampuan untuk menyelesaikan masalah melalui instrumen pengetahuan. Sedangkan kesadaran menuntun manusia untuk mengoperasikan dan mengenali akibat-akibat kecerdasan.

Kesadaran memberi ruang bagi manusia untuk mengenali dirinya bahwa dirinya adalah manusia, sedangkan algoritme hanyalah perangkat teknologi di tangan manusia. Kesadaran menjadi semacam alarm, bahwa dimensi kemanusiaan tak bisa direduksi, apalagi diterjemahkan secara utuh oleh data  dan algoritme.

Di sinilah penting untuk menjadikan Muhammad penting sebagai Nabi bagi Artificial Intelligence. Bukan saja karena ia telah meletakkan nyala logos di Gua Hira, melainkan telah melengkapinya dengan etos. Muhammad menerjemahkannya sebagai akhlaq selama periode kenabiannya.

Sehingga Muhammad penting menjadi nabi bagi artificial intelligence, adalah upaya menderivasikan tugas-tugas profetiknya ke hari ini. Dengan harapan segala yang logos (iqra/kecerdasan)akanselalu beriringan dengan etos (akhlaq/kesadaran).

Muhammad, Warning bagi Artificial Intelligence

Sebagai instrumen, kecerdasan artifisial perlu diapresiasi. Namun tentu juga ada banyak warning yang mesti diberikan terhadapnya. Selain disrupsi, ia juga menjadikan peradaban manusia sangat teknis (technology center).

Segalanya diserahkan pada teknologi. Pelan-pelan manusia menjadi asing di hadapan mesin algoritme yang ia programkan sendiri. Sepi, jauh, dan berjarak dengan manusia-manusia lain. Kita tentu tak mau kemajuan teknologi justru menyeret manusia dari pencerahan akal-budi ke senja emosi. Sebuah masa kelam bagi kemanusiaan.

Sebagai antisipasi, Jepang kemudian, pada 2019 awal, menyodorokan proyek masa depan: Society 5.0. Menjadikan manusia sebagai center, yang mengendalikan teknologi.

Harari pun sebenarnya telah memberi aba-aba ini. Ia mengawali tulisannya dengan Tantangan Teknologi. Namun, di bab penutupnya, ia justru menyodorkan tema Meditasi.

Selain penekannya dalam beberapa bab, rasanya ini juga adalah signal, tentang dekonstruksi kreatif di abad datum. Di mana titik tuju sejarah manusia juga penting untuk dilabuhkan pada kesadaran kemanusiaan atau pada yang Ultim.

Dalam diskusi ini, penting untuk menempatkan Muhammad sebagai tubuh historis, dengan memberi warning lagi pada manusia abad ini. Jangan-jangan, kala refleksi berubah lebih refleksif, etos hilang diganti logos, deus datang mengganti theos.Pandangan umat manusia kemudian menjadi buram saat menunjukkan ke mana kita hendak pergi.

Dalam kebingungan-kebingungan itulah kita tentu tak menginginkan abad 21 hanya menjadi semacam pengadilan sejarah post-Muhammad. Bahwa manusia adalah mesin-mesin yang piawai, karena tak berhasil menjadi dirinya sendiri.

Ardiman Kelihu