Di tengah arus transformasi digital yang pesat, kripto telah menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Justru saat beberapa negara dengan penduduk Muslim mulai menerapkan kebijakan yang tegas terhadap mata uang digital ini, terdapat ironi yang menarik perhatian. MUI (Majelis Ulama Indonesia) baru-baru ini mengharamkan penggunaan cryptocurrency sebagai bentuk pembayaran. Sementara itu, di belahan dunia lain, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) justru mengadopsi dan mengembangkan teknologi blockchain dan kripto secara aktif. Mengapa hal ini terjadi dan apa implikasi yang mungkin timbul dari perbedaan sikap ini?
Ketika kita merenung sejenak, gambaran ini menciptakan banyak pertanyaan. Bagaimana bisa negara-negara yang berada di bawah standar yang sama dalam hal latar belakang budaya dan agama memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap kripto? Apakah ini mencerminkan ketidakselarasan dalam pemahaman tentang teknologi dan keuangan, atau ada motivasi ekonomi yang lebih dalam di balik keputusan tersebut?
Secara umum, keputusan MUI untuk mengharamkan kripto bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat kekhawatiran terhadap potensi risiko yang ditimbulkan oleh fluktuasi nilai aset digital dan kemungkinan terjadinya penipuan. MUI walau terkesan konservatif, berpegang pada prinsip-prinsip syariah yang menjunjung tinggi ketidakpastian dan spekulasi yang dapat merugikan umat. Mengingat bahwa kripto dianggap tidak memiliki dasar fisik yang kuat dan lebih banyak bergantung pada spekulasi, hal ini dapat dilihat sebagai langkah preventif untuk melindungi masyarakat dari kerugian.
Namun, berbanding terbalik, Arab Saudi dan UEA berinvestasi besar-besaran dalam teknologi blockchain dan cryptocurrency. Dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara ini telah meluncurkan berbagai inisiatif yang bertujuan untuk menjadi pusat keuangan digital di kawasan Timur Tengah. Proyek-proyek ini bukan semata-mata berupa eksperimen, tetapi juga merupakan langkah strategis untuk menarik investasi asing dan meningkatkan daya saing ekonomi di panggung global.
Dalam konteks ini, muncul tantangan yang menarik untuk merenungkan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Apakah tindakan MUI akan merugikan kepentingan ekonomi Indonesia di masa depan? Sementara banyak negara lain, terutama di kawasan Kepulauan Karibia dan Asia Pasifik, mulai mengakui potensi kripto sebagai alat tukar dan investasi yang sah, Indonesia mungkin berisiko tertinggal jika tidak melakukan penyesuaian. Rangkaian pertanyaan ini mengarah pada kesadaran akan perlunya diskusi yang lebih dalam dan lebih terbuka mengenai isu ini, terutama di kalangan pemimpin agama dan pemerintah.
Mari kita lihat lebih jauh ke dalam dunia kebijakan yang diambil oleh UEA dan Arab Saudi. UEA, khususnya Dubai, telah mengambil langkah-langkah berani seperti menyusun peraturan yang jelas terkait perdagangan kripto. Wilayah tersebut juga memfasilitasi peluncuran berbagai proyek terkait blockchain, termasuk platform untuk perdagangan NFT (non-fungible tokens) yang semakin populer. Hal ini menandakan bahwa UEA ingin menjadi pelopor dalam inovasi teknologi, yang jelas-jelas berlawanan dengan pendekatan MUI yang lebih berhati-hati.
Arab Saudi pun tidak tinggal diam. Mereka telah meluncurkan program untuk mendorong penggunaan dan investasi di sektor kripto, dan juga mengembangkan mata uang digital resmi negara. Inisiatif ini tidak hanya menjawab tantangan domestik untuk modernisasi keuangan, tetapi juga berfungsi sebagai daya tarik bagi investor global. Tindakan yang diambil oleh kedua negara menegaskan bahwa mereka melihat kripto sebagai bagian dari masa depan ekonomi dan keuangan global, sementara MUI menerapkan pendekatan yang lebih tradisional dan tegas terhadap inovasi ini.
Ironisnya, pergeseran yang menarik ini membawa kita pada peluang dan tantangan yang lebih dalam. Bisakah Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, mengikuti jejak atau menciptakan jalan tengah antara tradisi dan inovasi? Pertanyaan ini menciptakan ruang diskusi, tantangan bagi para pengambil kebijakan, dan panggilan bagi masyarakat untuk menerapkan pemahaman yang lebih holistik terhadap teknologi baru seperti cryptocurrency.
Selain itu, tantangan ini melibatkan keterlibatan masyarakat di level yang lebih luas. Jika masyarakat paham tentang kripto dan dampaknya, maka mereka bisa mengadvokasi posisi yang lebih moderat dan konstruktif di hadapan para pemimpin agama dan pemerintah. Pendekatan ini bisa jadi menciptakan jembatan antara kebijakan konservatif dan inovasi teknologi yang sedang berkembang. Hal ini menjadi esensial mengingat semakin banyak generasi muda yang terlibat dalam dunia digital, dari investasi hingga penggunaan sehari-hari.
Dengan demikian, di hadapan situasi yang semakin kompleks ini, penting bagi Indonesia untuk menemukan jalan menuju pemahaman yang lebih seimbang. Menghadapi tantangan ini, bisa jadi ada pelajaran yang harus diambil dari pengalaman negara-negara lain. Menciptakan dialog terbuka antara ulama, pembuat kebijakan, dan masyarakat menjadi kunci untuk membahas potensi serta risiko yang ada, tanpa terjebak dalam ketakutan yang berlebihan atau pengabaian terhadap inovasi. Akhir kata, mari kita bersama-sama memikirkan bagaimana kita dapat tetap setia pada nilai-nilai yang kita pegang, sambil tidak membatasi diri dari kemajuan yang ditawarkan oleh teknologi masa kini.






