Nelayan Sejati

Nelayan Sejati
©Pexels

Belajar dari kehidupan nelayan kita mendapatkan banyak hal.

Pria paruh baya itu melukiskan kisah hidupnya di atas laut nan biru
Ia mengikuti jejak-jejak kaki para dotu penjaga tanjung dan bobane.
Awan hitam yang menggumpal sebagai penanda akan ada badai tak dihiraukannya.
Bermain dan berselancar dengan buih yang memutih. Hantaman gelombang baginya adalah seni, seni memainkan imajinasi.

Mengabaikan laut ibarat menghilangkan gula di tengah berkecamuk pahitnya kopi. Baginya laut memberikan begitu banyak kehidupan.
Jika tidak melaut, yang di pesisir akan mati
Jika tidak melaut, nasi tanpa lauk.
Sekejap membatin dan tatapan penuh harap, “kelak setelah dirinya menggenapi usia hidup, masih ada generasi yang menggantikannya, hidup menjadi nelayan.“

Belajar dari kehidupan nelayan kita mendapatkan “banyak hal” dan dari kehidupan nelayan pula kita akan menjelaskan “banyak hal”.

Tanah yang Dijarah Begundal

Aku tak lagi indah
Juga dipandang hina.
Sebab rupiah
Telah mengubah cara pandang tuan.
Tempat berburu
Juga meramu disulap menjadi kosong.
Saling klaim pun pecah, membahana
Membelah persaudaraan.

Aku terus terperosok
Terkubur ke dalam kealpaan
Dilupakan dalam imaji
Di atas kertas aku dimanipulasi
Atas nama perubahan aku terus diakumulasi.

Dalam Pelukan Bajingan Tanah

Aku dan pelukan bajingan yang berwajah dingin. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala setelah membaca cerita singkat yang dia sampaikan lewat aksara tentang tanah dan kandungannya. Bagiku logikanya tentang sejahtera terlalu tekstual. Aku terus saja menyoal perkara tanah, sebab tata kelola dan penguasaannya menjadi tambal sulam.

Bajingan ini terus saja mengoceh penuh tendensi tanpa esensi.

Bersahabat dengan Buku

Darimu aku sedikit tahu tantang kehidupan, banyak waktu yang kuhabiskan bersamamu. Di sini banyak kenangan indah yang tak terlupakan, peristiwa-peristiwa yang penuh hikmah dan perjuangan-perjuangan berat yang penuh tantangan. Engkau begitu setia menemaniku. Terima atas kesetiakawananmu.

Janji yang Berceceran

Banyak janji yang berceceran di tengah jalan.
Aku ingin kau memungutnya kembali sembari merajut asah di ujung senja.
Tentang angka-angka yang fantastis, memantik berahi berujung petaka.
Sebab takhta tak selamanya abadi.
Pada waktu semuanya memiliki akhir.

Negeri Para Kapita

Dalam diam petaka mengintai, dalam pikiran rupiah terlintas. Sebab yang hijau terus dibabat tangan tak terlihat hingga tak berwajah.

Negeri para kapita, dari akejira sampai ke pesisir utara tercatat dalam kertas yang di kotak-kotak sampai habis.
Dari garis pantai tembus belantara hijau bukan lagi penegasan.
Saling asuh dalam selimut.
Saling asah dibunuh tanpa bekas.

Hasanudin M Hasidi
Latest posts by Hasanudin M Hasidi (see all)