Obral Guru Besar Dan Redupnya Kampus

Dwi Septiana Alhinduan

Di tengah gejolak dinamika pendidikan tinggi di Indonesia, istilah “obral guru besar” tiba-tiba mencuat sebagai fenomena yang menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi dan masyarakat luas. Fenomena ini bukan sekadar isyu remeh temeh; ia mencerminkan kondisi yang lebih dalam, tentang penghargaan dan eksistensi kampus yang kian meredup. Kita perlu memeriksa makna dibalik obral ini dan dampaknya terhadap pendidikan serta masyarakat.

**Mengurai Konsep Obral Guru Besar**

Konsep “obral guru besar” dapat dipahami sebagai penawaran atau promosi yang melibatkan jabatan guru besar di institusi pendidikan. Dalam konteks ini, surge jabatan akademis menjadi terlihat ironis. Dalam banyak kasus, seorang guru besar seharusnya diakui berdasarkan integritas, dedikasi, dan kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan, bukannya dijadikan komoditas yang diperdagangkan.

Penjualan jabatan ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kualitas serta kecerdasan intelektual yang kita tawarkan kepada generasi penerus. Apakah kita benar-benar dapat mempertahankan standar pendidikan yang tinggi jika guru besar bukanlah sosok yang terpilih melalui proses seleksi yang ketat? Ketersediaan guru besar dalam jumlah yang berlebihan, tanpa diimbangi dengan kualitas yang memadai, memunculkan kekhawatiran tentang integritas institusi pendidikan tinggi.

**Akibat dari Redupnya Kampus**

Kampus yang meredup bukanlah sekadar soal ruangan yang sepi atau mahasiswa yang tidak berminat, melainkan mencakup perubahan mendasar dalam kultur pendidikan. Saat guru besar diperdagangkan, kekhasan dan dedikasi dalam mengajar pun memudar. Mahasiswa yang seharusnya bertumbuh dalam lingkungan yang merangsang pemikiran kritis berisiko terjebak dalam sistem yang suam-suam kuku.

Lebih jauh, dampak dari fenomena ini terasa hingga ke ranah sosial. Apa yang terjadi ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada pendidikan tinggi? Penurunan nilai akademis tidak hanya berpengaruh pada lulusan, tetapi juga pada lapangan pekerjaan yang semakin ketat dalam memilih karyawan. Keberadaan guru besar yang tidak kompeten menimbulkan besarnya tantangan bagi para angkatan kerja baru. Mereka terpaksa berjuang di pasar kerja yang dipenuhi oleh kompetitor lain yang mungkin memiliki penguatan akademik yang lebih solid.

**Menyikapi Fenomena dengan Agar Antisipatif**

Penting untuk menyikapi situasi ini dengan pikiran yang terbuka. Memperhatikan desakan untuk memulihkan marwah pendidikan tinggi adalah langkah krusial. Bagaimana kita bisa melakukan ini? Pertama, kita harus mengingat kembali nilai-nilai dasar dalam pendidikan: pengabdian dan kemanusiaan. Pendidikan yang bermakna harus lebih diutamakan dibandingkan mengejar gelar.

Kedua, institusi pendidikan harus melakukan audit internal. Apakah ada indikator kualitas yang diabaikan? Apakah guru besar yang diangkat memenuhi syarat akademis yang diharapkan? Audit semacam ini akan mendorong institusi untuk kembali mempertimbangkan siapa yang layak berperan sebagai pemimpin intelektual.

**Strategi Pembaruan yang Dapat Diterapkan**

Dalam menemukan jalan keluar dari situasi ini, diperlukan strategi yang komprehensif. Pertama, promosi transparansi dalam proses seleksi guru besar. Semua pihak, baik mahasiswa maupun masyarakat, harus memiliki akses untuk mengetahui siapa yang duduk sebagai guru besar dan latar belakang akademis mereka.

Kedua, penting bagi institusi untuk merangkul inovasi dalam metode pembelajaran. Penggunaan teknologi dalam pengajaran tidak hanya akan memperkaya pengalaman belajar, tetapi juga menarik minat mahasiswa yang saat ini semakin melek teknologi.

Ketiga, kampus harus mulai menjalin kerjasama erat dengan industri dan lembaga penelitian. Dengan menciptakan link antara akademisi dan praktik nyata di lapangan, lulusan akan lebih siap untuk menghadapi tantangan dunia kerja.

**Menggairahkan Kembali Minat Belajar**

Dalam menghadapi segala tantangan ini, ada harapan bahwa minat belajar di kalangan mahasiswa bisa kembali digairahkan. Mahasiswa perlu diberdayakan untuk berpikir kritis dan kreatif. Penyediaan program-program yang mendorong pengembangan soft skill dan hard skill akan sangat mendukung tujuan tersebut.

**Kesimpulan: Harapan di Tengah Gelap**

Sementara dunia pendidikan tinggi menghadapi masa-masa sulit dan mencemaskan, masih ada harapan. Obral guru besar, meski terkesan negatif, membuka diskusi yang lebih luas tentang kualitas pendidikan. Kini adalah saatnya untuk bertransformasi dan merebut kembali nilai luhur pendidikan yang mungkin hilang dalam peradaban. Penting bagi setiap elemen dalam struktur pendidikan, mulai dari guru besar hingga mahasiswa, untuk berkolaborasi mendorong perubahan positif demi masa depan generasi bangsa yang lebih baik.

Related Post

Leave a Comment