Orang Terdidik, Menjadi Aktor Bukan Penonton

Orang Terdidik, Menjadi Aktor Bukan Penonton
Ilustrasi: Sketsa karya Gunter Grass

Tiap pagi ia merenung, berpikir entah apa. Amir namanya. Orangnya lugu tapi cerdas, banyak di segala bidang. Mau silat? Jadi. Berdebat? Ok punya. Menulis? Apalagi. Semua hampir tak luput ia kuasai.

Sering Amir juarai beberapa lomba di kelasnya. Tak jarang tanpa membawa piala-piala penghargaan bernomor 1 segera ketika usai mengikuti lomba demi lomba. Sudah puluhan lebih piala dan piagam yang ia dapat, dipajang oleh ibunya di dinding-dinding kiri-kanan rumahnya, tanpa pernah sedikit pun ia merasa girang karenanya.

Temannya yang juara di bawahnya saja, gilanya minta ampun saat mendapat penghargaan sebagai peserta penulis terbaik nomor 2. Dibilangnya sama khalayak, dimintanya simpati masyarakat atas raihan yang ia peroleh. Sungguh berbeda dari sikap dan prilaku si Amir. Berbangga boleh, tapi besar kepala karenanya, itu yang sering ia hindari.

***

Di dalam keluarga, ia anak ketiga dari lima bersaudara. Ibunya seorang petani, ayahnya pun iya. Meski petani, kedua orang tuanya hanya bisa menggarap lahan, mencari sesuap nasi bagi keluarga, dan untuk biaya sekolah anak-anaknya di atas tanah-tanah orang lain.

Hampir setiap hari orangtuanya bekerja banyak waktu. Meskipun dengan upah yang tak seberapa, tetap hanya bisa hidupi keseharian. Selebihnya, mampu menambah tabungan untuk hal-hal kebutuhan lainnya.

Di usianya yang hampir berkepala dua, hanya Amir seorang yang tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah tamat dari SMP, ia turut serta membantu orang tuanya menjadi tulang punggung keluarga.

Tetangga-tetangga dekatnya menyayangkan. Amir seorang yang cerdas dibanding dengan saudara-saudara lainnya dan teman-teman sebayanya. Tapi kenapa kedua orang tuanya tak mau melanjutkan pendidikan anaknya yang cerdas itu? Mereka mungkin akan berpikiran demikian, sebab kenyataannya hampir serupa.

Amir memang putus sekolah. Tapi niatnya untuk terus belajar tak pernah ia padamkan, bahkan terus bertambah. Meski aktivitas kesehariannya hanya mencangkul di lahan orang lain, juga merenung (aktivitas yang tak pernah ia tinggalkan), ia justru banyak belajar di tiap harinya. Buku-bukunya hanya ada tiga buah, Bahasa Indonesia untuk sekolah dasar, al-Quran, dan sebuah novel sejarah Indonesia, hanya itu yang ia miliki.

Bagaimana mungkin Amir bisa belajar dengan buku-buku yang se-minim itu, hanya tiga buah? Sampai hari ini, tetangga-tetangganya masih juga tak bisa percaya bahwa Amir lebih cerdas daripada mereka yang orang tuanya (bisa dikatakan) punya uang untuk segalanya.

Setiap hari, kelelahannya seusai mencangkul hanya ia obati dengan membaca sebuah buku. Bukunya yang sudah usang, robek, bahkan tak lagi bersampul itu, dibukanya pelan-pelan untuk ia nikmati.

Ya, sembari melepas lelah dan dahaga di saat suntuk. Komitmen dalam belajar, itu prinsip hidupnya. Ia seolah tak pernah rela melepaskan harinya berlalu tanpa membaca dan menulis, meskipun tanpa teman berdiskusi.

Di kampungnya, teman-teman sebayanya hanya bisa bermain. Hura-hura sana-sini. Hanya mampu memeras jerih payah orang tuanya untuk kesenangan pribadinya.

Naasnya, orang tua-orang tua mereka pun senang. Memanjakan anak-anaknyanya seolah sebagai kewajiban yang harus mereka jalankan. Memberi kesenangan kepada sang titipan Tuhan adalah wajib dalam peniliannya.

Dengan sikapnya yang tak mau sedikit pun bergantung hidup pada orang lain, apalagi kepada kedua orangtuanya, hal ini yang menyebabkan Amir memutuskan untuk tidak bersekolah lagi. Jelas, ini berbeda dari anggapan lingkungannya.

Putus sekolahnya Amir dianggap lantara orangtuanya tak mampu membiayai lagi. Bukan, bukan itu. Amir hanya tak mau kalau-kalau ia bersekolah atas jerih payah orang lain. Ia hanya ingin belajar atas usahanya sendiri.

Meskipun orangtuanya memaksa Amir untuk tetap sekolah, ia tetap bersikukuh untuk menolaknya. Seperti pada prinsipnya, ia selalu pegang teguh, kokoh, dan berpendirian.

“Bu, saya tak mau seperti mereka, teman-teman saya itu,” seru Amir pada ibunya.

Ibunya yang sedang menanam padi, membalas kata-kata anaknya dengan pertanyaan, “Teman-temanmu yang mana? Emang-nya kenapa dengan mereka, nak?” tanya sang ibu sembari tetap fokus meletakkan benih-benih padi ke liangnya masing-masing.

“Ibu tahu kan kalau mereka melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi?”

“Tono dan Jiran maksudmu?”

“Iya.”

“Ya bagus, kan? Emang-nya gak boleh kalau mereka punya niat untuk melanjutkan sekolahnya? Itu kan hal wajar, nak.”

“Bukan, bukan itu soalnya, bu.”

“Lantas, apa?”

Si ibu masih saja fokus dengan aktifitas penanamannya. Tanpa pernah sedikit pun menoleh kiri-kanan, ia tetap menyimak kata-kata anaknya dengan bijak.

“Aduh, ibu tak pernah mengerti maksud saya.”

Ibunya yang tadi fokus itu, akhirnya goyah. Sang ibu terpaksa mendengar kicauan anaknya yang sedikit meminta perhatian penuh untuk berbicara empat mata.

“Baik, sekarang ceritakan apa yang hendak anakku risaukan,” seru si ibu memulai dengan serius.

“Nah, begini kan lebih asyik, bu.” Amir kemudian gembira melihat ibunya yang mau diajak untuk sejenak saja berdiskusi.

Wajar, ia memang lama menunggu orang-orang yang ingin diajaknya saling bertukar-pikir dengan lepas. Hanya pada ibunya sajalah yang mau memberikan kebutuhan itu. Maka tak salah ketika Amir lebih sayang pada ibunya ketimbang bapaknya, saudara-saudaranya, apalagi pada teman-temannya.

Mereka hanya sibuk pada aktivitas pribadi masing-masingnya, sungguh jauh perbedaannya dari ibu. Ibu selalu meluangkan waktunya untuk orang lain, dan untuk kebahagiaan dan kesenangan yang lain. Benar-benar ibu yang mulia.

Setelah beberapa lama mengadu obrol, tak terasa hari sudah menjelang sore. Mereka harus bergegas pulang ke rumah. Saudara-saudaranya yang lain pasti sudah menunggu di rumah. Dan yang pasti, mereka menunggu dengan rasa lapar sehabis pulang sekolah.

“Jadi, itu masalahnya?” kata ibu layaknya seorang rekan berdiskusi yang professional.

“Bergantung pada orang lain, memang sebuah kekeliruan, nak. Kamu sendiri kan sudah paham tentang hal itu. Mengapa harus dipertanyakan lagi?” Ibu kemudian meyakinkan anaknya bahwa keyakinan yang ada padanya mesti dijaga sebagai keyakinan yang baik dan mulia.

“Nak, peganglah yang menurut kamu baik, dan tinggalkanlah apa yang menurut kamu salah. Dengan begitu, kamu akan jadi orang, orang yang sebenar-benarnya orang.” Tanpa beradu obrol lagi, mereka berdua akhirnya meninggalkan tempat aktifitas kesehariannya sebagai penggarap lahan tani orang lain.

Setibanya di rumah, ibunya langsung menuju dapur. Biasa, merampungkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Sedang ayahnya, asyik menikmati secangkir kopi dan isapan rokoknya sebagai pelepas lelah dan dahaga. Kakaknya serta adik-adiknya yang lain, juga asyik pada aktifitasnya masing-masing: menunggu hidangan santap siang.

Amir yang tanpa berbaur dengan yang lain, hanya bisa melanjutkan renungannya terhadap ajaran demi ajaran yang ia dapatkan dari ibu. Baginya, kata-kata ibu adalah sihir yang membangkitkan raganya menuju hidup yang selayaknya. Ia terus renungkan. Direnungkannya lagi, direnungkannya terus. Sampai kemudian ia mendapat jawaban atas kesimpulannya sendiri.

‘Saya harus bisa!” pekiknya dalam hati.

Apa gerangan yang Amir pikir itu? “Bisa, bisa, bisa,” hanya kata-kata itu yang nampak dari bibirnya yang sudah lama tak terbasuh dengan air. Sikapnya yang demikian memang harus berlaku demikian. Amir harus bisa. Ya, harus.

“Saya harus bisa menjadi seorang yang terdidik demi tujuan hidup yang bagi saya sebenar-benarnya hidup. Saya bekerja, bukan semata-mata untuk mencari kepentingan sesaat, seperti makan, minum, ataupun dengan kebutuhan-kebutuhan yang “wah” lainnya.”

“Saya bekerja untuk bisa menabung demi melanjutkan serta mengubah pendidikan yang banyak dari mereka agungkan-agungkan secara salah kaprah: menjadi PNS, beli mobil, rumah, dan berumah tangga dengan ekonomi yang stabil lagi berlebih.”

Tidak, Amir tak mau seperti mereka! Ia belajar hanya untuk bisa jadi orang yang terdidik. Baginya, mengenyam pendidikan tidak untuk kemudian berlaku sebagaimana pandangan teman-teman dan saudara-saudaranya yang lain.

Pendidikan mesti harus diabdikan. Pada siapa? Pada dunia. Bahwa hanya orang yang terdidiklah yang akan mengubah dunia ini menjadi lebih layak untuk dihuni, tidak seperti mereka yang tahunya hanya untuk kepentingan pribadi sematanya, dan secara langsung merusak kehidupan dan penghidupan yang lain.

***

“Bu, keyakinan Amir tentu bukan keyakinan yang lahir begitu saja. Di samping ajaran-ajaran mulia yang Amir terima dari Ibu, bacaan-bacaan yang meskipun minim Amir dapatkan dari realitas-realitas di sekeliling Amir, semua itu yang menuntut Amir untuk berlaku demikian.”

“Amir tak mau hanya jadi ‘benalu’, bu, yang bisanya cuma mengekor di atas kehidupan orang lain. Amir harus bisa menjadi aktor di panggung (yang katanya) sandiwara ini, bukan melulu sebagai penonton setia.”

Dengan mata yang berkaca-kaca, seakan mengingatkan ia pada masa lalu yang sempat terbesit di benaknya. Tentang prinsip hidup. Tentang tantangan perjuangan.

“Bu, ibu melamun?”

“Kau benar, nak. Hidup butuh perjuangan. Hidup butuh pengorbanan. Dan hidup butuh pengabdian. Prinsip ini harus Kuat. tidak hanya bagi kau anakku, tapi juga bagi Amir-Amir yang lainnya.”

*Rusni K., Cerpenis dan Pegiat Budaya Nusantara