Pacaran sebagai Seni Tidak Memahami

Pacaran sebagai Seni Tidak Memahami
Β©FB/hans.hayon

F. Budi Hardiman dalam bukunya 𝑆𝑒𝑛𝑖 π‘€π‘’π‘šπ‘Žβ„Žπ‘Žπ‘šπ‘–: π»π‘’π‘Ÿπ‘šπ‘’π‘›π‘’π‘’π‘‘π‘–π‘˜ π‘‘π‘Žπ‘Ÿπ‘– π‘†π‘β„Žπ‘™π‘’π‘–π‘Ÿπ‘šπ‘Žπ‘β„Žπ‘’π‘Ÿ π‘ π‘Žπ‘šπ‘π‘Žπ‘– π·π‘’π‘Ÿπ‘Ÿπ‘–π‘‘π‘Ž (Kanisius, 2015) menjelaskan bahwa tidak memahami juga bagian dari pemahaman. Ungkapan seperti β€œSaya tidak paham dengan dirimu” menunjukkan bahwa sebenarnya saya melakukan tindakan memahami dengan cara tidak memahami.

Ketidakmungkinan saling memahami itulah yang membuat tulisan ini sangat penting bagi peradaban manusia yang hendak dan/atau sedang pacaran. Hal yang sama dijelaskan oleh Paul Verhaeghe dalam esainya bertajuk β€œFrom Impossibility to Inability: Lacan’s Theory on the Four Discourses” dalam π·π‘œπ‘’π‘  π‘‘β„Žπ‘’ π‘Šπ‘œπ‘šπ‘Žπ‘› 𝐸π‘₯𝑖𝑠𝑑 (1995) tentang bagaimana Lacan mendefinisikan komunikasi secara negatif.

Verhaeghe menulis bahwa umumnya tujuan utama dari teori komunikasi yakni membawa komunikasi kepada standar yang sempurna dengan cara menghilangkan segala sesuatu yang ribut (noise) agar pesan bisa dengan bebas mengalir antara sender dan resipien.

Sementara itu, Jacques Lacan memulai teori komunikasinya dengan asumsi bahwa komunikasi senantiasa gagal. Mengutip Lacan, Verhaeghe menulis:

β€œBagaimanapun juga komunikasi mesti gagal dan karena alasan itulah mengapa kita tetap terus berbicara. Jika kita saling memahami, kita akan diam. Cukup beruntung, kita tidak saling memahami sehingga kita harus berbicara satu dengan yang lain.”

Bagi Lacan, jika komunikasi konvensional mereduksi berbicara sekadar pada konsensus, maka hal itu justru melenyapkan status ketidaksadaran. Dengan menganjurkan wacana histeris (sebagai lawan dari wacana akademis), ketidaksadaran bukan hanya berbicara, tetapi seperti kata Lacan dalam aksioma, π‘‘β„Žπ‘’ π‘’π‘›π‘π‘œπ‘›π‘ π‘π‘–π‘œπ‘’π‘  𝑖𝑠 π‘ π‘‘π‘Ÿπ‘’π‘π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘’π‘‘ π‘Žπ‘  π‘Ž π‘™π‘Žπ‘›π‘”π‘’π‘Žπ‘”π‘’.

Pernyataan provokatif di atas secara tidak langsung ingin menunjukkan bahwa penciptaan pelbagai platform media sosial, misalnya, tidak akan pernah secara purna menjawabi kebutuhan manusia untuk berkomunikasi. Dikatakan demikian karena dalam diri setiap subjek terdapat apa yang disebut Lacan sebagai abyss, sebuah jurang atau gap yang tidak terjembatani. Atau mengutip Aan Mansyur, jurang antara kebodohan dan keinginanku untuk memilikimu sekali lagi.

Jurang itu pula yang menyebabkan kapitalisme dan komodifikasi tidak pernah berhenti bermetamorfosis. Jurang yang sama itu pula yang membuat mantan membiak bagai jamur di samping kapitalisme menjelma serupa vampir. Tepat pada level itulah manusia tetap setia menjaga mulutnya agar tidak berhenti berbicara dan merawat jempolnya untuk berkanjang dalam menulis komentar.

Saya menduga, ini pula alasannya mengapa perkawinan bukanlah cara yang paling tepat bagi tumbuh dan berkembangnya kebahagiaan. Demikian pula pacaran yang secara konvensional cenderung dianggap sebagai salah satu dari sekian tahapan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.

Alih-alih fokus pada upaya membangun keluarga dalam perkawinan atau merawat cinta dalam pacaran, psikoanalisa justru menaruh perhatian pada aktivitas β€˜menyimpang’ seperti perselingkuhan dan niat untuk putus. Alih-alih fokus pada rasionalitas, psikoanalisa fokus pada ketidaksadaran. Alih-alih fokus pada upaya menjadi subjek yang otonom, psikoanalisa fokus pada kegagalan menjadi subjek.

Dengan kata lain, psikoanalisa berupaya membahas hal yang tidak dibicarakan atau berusaha dihindarkan orang kebanyakan yakni situasi kekelaman, kerentanan, dan kerapuhan sang subjek. Melalui kondisi seperti itulah proses pembentukan subjek dimungkinkan mengingat tanpa ada kekurangan dan kerentanan dalam term psikoanalisa dan mukjizat dalam term teologis, cinta sejati mustahil terwujud.

Dalam karyanya berjudul πΈπ‘šπ‘–π‘™π‘’ π‘œπ‘Ÿ 𝑂𝑛 πΈπ‘‘π‘’π‘π‘Žπ‘‘π‘–π‘œπ‘›, Jean-Jacques Rousseau menulis tentang perkembangan manusia, khususnya melalui pendidikan, untuk mencapai standar-standar reason dan intellect. Pendidikan tahap terakhir mengajarkan tentang sosialisasi, pertemanan, agama, dan seks.

Tentu Emile, tokoh utama buku Rousseau itu, membutuhkan teman yang β€œpantas” agar bisa menjadi manusia yang seutuhnya, mandiri dan bebas. Namun, teman bagaimanakah yang β€œpantas”? Pemutlakan pada akal budi seperti inilah yang membuat pembahasan cinta dan hasrat di abad modern, yang tertuang dalam pemikiran Rousseau, Descartes, Hume atau Kant, tampak membosankan.

Berbanding terbalik dengan hal di atas, Jacques-Alain Miller dalam bukunya 𝑂𝑛 π‘†π‘’π‘šπ‘π‘™π‘Žπ‘›π‘π‘’π‘  𝑖𝑛 π‘‘β„Žπ‘’ π‘…π‘’π‘™π‘Žπ‘‘π‘–π‘œπ‘› 𝑏𝑒𝑑𝑀𝑒𝑒𝑛 𝑆𝑒π‘₯𝑒𝑠 (2000) menunjukkan bagaimana pembacaan Lacan terhadap Tragedi Medea karya Euripides. Medea ditulis dengan mengambil latar Athena 413 SM. Tragedi ini mengisahkan kehidupan perempuan bernama Medea, suaminya Jason, dan anak-anak mereka.

Sebagai seorang istri dan perempuan, Medea sudah memenuhi semua kewajibannya. Demi menikah dengan Jason, Medea telah mengkhianati ayah dan bangsanya, bahkan secara tidak langsung dengan menggunakan tenaga Pelia, ia telah membunuh ayahnya sendiri. Akibatnya, Medea harus rela hidup dalam pengasingan di Korintus bersama suami dan anak-anaknya. Untuk sesaat, perkawinan Jason dan Medea berlangsung tanpa pertikaian apa pun.

Tragedi dimulai di suatu hari manakala Jason menyampaikan niat mengawini seorang perempuan lain, putri Creon. Medea sama sekali tidak bisa menerima niat Jason. Tetapi suaminya tetap berkeras hati. Medea mengalami depresi. Ia kehilangan daya hidup dan meratapi diri setiap malam. Di ujung ratapannya, meluncurlah ungkapannya yang legendaris:

Halaman selanjutnya >>>
Hans Hayon
Latest posts by Hans Hayon (see all)