Pancasila Bukan Sebuah Ideologi

Pancasila Bukan Sebuah Ideologi
©Tirto

Nalar Politik – Guru Besar Purnawaktu Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, menegaskan pentingnya peringatan dari Ariel Heryanto (Kompas, 6/11) agar Pancasila kini—masa “demokrasi Jokowi”—tidak dipergunakan sama seperti pada waktu Orde Baru. Bahwa Pancasila, menurutnya, bukanlah sebuah ideologi.

“Ariel Heryanto menarik perhatian pada suatu kenyataan yang penting untuk tak salah paham terhadap Pancasila, yaitu bahwa Soekarno, pencetus Pancasila, tidak menganggap Pancasila sebagai sebuah ideologi, tetapi sebagai payung di bawahnya segala macam ideologi seperti yang pada waktu itu terdapat di antara para nasionalis Indonesia dapat ditempatkan,” tulis Franz, Kompas (17/11).

Ideologi-ideologi yang diperjuangkan Soekarno (di bawah payung Pancasila), lanjutnya, adalah sosialisme, antikapitalisme, antiimperialisme, dan sebagainya.

“Dapat ditambahkan bahwa Pancasila justru ditetapkan sebagai nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan kemanusiaan dasar yang dimiliki oleh segenap komunitas etnik, budaya, dan agama Nusantara.”

Karena itu, bagi Franz, semua komunitas yang cukup berbeda itu dapat bersatu dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merasa diri menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia.

“Berbeda dengan banyak negara pasca-penjajahan, baik di Asia maupun di Afrika, persatuan nasional Indonesia berhasil menjadi kenyataan karena jati diri ke-Indonesia-an tidak menyaingi, apalagi menindas, identitas tiap-tiap komunitas Nusantara, tetapi menjamin dan bahkan mengangkatnya.”

Ia pun melihat ada kaitan erat antara kebangsaan Indonesia dan Pancasila. Kemajemukan etnik, budaya, dan religius Nusantara, misalnya, bisa bersatu dalam kesadaran, bahkan dalam kebangsaan.

“Kesatuan komunitas itu menjadi mungkin karena komunitas-komunitas dengan identitas masing-masing yang cukup berbeda itu memiliki lima prinsip kesosialan bersama, lima prinsip Pancasila yang menjadi dasar kebersamaan mereka.”

Di bawah kekuasaan Orde Baru, sebut Franz, itu berubah. Pancasila dinilai mulai dipakai sebagai sebuah ideologi untuk menghantam ideologi-ideologi yang dirasakan sebagai ancaman.

“Ariel Heryanto menyebutkan komunisme dan islamisme, dan bisa ditambah liberalisme. Di sini tak perlu kita masuk ke pertanyaan apakah Pancasila dapat membenarkan larangan terhadap apa saja yang komunis (dalam Tap XXVI MPRS 1966). Menurut saya, sekurang-kurangnya Marxisme-Leninisme tidak dapat ditampung di bawah lima sila Pancasila.”

Baca juga:

Franz Magnis-Suseno turut menyentil kaitan Pancasila dengan agama. Ia mengambil satu peristiwa yang baru-baru ini ramai di media sosial, tentang video seorang ustaz yang marah-marah bertanya apa itu Pancasila dibandingkan Alquran dan Hadis.

“Banyak komentar sangat kritis terhadap ustaz itu. Akan tetapi, tentu saja, ustaz itu betul! Pancasila tidak dapat dipersandingkan dengan ajaran agama.”

Sebagai pembenar, ia mengutip Kisah 5:29 yang menyebutkan kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.

“Kita orang beragama tentu mendapat keterarahan dasar hidup kita dari ajaran agama yang kita anut. Kita sudah beragama sebelum pertama kali mendengar kata Pancasila.”

Karena itu, simpul Franz, Pancasila jangan sampai dipropagandakan sebagai semacam ajaran kebijaksanaan hidup. Ajaran kebijaksanaan hidup, menurutnya, adalah urusan masing-masing individu.

“Pancasila bukan sesuatu seperti, misalnya, antroposofi Rudolf Steiner atau philosophia perennis Sayyed Hossein Nasr. Pancasila adalah tidak kurang dan tidak lebih dari lima sila yang disebut pada akhir Pembukaan UUD 1945.” [ko]