
Akhir-akhir ini, muncul beberapa tokoh yang muncul di media massa atau ruang publik dengan gagasannya yang beragam macam varian perspektif, yang mana Pancasila menjadi topik diskursus yang dinamis.
Namun menurut amat penulis, bahwa kedinamisan topik Pancasila, secara prinsipil, tidak boleh keluar dari substansi dan esensial Pancasila sebagai Philosophische Groundslag, yang mana Pancasila merupakan sebuah falsafah maupun buah pikiran bangsa sebagai pijakan dalam membangun sebuah bangsa yang multikulturalisme dan pluralisme, yakni Bangsa Indonesia yang baru saja merdeka pada zamannya.
Saya merasa bersyukur dengan hadirnya Pancasila yang digali dari bumi Nusantara dan dirumuskan oleh para The Founding Parents kita. Tugas sebagai anak bangsa adalah bagaimana merawat mengenai sejarah panjang perumusan Pancasila, menolak distorsi dan manipulasi ideologi berkedok Pancasila, maupun menolak adanya Pancasila yang hanya dijadikan sebagai platform dagangan belaka yang menampilkan kemewahan di depan publik.
Dalam hal ini, saya tidak sepakat dengan kemunculan para Pengamat, Pengkaji, dan Pakar Pancasila di era digital, yang menampilkan pola hidupnya penuh dengan kemewahan atau hedonisme dirinya tanpa memperhatikan bahwa masih banyak yang harus diperjuangkan ketimpangan ekonomi maupun jaminan kesejahteraan sosial yakni dengan cara Pancasila sebagai Value of Inspirative perjuangan advokasi berkelanjutan bagi bangsa Indonesia beserta seisinya, maupun menawarkan Pancasila dalam lanskap ideologi dunia secara praksis.
Dalam hal inilah saya mencoba memberanikan diri untuk menulis kegelisahan saya tentang Pancasila yang masih jauh dari kata implementatif, baik pemangku kebijakan seperti Politisi maupun Birokrat, perumus atau pengusul kebijakan dengan melibatkan beberapa ahli seperti akademisi maupun LSM.
Karena Pancasila adalah kesederhanaan hidup secara kolektif, bergotong royong mengajak kepada semua elemen bangsa untuk turut aktif dalam mengimplementasikan Pancasila secara tindakan, bukan muter-muter saja dalam wacana diskusi maupun sosialisasi belaka dengan anggaran negara, minim praktik. Karena pada prinsipnya bahwa Pancasila harus bersemai dalam hidupnya rakyat Indonesia, tentu ini yang harus kita renungkan secara bersama.
Kontemplasi Pancasila
Berdiskusi hingga membangun argumentasi tentang Pancasila menjadi pemantik untuk selalu menulisnya. Pemikiran saya tentang Pancasila tidak terlepas dari sebuah perenungan jalan Tarekatisasi Pancasila sebagai Way of Life.
Mengulas hingga memperdebatkan Pancasila dari nilai yang terkandung tidak terlepas ketika saya masuk dalam sebuah organisasi ekstra bercorak nasionalistis Bung Karno yang berwatak Kerakyatan Gotong Royong di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Dalam hal ini, menjadi pemantik kesadaran secara ideologi yang ditinjau dari segi teoritik maupun praktik.
Baca juga:
Proses panjang membentuk pemikiran saya ketika bertemu dengan beberapa kolega aktivis seperti kawan-kawan yang ada di Kampus di Surabaya, seperti kawan-kawan UIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Airlangga, PPNS, PENS, Universitas 17 Agustus 1945. Kemudian di Jakarta ada kawan-kawan seperti STEI Rawamangun Jakarta Timur, Universitas Jakarta, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Kristen Indonesia Cawang, Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Universitas Bung Karno, Universitas Nasional, Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Dan tak lupa beberapa kawan-kawan yang ada di Yogyakarta, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STPMD APMD Yogyakarta hingga Universitas Janabadra, dan beberapa kota lain yang tidak disebutkan satu per satu.
Dalam hal inilah saya mencoba mengambil dari sudut pandang yang berbeda terkait dengan Pancasila. Pasalnya, proses pengkajian tentang Pancasila hanya terkesan normatif dan sulit dipahami oleh beberapa masyarakat pada umumnya. Karena mencerdaskan kehidupan bangsa adalah bagaimana cara menarasikan sebuah bahasa yang ringan dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat secara stakeholder.
Seiring dengan berjalannya waktu, artikel jurnal ilmiah yang ditulis oleh Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang, yakni Mas Arief Setiawan, yang berjudul Locality and Implementation of Human Rights City, yang diterbitkan di Jurnal Ilmu Sosial Vol. 20 Issue 2 Tahun 2021 Universitas Diponegoro yang dikirimkan kepada saya sebagai bahan referensi dan refleksi.
Dalam artikel tersebut, menggambarkan bahwa dengan adanya Komnas HAM di Wonosobo, menjadi satu satunya kota/kabupaten di Indonesia yang mempunyai mekanisme, baik dalam ranah regulasi maupun kebijakan publik yang memiliki independesi HAM tersendiri, dengan hadirnya Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kabupaten Wonosobo sebagai Kota Ramah HAM.
Perda tersebut diharapkan dapat meningkatkan implementasi pelaksanaan HAM dalam rangka penguatan toleransi di dalam masyarakat Wonosobo tersendiri, sekaligus menciptakan Kota Ramah HAM (Human Right City/HRC). Salah satu fokus risetnya adalah di Desa Buntu, Kecamatan Kalijajar, Kabupaten Wonosobo menjadi ikon Kota Ramah HAM di Wonosobo.
Tentunya isu-isu tentang HAM harus digelorakan dan dimasifkan secara terstruktur dan masif. Kita berkaca dengan riset yang dilakukan oleh Mas Arief Setiawan. Dengan harapan bahwa ada upaya dari Komnas HAM dapat mengambil spiritnya di Wonosobo untuk melakukan gerakan ekspansi dalam pendirian Komnas HAM di beberapa Provinsi, Kabupaten/Kota hingga dalam tataran Kelurahan atau Desa demi terciptanya Ramah HAM yang toleran, inklusif, dan moderat.
Pada prinsipnya, bahwa spirit yang dibangun oleh Bung Karno mengenai HAM adalah anti penindasan secara terstruktur dan sistemik yang dilakukan oleh penjajahan kolonialisme imperialisme hingga gerakan pembaruan neo-kolonialisme imperialisme dan watak sejenisnya. Karena penindasan merupakan watak yang tidak mencerminkan sebagai Pancasila dari sudut pandang esensialis, apalagi Hedonisme dengan mengabaikan rakyat miskin yang kelaparan, justru ini tidak Pancasilais.
Harus menjadi kritik internal dari para pakar atau pengkaji untuk rem atau gas dalam melakukan gerakan populisme berkedok Pancasila melalui media Massa. Karena jelas, bahwa Bung Karno tidak mengajarkan kepada anak ideologisnya untuk selalu fokus dalam gerakan-gerakan positif yang mengarah pada penguatan bangsa Indonesia secara komprehensif dan holistik, tanpa tedeng alih-alih.
Baca juga:
- Fikih Peradaban dan Upaya Deradikalisasi di Perguruan Tinggi - 28 Juni 2023
- Pemikiran Pluralistik KH. Yahya Cholil Staquf - 19 Februari 2023
- Quo Vadis Nasionalisme Islam? - 5 November 2022