Pandemi dan Ruang Cerita

Pandemi dan Ruang Cerita
©Pixabay

Di masa pandemi begini, saat kemauan-kemauan harus tertunda, sangat sulit merasa legawa. Perasaan juga menjadi simpang siur: antara suka dan duka. Terlebih ketika kebosanan datang di waktu yang tidak seharusnya. Lagi asyik bermain game, tiba-tiba muak karena cara mainnya yang begitu-begitu saja. Tak jarang amarah juga datang karena sudah enggan diatur-atur oleh perintah “di rumah saja”.

Tapi apa boleh buat, bukannya dulu kita menyukai hal demikian?—membayangkan bersantai di rumah karena bosan di kantor, menginginkan tidur seharian karena lelah bekerja, atau berharap punya banyak waktu untuk keluarga dengan hanya di rumah saja. Atau juga kita yang dulu sangat asing dengan keramaian dan lebih memilih sendiri, berharap punya waktu sendiri tanpa gangguan telepon, email, chat, dan sejenisnya. Atau lagi, kita yang kerap risi dan menggunjing hiruk pikuk jalanan kota.

Kinilah waktunya harapan-harapan itu terwujud. Walau baru-baru ini ada lagi imbauan untuk beradaptasi dengan tatanan baru, rasanya masih canggung untuk berdampingan dengan tatanan seperti apa pun yang hadir dengan spontan.

Usahaku membuat cerita terhenti di paragraf pertama karena mendapat telepon dari ibu. Biasanya, kalau ibu telepon selalu berfaedah menyelipkan mantra-mantra baiknya.

Di masa pandemi atau tidak, kami intens membangun cinta antara ibu dan anak. Kali ini dia memberi kabar bahwa bapak sakit. Katanya, sakit karena rindu dengan anaknya yang tidak seberapa ini.

Aku tahu mereka kecewa karena harapan tentang kepulanganku pupus. Melalui gawai, ia perlihatkan wajah bapak yang pucat dan lesu. Aku tahu kabar ini menyakitkan, tapi tidak ada yang bisa diperbuat selain menenangkannya.

Pemerintah yang membatasi perjalanan pulang kampung membuat jadwal kepulangan terpaksa dibatalkan. Tentu saja kami semua kecewa, tapi bukan berarti pilihan ini buruk. Pulang kampung juga belum tentu menjadikan semuanya lebih baik. Satu-satunya cara yang masih memungkinkan ialah intens memberi kabar dan bercengkerama walau hanya lewat gawai.

Bapak bicara lirih, “Kelak, kalau sudah bisa pulang, bersegeralah. Tidak usah ditunda-tunda lagi. Bapak rindu.” Laki-laki ini hampir tidak pernah berucap rindu. Kali ini ia cukup membuatku sedih. Tapi di depannya aku harus menahan air mata.

“Pasti. Kelak, kalau sudah diperbolehkan pulang kampung, hari itu juga langsung pulang. Lekas sembuh, ya.”

“Bapakmu itu cuma berharap kita tetap kumpul dalam keadaan macam apa pun, terlebih macam sekarang ini,” kata ibu menimpali dan tidak banyak yang bisa aku perbuat selain memberinya senyuman hangat.

Sepanjang yang aku tahu, mereka selalu memahami apa-apa yang menjadi inginku, termasuk alasan yang kerap terlontar untuk tidak pulang bahkan jauh sebelum pandemi ini. Dan aku rasa, sikap memahami itulah salah satu bentuk kebijaksanaan mereka. Rindunya itu membuat dada sesak menahan haru.

Di sisi lain, aku tidak menyesali nasib. Itu memang fakta yang tidak mengenakkan. Tapi hampir semua orang berada di posisi yang sama. Rasa cemas melampaui rasa-rasa yang lain.

“Kalau seandainya pandemi ini tidak pernah ada, mungkin aku selalu punya alasan untuk tidak pulang. Sebab itu, tidak ada alasan lagi untuk tidak pulang setelah pandemi ini berlalu. Sebab bapak sudah rindu dan harus segera bertemu,” gombalku.

Setelah berbincang panjang, mungkin pertemuan di layar telepon cukup membuat girang. Senyum kami mulai merekah, khususnya bapak. Benar ujar Pramoedya di masa lalu, “Di dunia ini tidak ada sesuatu kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali.”

“Oh ya, nanti kalau pulang, belikan kue-kue yang dijual Ta Jie, ya. Enak, murah juga. Aku suka,” sambungku sebelum pembicaraan berakhir.

“Setiap pagi Ta Jie masih sering jualan kue. Tapi, kalau kamu pulang, tidak perlu beli, biar ibumu buatkan,” jawab bapak semangat.

“Iya, ibu buatkan. Jaga kesehatanmu, nak. Ikuti saja imbauan yang bisa menjauhkan diri dari penyakit. Ibu dan bapak hanya bisa berharap yang baik-baik untukmu,” sambung ibu, sedangkan bapak sudah mulai sumringah.

Kami menutup pembicaraan dengan senyuman manis. Dalam hati aku berujar, “Kita saling mengkhawatirkan—orang tua mengkhawatirkan anaknya, anaknya mengkhawatirkan orang tuanya.” Tapi benar juga kata orang, hanya kata-kata orang tualah yang menyenangkan dan menenangkan telinga.

Baru saja niat melanjutkan cerita ini menggelora, tiba-tiba lagi harus menerima panggilan telepon seorang teman. Dia semangat bercerita tentang keadaannya di rumah selama beberapa waktu. Katanya, percuma saja dia pulang, sebab ketika sampainya di bandara, mereka langsung wajibkan untuk pakai gelang khusus.

Gelang itu harus digunakan untuk memantau pergerakan orang-orang yang sedang dalam pemantauan atau orang tanpa gejala Covid-19 dan bisa melacak pergerakan mereka selama berada di rumah. Gelang diperuntukkan bagi mereka yang baru memasuki kawasan tersebut.

“Selain itu, kami macam malaikat maut. Dijauhi karena dianggap membawa virus mematikan seolah kami adalah virus itu sendiri. Karena kami dijauhi, ya tidak banyak yang bisa dilakukan selain berada di rumah dengan waktu yang tidak ditentukan. Dan akan terdeteksi otomatis jika kami mencoba membuka gelang pemberian itu. Menonton TV untuk hiburan juga percuma, hanya menonton kesengitan dan topik-topik yang terus diperdebatkan.”

“Mungkin kita juga perlu menyiapkan diri menghadapi masa-masa setelah lepasnya masa sulit ini. Mungkin juga akan berat, tapi tetap harus dijalani, bukan?”

Aku memahami betul kekhawatiran dan amarahnya yang menggebu-gebu. Tapi lagi-lagi, semua orang merasakan hal yang sama.

Mungkin banyak hal juga terasa asing karena kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Tidak hanya mendapati diri di rumah saja, banyak juga yang diasingkan di tempat yang jauh bahkan tak sempat bercengkerama dengan keluarga. Beragam kejadian-kejadian yang kudapat dari cerita teman-teman yang justru membuatku merasa tambah tidak karuan.

Uci Susilawati
Latest posts by Uci Susilawati (see all)