Paradoks Kotak Amal; Reformasi Konsep Funding Pembangunan Masjid

Paradoks Kotak Amal; Reformasi Konsep Funding Pembangunan Masjid
©Bukamatanews

Dalam perjalanan pulang dari Kota Amoy Singkawang, bersama salah seorang teman sempat berdiskusi panjang tentang topik yang mungkin sedikit absurd karena kami mulai dengan pertanyaan tentang asal muasal ide kotak amal yang selalu ada di tiap masjid.

Mulanya pertanyaan itu muncul ketika kami menjumpai tiap ruas jalan yang di dekatnya ada pembangunan masjid, bejejer sekelompok remaja sambil memegang keranjang yang difungsikan sebagai kotak amal dan melambaikan bendera merah kuning ala anak-anak Pramuka saat latihan Semaphore.

Awalnya, teman saya ini sedikit mengumpat tentang polah mereka. Sebab bukannya berdiri di samping badan jalan, mereka justru nangkring di tengah ruas jalan itu dan tentu sangat berbahaya bagi pengguna jalan termasuk mereka sendiri.

Model funding seperti ini sebenarnya bukan hal yang baru di masyarakat kita. Sebab ada juga misalnya para penyapu uang sedekah di jalur mudik Pantura atau volunteer lembaga filantropi yang berdiri anggun di pom bensin, terminal bus, dan pasar-pasar yang mengharapkan donasi dari uang sisa kembalian belanja.

Belum lagi misalnya kita juga jumpai orang yang mengaku sebagai utusan masjid yang melakukan funding door to door untuk meminta bantuan dari masyarakat; biasanya dengan membawa proposal, amplop, kotak kardus, dan sejenisnya.

Pada akhirnya kita akan bertemu pada satu pertanyaan kontroversial berkaitan dengan paradoks funding kotak amal yang selama ini identik dengan masyarakat Islam, terutama berkaitan dengan agenda-agenda sosial dan pembangunan. Kita akan menemui begitu banyak masjid yang dibangun dengan hasil funding kotak amal serta kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang juga diadakan dengan penyangga dana dari kotak amal dan sejenisnya itu.

Sedangkan yang seperti itu akan begitu sulit kita jumpai pada pembangunan rumah ibadah umat beragama lain, sebutlah gereja atau vihara misalnya.

Islam memang mengajarkan setiap orang yang memiliki kelebihan rezeki untuk berbagi kepada sesama yang masuk dalam kategori membutuhkan. Bahkan Islam juga mewajibkan zakat bagi setiap muslim di Bulan Ramadan sebagai ajang membersihkan harta yang diperoleh dan membagikannya kepada para mustahik atau orang-orang yang berhak menerimanya.

Baca juga:

Perintah serta konsep saling berbagi dalam Islam ini sebenarnya merupakan satu hal yang menakjubkan. Artinya, agama ini menekankan konsep distribusi kesejahteraan bagi setiap manusia tanpa kemudian ada gap yang jauh antar-sesama sehingga menimbulkan kelas-kelas sosial di masyarakat, hampir sebagaimana konsep Marxisme dan Sosialisme dalam berkaitan dengan distribusi kesejahteraan.

Meski begitu, fenomena funding untuk pembangunan masjid dengan bediri di tengah jalan sambil menenteng kotak amal atau dengan door to door menjumpai masyarakat agar berdonasi adalah bentuk ketimpangan pola pikir masyarakat kita.

Juga artinya bagian dari evaluasi terhadap pemahaman kita terhadap konsep sedekah dalam Islam sekaligus membawa kita pada setidaknya dua pertanyaan besar; apakah konsep sedekah dalam Islam? apakah perlu masjid dibangun begitu bebas dan banyak?

Dalam Peraturan Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, disebutkan tentang aturan pendirian rumah ibadah haruslah didasarkan pada pertimbangan dan keperluan nyata berdasarkan komposisi penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Aturan ini memang dibuat agar tidak semua orang bisa membangun rumah ibadah, dalam hal ini masjid salah satunya.

Jamak kita ketahui bahwa orang hari-hari ini berlomba untuk membangun masjid, dengan dasar syiar agama dan pada akhirnya menumpukan sebagian besar biaya pembangunan tersebut pada funding kotak amal atau door to door. Belum lagi misalnya case mengenai funding abal-abal yang banyak dilakukan oleh oknum yang tak bertanggung jawab.

Di Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekkah misalnya, ada aturan tentang tidak semua orang bisa sembarangan mendirikan masjid besar sebab ada syarat tertentu berkaitan dengan jarak antara satu masjid dengan lainnya. Ada istilah meunasah yang merupakan tempat berkumpul, berkegiatan masyarakat gampong, dan termasuk salah satunya melakukan ibadah-ibadah harian seperti salat lima waktu sehingga masjid besar hanya diperbolehkan dibangun pada jarak tertentu.

Dengan case di atas, sudah saatnya kita mengonstruksi ulang mengenai konsep sedekah untuk melakukan pembangunan masjid dengan belajar pada masyarakat non-muslim yang justru membangun rumah ibadahnya tanpa melakukan beragam model funding yang justru merusak izzah agama.

Misalnya dengan memfungsikan penuh lembaga seperti badan amil zakat, badan wakaf dan hibah, dewan masjid dan sebagiannya untuk mengatur distribusi dana untuk pembangunan masjid dan tidak membiarkan setiap orang secara bebas membangun masjid dan melakukan funding atas namanya.

Baca juga:

Sehingga dengan begitu kita sudah on the track melakukan revolusi tentang gagasan beragama. Bahwa bukan hanya masalah semangat tetapi juga menggunakan akal dan pertimbangan maqashid syariah dalam melaksanakan ajaran agama sebagaimana perintah agar kita selalu menjadi bagian dari hamba yang disebutkan sebagai ‘ulul albaab’ atau orang- orang yang menggunakan akal pikiran.

Sultan Alam Gilang Kusuma