Paradoks Pancasilais Memahami Pancasila

Paradoks Pancasilais Memahami Pancasila
©PPSDM

Dengan usia bangsa Indonesia menginjak umur 77 tahun, tantangan zaman makin besar yang diemban anak bangsa sebagai pemegang tongkat estafet demi kemajuan peradaban Indonesia dan dunia. Seiring dengan globalisasi yang makin masif dengan ditandai penyebaran informasi yang dituangkan melalui beberapa media massa.

Informasi yang dibuat oleh personality diproduksi melalui gagasannya tentu tidak dapat dihindari. Pasalnya dalam hal ini setiap orang mempunyai gadget berupa smartphone, yang mana setiap orang dapat menggali informasi yang ia inginkan.

Menurut amat saya, berdasarkan pengamatan di dunia maya seiring dengan banjirnya informasi, tentu menjadi tantangan yang besar bagi para pembaca. Oleh karena itu, maka seharusnya perlu adanya pola verifikatif dan investigatif berbasis riset yang mendalam dan utuh untuk mengetahui kebenaran dari informasi tersebut.

Informasi yang masif dalam penyebarannya, saya mencoba memfokuskan beberapa temuan fenomena bahwa Pancasila hanya dijadikan sebagai bahan dagangan populisme belaka untuk mendapatkan simpatisan publik. Dalam hal ini, bahwa Pancasila hanya berkutat dalam wacana belaka yang makin bias dan jauh dari kata harapan implementasi, baik dalam tingkah laku maupun dituangkan dalam instrumen kebijakan publik.

Tentu hal ini sangat ironi melihat kondisi demikian. Masih banyak masyarakat yang harus dipenuhi hak-haknya dalam berkumpul dan berserikat, serta mendapatkan jaminan dari negara (pelaksananya pemangku kebijakan) untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.

Meskipun demikian, bahwa populisme mengidap di tubuh para klaim pakar pancasila berlatar belakang akademik maupun politisi. Kendati demikian, keduanya sangat dominan melakukan gerakan marketing dalam klaimnya sebagai sosok yang nasionalis dan religius. Lantas, kadangkala bagaimana peran dari paham marxisme di Indonesia, yang mana para The Founding Father.

Seperti Bung Karno terinsipirasi oleh pemikiran Karl Marx yang dikenal sebagai paham “Marxisme” sebagai teori gerakan sosial yakni dengan cara penyadaran masyarakat dengan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia ketika bangsa Indonesia merasa terjajah oleh kolonial belanda yang berwatak kapitalisme dan imperialisme yang dapat merugikan bangsa Indonesia, menindas secara sistemik dan terstruktur.

Meskipun hingga saat ini, Marxismephobia sudah melekat dalam benak alam pikir rakyat Indonesia secara keseluruhan, terutama beberapa pakar yang klaim pancasilais dengan menghilangkan peran dari marxisme dalam sejarah panjang perumusan Pancasila.

Baca juga:

Jika kita ingin mendalami alam pikirnya Bung Karno sang penggali “Pancasila” dari Bumi Nusantara, maka kita harus mempelajari faktor-faktor yang melatarbelakangi pemikirannya. Ahistoris dan tidak mengena hal yang bersifat substantif, esensial, holistik dan komprehensif kerap kali mengidap klaim pakar Pancasila dengan mengabaikan peran marxisme yang dibuktikan dengan beberapa karya tulisnya atau beberapa statemennya.

Dugaan karena masih takut dengan peran marxisme akibat dari proses pergantian rezim era Revolusi Kemerdekaan yakni dipimpin oleh Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia Pertama, diganti oleh Rezim Orde Baru dengan Presiden Republik Indonesia Kedua, Suharto dengan cara melanggengkan ambisinya untuk menjadi penguasa republik Indonesia dengan menjadi presiden selama 32 tahun.

Meskipun demikian, menurut saya bahwa Suharto merupakan organisatoris terbaik, dan mempunyai siasat yang jitu untuk menaklukkan lawan politiknya, terutama kaum pengikutnya Bung Karno.

Perdebatan Tafsir tentang Ketetapan TAP MPRS No. 25 Tahun 1966

Saya pernah menulis sebuah opini yang berjudul “Pentingnya Program Studi Pancasila pada Perguruan Tinggi” terbit di Nalar Politik pada 8 Mei 2022. Dalam hal ini, mengingatkan bahwa pentingnya pengkajian Pancasila ditinjau dari sudut pandang akademik ilmiah yang bersifat formal.

Pasalnya, perdebatan mengenai Pancasila kadangkala masih menemui jalan buntu. Meskipun demikian, bahwa pembentukan Pancasila yang ditafsirkan oleh beberapa tokoh pengkaji Pancasila terkesan bias dan mengabaikan substantif pemikiran Bung Karno tentang Marxisme yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia.

Padahal jika mengetahui kronologis pemikiran secara utuh Bung Karno sang penggali Pancasila, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila berangkat dari latar belakang dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh yang progresif dan revolusioner dari para kritikus Barat (seperti Karl Marx, George Wilhem Freidrich Hegel, Friedrich Nietzsche, Mahatma Ghandi, Syekh Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh, Syekh Ali Ridho) dengan konsep pemikiran Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Baca Buku Bab I Dibawah Bendera Revolusi Djilid Pertama).

Tiga ideologi besar yang mampu melawan paham dan karakteristik Kapitalisme, Imperialisme, Feodalisme, dan sejenisnya yang berwatak l’exploitation de l’homme par l’homme (Penghisapan Manusia diatas Manusia).

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) sebagai senjata Rezim Orde Baru beserta para simpatisan yang mengkudeta Bung Karno melalui aksi massa menjadi ironi. Rezim Orde Baru menggunakan Pancasila dengan perlahan melakukan desukarnoisasi dan menetapkan Ketetapan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Halaman selanjutnya >>>
Aji Cahyono