
Apakah Partai Mahasiswa Indonesia mampu menciptakan iklim demokrasi yang ideal dan betul-betul menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi?
Hiruk pikuk dinamika politik nasional kini mengalami turbulensi yang terjal dan makin jauh dari aras idealnya yang berpihak pada rakyat. Bisa kita lihat saat ini, di mana terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan kalangan aktivis mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat sosial lainnya dalam menuntut pemerintah agar tak menunda pemilu dan juga segera menyelesaikan problem ekonomi; kenaikan PPN 11%, harga BBM, minyak goreng, dan problem ekonomi politik lainnya.
Saat luapan akumulasi kemarahan beserta tuntutan gerakan sosial dalam menuntut pemerintah agar masalah-masalah tersebut segera diselesaikan dan sampai kini pun belum menemukan titik cerah, publik kini malah dihebohkan dengan lahirnya Partai Mahasiswa Indonesia yang sudah memiliki SK pendirian di Departemen Hukum dan HAM.
Tentu ini menjadi sebuah kontroversi yang cukup mengernyitkan dahi jika diamati secara saksama dan dengan tempo penalaran yang rasional. Sebab jika ditelisik lebih jauh, maka di tengah situasi polirisasi politik dan polarisasi gerakan mahasiswa saat ini mengapa partai yang mengatasnamakan mahasiswa bisa lahir.
Tentu ada banyak asumsi liar yang berkeliaran di benak kita; Siapa donatur untuk berdirinya partai ini? Apakah ini skema oligarki kekuasaan untuk memecah belah gerakan mahasiswa? Bagaimana bisa mahasiswa yang notabene adalah bagian dari civitas akademik yang tugasnya adalah belajar, melakukan riset, dan memperjuangkan keadilan lewat parlemenen jalanan malah kini mendirikan partai yang masuk dalam skema politik praktis?
Ini adalah secuil pertanyaan yang menggerogoti pikiran kita dan ingin penulis urai lewat tulisan kali ini agar ada lentera cahaya yang bisa memberikan sedikit jawaban!
Secara ringkas kita dapat membagi sejarah gerakan bangsa kita dalam 4 fase besar. Yang pertama, periode pergerakan nasional (1900-1945); kedua, periode orde lama (1945-1965); ketiga, periode orde baru (1965-1998); dan yang terakhir ialah periode pasca reformasi (1998-sekarang).
Semua periode itu tentu punya semangat gerakan dengan orientasi politiknya. Kemudian juga dari pelbagai fase sejarah gerakan itu, ternyata mahasiswa tidak dapat menghindarkan dirinya dari politik, sebab realitas politik merupakan variabel yang punya andil dalam menentukan kehidupan kemahasiswaan.
Selanjutnya, peran mahasiswa dari dulu hingga sekarang, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, adalah sama, yakni sebagai garda terdepan yang memainkan peran “kontrol sosial”. Sejarah sudah membuktikan itu, bahwa dalam konteks gerakan Indonesia, peran mahasiswa dalam menciptakan suatu perubahan sangat besar. Bahkan ia terkadang ditakuti karena dapat memobilisir gerakan massa yang dahsyat.
Baca juga:
- Kritik bagi Gerakan, BEM SI dan Nusantara Gambaran Mahasiswa Malas Membaca
- Membaca Ulang Oligarki dan Partai Politik dalam Lanskap Demokrasi Indonesia
Pasca reformasi, gerakan mahasiswa mengalami regresi sebab mereka gagal melihat siapa kawan yang harus dirangkul dan siapa musuh yang harus dilawan. Di samping itu, mahasiswa saat ini pun masih menganggap bahwa wacana pembebasan sosial bagi rakyat tertindas bisa dilakukan tanpa melibatkan gerakan rakyat tertindas secara sadar.
Abdil Mughis, dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta yang juga Direktur Indoprogress Institute dalam “project multatuli” mengkritik gerakan mahasiswa pasca Reformasi khususnya pada 2019. Ia menilai gerakan mahasiswa yang dilakukan hanyalah aktivisme borjuis.
Lantaran, pengorganisasian mahasiswa belum ada yang berbasis kelas, dan hanya membentuk LSM yang melunakkan tuntutan perubahan. Aksi Reformasi Dikorupsi dianggap cair dan tidak memiliki pemimpin, atau hanya sekadar menjadi kerumunan.
Mughis juga menganggap gerakan mahasiswa kerap menyalahkan penguasa dan negara, tetapi kontradiktif dengan tuntutan yang berharap adanya budi baik penguasa. Tentu ini sebuah pandangan kontra-revolusioner tanpa meletakkan analisis oligarki dan kapitalisme.
Mahasiswa yang notabene masuk dalam kelas menengah modern tentu diharapkan mampu menggulirkan skema perubahan sosial. Heroisme sejarah gerakan mahasiswa dalam dinamika politik tentu sudah menjadi catatan tersendiri.
Tapi apakah dari rentetan sejarah gerakan mahasiswa yang begitu heroik itu kini mahasiswa harus memiliki partai? Sudah barang tentu ambigu, sebab bagaimana bisa di tengah iklim partai borjuasi juga dalam skema neoliberalisme kita masih percaya dengan sistem hari ini.
Harusnya sebagai mahasiswa kita melampui sistem yang ada dengan melahirkan perubahan total atau revolusi dalam sistem demokrasi dan ekonomi-politik kita. Bukan malah ikut mendirikan partai yang nanti hanya menjadi alat penguasa dan jauh dari fungsi repsresentatif; baik itu untuk kalangan mahasiswa secara khusus maupun rakyat pada umumnya.
Harus kitra insyafi bahwa reformasi yang telah berjalan lebih kurang 24 tahun telah memunculkan berbagai perubahan format berpolitik dengan varian metodologisnya di sektor ekonomi dan politik. Dalam satu era bernama reformasi ini, kerangka berdemokrasi mengalami berbagai penyesuaian akibat disrupsi teknologi besar-besaran.
Halaman selanjutnya >>>
- Lepas Penerima Beasiswa, Pergunu Alor Siap Tingkatkan SDM Berkualitas - 16 September 2023
- Sensus Pertanian 2023, Ikhtiar dan Tantangan Mewujudkan Kesejahteraan Petani - 1 Juni 2023
- Menyongsong Pilpres 2024 dan Pemimpin Harapan Rakyat - 18 Agustus 2022