Pasar Tradisional

Pasar Tradisional
©Pinterest

pasar tradisional adalah arena perang

sinar mentari jatuh di jok motor yang ditutupi sobekan kardus, di kepala
yang menggantungkan hidupnya pada peluit, di pedagang yang
(sebagian) menyembunyikan angka timbangan. karena semalam laut
menitipkan sebagian kecil dirinya pada awan, yang dikembalikan lagi,
tetapi tersesat di bawah kaki yang mengenakan sepasang burung walet.
ikan melihat potongan tubuh laut: tersangkut di rok, di celana putih,
dan bertamu di hidung ibu-ibu yang kerap kali menitipkan anak-anaknya
kepada rumah: supaya mereka tak tersesat di rumah-rumahan atau
terlena di mobil-mobilan. sebab para pahlawan tak banyak berdiam di dompet

pasar tradisional adalah arena perang: tangan-tangan bergerilya dari cabai
ke tomat ke lengkuas ke bawang merah yang mudah bersedih. melakukan
tawar-menawar ke sekian hingga harga tak dapat lagi dibanting. berpindah
dari lapak ke lapak, melewati pengemis  (yang menyimpan pangkalan pearl harbour
—minggu pagi, 7 desember 1941 di perutnya). menembakkan kata-kata yang
sama kepada pedagang lain: tidak bisa kurang lagi bu? sawi dan selederi
tersenyum layu ditatap matahari.

Sebuah Kapal Membawamu Pergi

sebuah kapal mengangkat jangkar
seperti memisahkan pelukanmu dari pinggangku.
menyisakan kepulan asap
—membuat dadaku terasa sesak

kapalmu menjauh, semakin kecil
meninggalkan rinduku yang membesar.

aku harap ia bukan kapal van der wijck
yang membawa hayati pergi, tak pernah kembali
jika itu terjadi, jiwaku turut karam
lantas ikan-ikan kepiluan
akan menemaniku setiap malam

meski kau tak lagi tampak
gema tawamu masih terdengar, dibawa angin
lalu jatuh, melebur bersama debur ombak
—bolak-balik mengecup bibir pantai
seperti sebuah lagu sedih
yang sengaja diputar berulang-ulang

Sesuatu yang Telah Dicuri

lampu-lampu di jalan telah padam
lampu di matamu menyala perlahan-lahan,
menatap plafon yang menyimpan jejak hujan,
beberapa ekor laba-laba di sudutnya—membuat rumah
agar semut atau nyamuk merasa betah
mengingatkanmu perihal tubuh kekasihmu
: halamannya terlihat bersih, tetapi di dalamnya kotor

“kemari manis,  mari kita pecahkan sunyi” ucapnya dahulu
kau mengangguk seperti anak kecil yang dipoles pupur
dengan rambut terkuncir sebelum berangkat sekolah.
kau tak tahu, bahwa yang berbicara adalah buaya
dengan bujuk rayu menyembunyikan gigi runcingnya

kau bersedih setiap kali mengingat malam yang merah
—sesuatu dari tubuhmu telah dicuri
pencuri yang membuat separuh ranjangmu terasa hangat
dan separuhnya lagi terasa dingin

Rudi Setiawan
Latest posts by Rudi Setiawan (see all)