Patina, Negeriku Tak Acuh

Patina, Negeriku Tak Acuh
©Dahlstrom

Tahukah pemilik pipi warna patina tentang acuhku? Pahamkah dia kalau aku memuja?

Perjumpaan warna-warni kemilau sinarnya begitu mempesona. Sekaligus membakar, menghitamkan, menggelapkan. Sebagaimana umur yang menenggelamkan ketakjuban.

Siang di pinggiran kota besar itu melukis kehitaman, kepekatan, keusangan pikiran-pikiran yang hilir mudik bertahan hidup. Telah berderap-derap ambisi dan cita manusia memenuhi kosong impian masing-masing.

“Wahai, warna patina,” ucapku yang tak sepadan dengan pipi itu. Sepertinya tak perlu interjeksi, panas siang ini membakar semua estetika.

“Itukah kayunya?” tanya wanita pemilik pipi warna patina itu yang tak membuntal lagi.

“Ya, ini!” jawabku singkat.

Tanganku menjulur, rengkuh dengan genggaman kuat pada kayu yang usang itu. Sedang tangan kiriku terceluk ke saku yang bolong ini.

Pancaran matahari yang lebih tepat disebut campuran itu, melucutkan titik-titik panasnya melukis guratan-guratan hangus di pipi tirusnya. Berasa cengis dan bengis. Tak ada pembelaan dari alam raya.

Semua berjalan dengan hukumnya masing-masing. Panas yang membakar, dingin yang membeku, umur yang menua, ambisi yang meledak, ampunan yang mendinginkan.

Kerumunan hati luka, iri hati, kedok-kedok yang berlapis hingga nurani lugu yang suci berkumpul siang yang panas itu. Entah apa dan siapa yang membawa semua hukum alam ini. Yang berkuasa terus berkuasa, yang terinjak abadi terpuruk.

Rangkaian kata-kata demokratis nada tinggi mulai membahana, merobek siang bolong. Suaranya beradu dengan raung sirine yang sering gagal paham tentang mereka. Tatapan mata nanar beradu dengan kekosongan haluan hidup.

Yang kuperhatikan hanya warna itu…………

Kuning yang menjadi keemasan, berwarna madu. Warna khas patina dengan permukaan yang dibentuk oleh penuaan. Begitu indah bagi perindu, hanya perindu.

Perindu, bukan kamu yang busuk. Bukan pula mereka yang angkuh di belakang jauh sana, di balik gedung-gedung berpenjaga.

Perindu, bukan kamu yang busuk. Bukan pula mereka yang cemerlang oleh lindungan derap sepatu-sepatu kokoh itu, di balik tameng-tameng yang berbayar, di bawah lindungan besi-besi dingin berpeluru.

Yang kuperhatikan hanya warna itu……………

Warna yang tergosok oleh tamparan-tamparan lembut atmosfer bumi yang berumur. Berdebu pipinya. Tentunya bukan pipi asosial, menegasikan kata berikutnya: sosial.

Pipinya adalah milik sebuah perjuangan hidup. Milik sebuah arti tertindas hukum alam. Yang kuat menang. Akan terus tertantang dan berkalang.

Aksi sinar matahari siang itu menghasilkan kilau seperti perunggu, atau menegaskan tentang arti “kulit”. Seperti yang di sana itu. Aksi tentang keadilan?

Aku acuhkan saja sambil beringsut minggir ke trotoar. Memberi jalan pipi wanita warna patina itu. Tahukah pemilik pipi warna patina tentang acuhku? Pahamkah dia kalau aku memuja?

“Acuh” yang sering disalahartikan. Bagi sebagian penutur, acuh itu yang cuek dan tidak memberi perhatian. Padahal menurut penutur cinta, acuh itu berarti peduli; hirau; ingat; indah; hisab!

Sama halnya pipi warna patinanya yang terhisab, bahkan hampir habis lembutnya terhisap. Hisab dan hisap sudah mendarahdaging di bumi berumur ini.

Tetap aku genggam potongan kayu kaki kursi ini. Entah mengapa aku kesetanan memegangnya. Terasa urat-uratku ingin berbicara tentang arti genggaman kuat dan keras ini.

Namun, itu tak jadi. Hanya terwakili bolak-balik arus darah. Memerah di muka, memanas di hati. Hingga siap meledak di kerongkongan. Siap terwakili oleh olah vokal-vokal yang mewakili rangkaian kata-kata demokratis.

Apakah kayu ini akan ikut terayun? Menebas udara kosong atau mendarat di sasarannya? Membuktikan warna patina ini?

Yang kuperhatikan hanya warna itu…………..

Warna kuning patinanya hampir sama dengan warna patina pipinya. Kalaupun tidak sama, ku samakan saja.

Akan kusamakan dengan warna potongan kaki meja. Jika kurang, akan kupanggilkan  benda-benda logam. Tembaga, kuningan dan perak yang telah terkorosi. Mereka punya warna patina.

Jangan kalian katakan rusak! Apalagi tercampak! Warna-warna patina itu estetika. Kekuningan yang bukan emas. Keemasan yang bukan madu. Hingga gemetar tanganku membelanya.

Kilauan-kilauan usang itu sewarna dengan potongan kayu yang tegenggam. Dari abu-abu kusam hingga coklat gelap yang dalam.

Laksana kayu Mahoni kehilangan rona kemerahannya, melembut menjadi gradasi warna coklat, keemasan hingga abu-abu yang indah. Pipi itu lembut. Pipi itu sudah menjadi ideologiku. Mengajarkan ribuan filsafat. Ribuan entah apa lagi. Dan lagi……..

Tentang debu dan kotoran bertahun-tahun yang menempel di potongan kayu ini memainkan perannya hingga terlihat lebih pucat. Seperti pipi itu. Pucat yang memikat. Siang ini…….

Mahoni ini terlalu banyak keluar minyak alaminya dari ujung kayu. Menggelapkan. Sebagaimana pipi itu yang mengucurkan keringat-keringat perjuangan hidup.

“Patina saripati,…….” desahku.

Tapi tetap saja potongan kayu di tanganku tergenggam kuat. Bahkan hingga bergetar. Tak sedikitpun aku mengendurkan daya cengkram yang sudah terbakar ini.

Terbayang warnanya makin menguat di pelupuk mata ini. Tak hanya Mahoni, benda-benda tembaga atau perunggu yang teroksidasi alami seolah hadir. Pamerkan warna patina mereka yang estetik. Mendukung alur logika patinaku……….

Warna-warna patina pada pipi-pipi wanita itu yang dihasilkan oleh tempaan hidup. Kerasnya kehidupan sosial dan bernegara.

Keras yang melebihi tamparan cuaca, bahkan lecutan pancaran matahari siang ini yang mulai ramai oleh derap kaki para pejalan, penjaga negara, hingga asongan dadakan yang mulai memadati trotoar.

Potongan kayu masing kugenggam. Kucuran keringat di tangan mulai membasahi permukaannya seolah memberikan aksen tampilan kerasnya lingkungan kami. Kerasnya warna-warna kehidupan.

“Tak perlu kau bawa-bawa kayu itu,” ucapnya lirih sambil matanya terus nanar ke potongan kayu yang sudah basah kuyup ini.

“Tidak!” jawabku singkat menyengat. Takjub ternyata tak cukup untuk membendung amarah ini.

“Kulit bukanlah satu-satunya hal yang mengembangkan patina, ada, lilin, logam, dan bahkan batu juga dapat mengembangkan kemilau patina,” terangnya.

Jelasnya terasa menghujam-hujam dalam. Aku terdiam. Takjubku mulai memasuki relung-relung yang semestinya. Takjubku berubah menjadi ilmu dan ilham yang tanpa hitam.

“Untuk apa?” tanyaku

“Itu……!” jawabnya singkat sambil telunjuknya yang lentik mengarah ke beberapa anak kecil yang ikut ibunya menjajakan asongannya di sebuah pohon rindang di sudut jauh kerumunan massa itu.

“Mana?” tanya bodohku lagi.

“Yang duduk sambil baca jilidan usang itu,” terangnya.

“Itu? Anak kecil?” tanyaku memastikan.

“Ya, sekarang pulanglah!” perintahnya lembut.

“Pulang?” tanyaku

“Ceritakan tentang kayu yang kau genggam itu!” perintahnya lagi.

Jawabannya membuatku seperti mendapat segarnya siraman prosa baru. Mengikis perlahan prosa-prosa panjang bertele-tele ala  roman dan hikayat. Uraiannya itu seperti intisari sebuah cerpen saja. Singkat dan padat penuh liris, hingga membekas teriris-iris.

Rangkaian kata-katanya mengalir tanpa perlu bombastis kepahlawanan ala sage. Seperti derap langkah sepatu-sepatu buts itu yang mulai memenuhi jalanan dengan arogannya yang bombastis.

Rapatnya sol-sol karet keras menggesek-gesek aspal menyanyikan lagu perang. Teriakan-teriakan komando yang berurat keras.

Mereka melukis dan membentuk warna patina dengan caranya sendiri. Menghalau, memukul, mendorong, menendang hingga terbentuk patina-patina yang berdarah-darah. Darah anak negeri sendiri.