Pelaku Peristiwa G30S Tidak Tunggal

Pelaku Peristiwa G30S Tidak Tunggal
©Studio Antelope

Nalar Politik – Banyak penelitian mengungkap, pelaku peristiwa G30S tidak tunggal. Hasil-hasil studi ini mematahkan versi Orde Baru yang menyebut PKI sebagai satu-satunya dalang di balik tragedi berdarah di Indonesia itu.

Hal tersebut dilaporkan Historia. Melalui tulisan Randy Wirayudha bertajuk Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S, ini turut menjadi alasan mengapa laman berslogan Masa Lampau Selalu Aktual itu tidak pernah mencantumkan /PKI pada G30S.

“Sejak Reformasi, selain penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI, kurikulum 2004 juga tidak lagi mencantumkan /PKI. Hal ini karena banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa pelaku peristiwa G30S tidak tunggal,” tulisnya memulai (30/9).

Mengutip sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, Sukarno sendiri dalam Pidato Nawaksara mengatakan, peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab, yakni pimpinan PKI yang keblinger, subversi nekolim, dan oknum yang tidak bertanggung jawab.

“Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing,” tegas Randy.

Berdasarkan banyak penelitian itulah ia lalu memaparkan lima versi tentang pelaku G30S. Di antaranya adalah PKI, konflik internal Angkatan Darat, Sukarno, Soeharto, dan unsur asing—terutama CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat).

Pertama, PKI. Randy menegaskan bahwa ini merupakan versi rezim Orde Baru. Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh yang membuat literatur awalnya berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968).

“Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia. Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer.”

Selain itu, Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang jadi materi di banyak sekolah sejak Soeharto berkuasa juga mengeluarkan Buku Putih rezim Orde Baru. Versinya mencantumkan /PKI di belekang G30S.

“Para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai Gerakan 30 September atau G30S.”

Versi kedua, konflik internal Angkatan Darat. Hal ini mengacu pada temuan sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey dalam A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesia atau terkenal sebagai Cornell Paper (1971).

Sejarawan Harold Crouch ikut mengatakan dalam Army and Politics in Indonesia (1978) bahwa Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Masing-masing anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Soekarno.

“Kelompok pertama, faksi tengah yang loyal terhadap Presiden Sukarno, dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Sukarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya. Kelompok kedua, faksi kanan bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernapaskan Sukarnoisme. Dalam faksi ini, ada jenderal TNI A.H. Nasution dan Mayjen TNI Soeharto.”

Versi ketiga, Sukarno. Setidaknya ada tiga buku yang menuding presiden pertama Indonesia ini terlibat dalam peristiwa G30S: Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (Victor M. Fic, 2004), The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (Antonie C.A. Dake, 2006)—sebelumnya terbit dengan judul The Devious Dalang: Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974), dan Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno (Lambert Giebels).

“Ketiga buku tersebut mengarah kepada de-Sukarnoisasi, yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.”

Versi keempat, Soeharto. Dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Seoharto Terlibat G30S (1999), terungkap bahwa Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief, melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965.

Bahkan, empat jam sebelum G30S terlaksana, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan berlangsung pada dini hari 1 Oktober 1965. Menurutnya, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi tersebut.

“Fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau A.H. Nasution menjadi titik masuk bagi analisis kudeta merangkak Soeharto.”

Versi terakhir, CIA. Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin pada 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara lain seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Amerika Serikat sendiri menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia, seperti membiarkan saja, membujuk Sukarno beralih kebijakan, menyingkirkan Sukarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI, dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno.

“Menurut David T. Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy, opsi terakhir yang dipilih.”

Baca juga:

Berbagai sumber turut memperlihatkan secara terang benderang keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA dalam peristiwa G30S. Salah satunya datang dari profesor di University of California, Peter Dale Scott. Ia menulis US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang terbit dengan judul CIA dan Penggulingan Sukarno (2004).

“CIA membangun relasi dengan para perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Salah satu perwiranya adalah Soeharto.”

Sumber lainnya adalah karya wartawan Belanda, Willem Oltmans, Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001). Ada juga dari sejarawan Baskara T. Wardaya berjudul Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S (2006).

“Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa, pada akhir 1965, Amerika Serikat memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad. Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad.”

Wartawan investigasi, Katy Kadane, menguatkan. Ia menemukan bahwa Amerika Serikat telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut.

“CIA memastikan frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat sudah diketahui oleh National Security Agency (Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat). NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya. Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington.”

Dengan demikian, simpul Randy, Amerika Serikat memiliki detail bagian demi bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI. Bahkan, negara adidaya ini memberikan bantuan dana sebesar Rp50 juta (sekitar $10.000 untuk kurs waktu itu) guna membiayai kegiatan KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh) Gestapu, di samping menyodorkan nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat. [his]