
Setiap menjelang peringatan 17 Agustus, selalu terdengar suara-suara dari sebagian warga masyarakat yang kurang lebih berbunyi, “Benarkah kita sudah merdeka?”
Bila ditelusuri lebih jauh, munculnya pertanyaan itu tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa proyek nasionalisme Indonesia yang menghasilkan kemerdekaan dan pendirian negara Republik Indonesia pada tahun 1945 dirasa belum sanggup memenuhi janji-janjinya untuk membebaskan masyarakat dari “penjajahan”, terutama dari kemiskinan ekonomi dan ketimpangan sosial. Kian hari kian waktu hidup makin payah. Tambah waktu tambah pula kesengsaraan kita sebagai bangsa.
Padahal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial menyatakan bahwa “Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tetapi seakan-akan amanat itu kehilangan “ruh”-nya dalam mewujudkan kesejahteraan.
Meski sejak era Orde Baru (1966-1998) sampai era reformasi (1998) pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan terkait pembangunan untuk kesejahteraan, hal itu tetap saja tidak membuahkan hasil yang signifikan. Walaupun sekali lagi wacana kesejahteraan telah termaktub dalam UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba yang menyebutkan bahwa tujuan pertambangan adalah “meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat”. Wacana itu malah menjadi “mitos kesejahteraan” (Ardianto, 2016).
Berbekal narasi menggali potensi yang tertinggal di desa-desa, pemerintah berupaya menyelesaikan persoalan kemiskinan. Tetapi nyatanya hal itu jauh dari kenyataan. Banyak di antara desa-desa yang justru dengan hadirnya pertambangan malah makin sengsara.
Sebagaimana dikatakan oleh Erwiza Erman, peneliti sumber daya regional LIPI, “Sektor pertambangan di Indonesia belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru hanya menyisakan kemiskinan dan kerusakan.” Ia lebih lanjut mengatakan tambang timah di Pulau Bangka Belitung (Babel) yang sudah dieksploitasi selama 300 tahun membuktikan bahwa industri itu hampir tidak memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar pertambangan (LIPI, 2009).
Kasus pertambangan di atas merupakan salah satu contoh bagaimana pembangunan untuk kesejahteraan masih jauh dari kata layak. Oleh karena itu, dibutuhkan cara pandang yang menyeluruh terkait dengan pembangunan untuk menciptakan kesejahteraan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Johan Galtung, pakar studi perdamaian, “Pembangunan merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam” (Trijono, 2007).
Baca juga:
- Kekerasan Petani dan Orientasi Pembangunan Indonesia
- Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa; Apakah Suatu Keharusan?
Pembangunan di sini dipahami sebagai tujuan dan sarana untuk meningkatkan kapasitas manusia dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup yang penuh makna, sehingga manusia terbebas dari segala bentuk kekerasan, baik struktural maupun kultural, seperti kemiskinan, tekanan politik, ketidakamanan dan keterasingan budaya, yang menghambat potensi manusia secara optimal. Pembangunan dalam hal ini diarahkan untuk realisasi potensi sumber daya manusia, seperti kesejahteraan, kebebasan, keamanan, dan identitas budaya.
Kesejahteraan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesejahteraan dimaknai sebagai tenteram, senang, dan sehat sentosa. Sehingga masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat dengan keadaan sehat, damai, dan senang.
Dalam buku Macroeconomic Outlook (2009), yang disebut masyarakat sejahtera adalah masyarakat yang bisa menikmati kemakmuran utuh, tidak miskin, tidak menderita kelaparan, menikmati pendidikan, mampu mewujudkan kesetaraan gender, merasakan fasilitas kesehatan, serta hidup dalam kawasan lingkungan yang lebih ramah dan hijau. Sebuah harapan yang ingin diwujudkan masyarakat Kendeng melalui lagu Ibu Pertiwi, ibu-ibu penolak tambang menunjukkan sebuah makna simbolis tentang cinta mereka terhadap alam dan lingkungan.
Pertiwi artinya tanah atau bumi, maka memiliki pengertian sebagai ibu bumi. Manusia yang hidup di atas bumi dipersonifikasikan sebagai anak. Jadi, selama ini, manusia hidup telah dirawat oleh ibu pertiwi dengan segala berkah yang dihasilkan dari tanah.
Cara pandang semacam itu menjadikan keberadaan pertambangan hanya akan merusak relasi manusia dengan alamnya. Terlebih karena alam telah memberikan kehidupan sekaligus kesejahteraan bagi para petani (Ardianto, 2016).
Kebebasan
Demokrasi yang dinikmati sekarang ini umumnya masih diartikan secara prosedural-formal, belum menyentuh arti secara substansial, yakni demokrasi dalam arti kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat, menentukan pilihan-pilihan hidup, dan keterbukaan nalar publik untuk memperbaiki kualitas kebijakan.
Kebebasan merupakan tujuan sekaligus sarana penting dalam proses pembangunan. Sebagaimana dikatakan oleh Amartya Sen, pembangunan pada dasarnya merupakan proses perluasan kebebasan nyata manusia dan memperkaya makna hidup.
Pembangunan sebagai kebebasan, sebagaimana dikatakan oleh Amartya Sen, sangat menekankan pentingnya penghapusan sumber-sumber utama ketidakbebasan, seperti kemiskinan, ketiadaan kesempatan ekonomi, kesenjangan sosial, pengabaian fasilitas publik, sikap tidak toleran, atau aktivitas represi berlebihan negara dan pemerintahan.
Halaman selanjutnya >>>
- Ketika Hantu Berpolitik - 23 September 2023
- Belajar tentang Gandhisme dalam Film Lage Raho Munna Bhai (2006) - 27 Agustus 2023
- Mempertanyakan Cinta menurut “Aku Berpikir, Maka Aku Ada” Rene Descartes - 29 Juli 2023