Pembangunan Manusia dan Utang Jokowi

Pembangunan Manusia dan Utang Jokowi
©Aksi Kamisan

Nalar Politik – Novelis Eka Kurniawan mempertanyakan model pembangunan manusia di periode kedua Presiden Jokowi.

Melihat fakta pelantikannya yang diwarnai penjagaan ketat tentara dan polisi, yang tidak lagi diantar oleh euforia penuh harapan masyarakat Indonesia sebagaimana di tahun pertamanya, Eka menilai itu erat kaitannya dengan kegagalan pembangunan manusia di era Jokowi.

“Ketika naik ke pucuk kepemimpinan nasional tahun 2014, ia diantar oleh harapan yang membuncah. Rakyat bahkan turun ke jalan dalam suasana karnaval di hari pelantikannya. Di tahun ini, malahan diselimuti awan kelabu kerisauan. Itu ada hubungannya dengan kegagalan pemerintahannya mengurusi manusia,” kata Eka melalui tulisannya di JawaPos, Sabtu (26/10).

Jika Jokowi memang gagal melakukannya di lima tahun pertama, tanya Eka lebih lanjut, bagaimana mungkin ia bisa memberikan optimisme di lima tahun kedua? Sebab bicara tentang manusia tidak bisa dilepaskan dari hal paling fundamental tentang manusia, yakni hak-hak asasinya.

“Lima tahun terakhir, hak asasi manusia merupakan salah satu bidang dalam pemerintahannya yang bernilai buruk, merah, jika kita harus memberikan rapor kepadanya. Bahkan bisa dibilang sebagai bidang yang paling terabaikan.”

Eka pun tidak mengarahkan itu sebagai kegagalan Jokowi semata. Ia menyadari, beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia lainnya merupakan warisan lama, yang membentang jauh sebelum pemerintahannya.

“Tapi Jokowi sendiri pernah menjanjikan penyelesaian beberapa kasus. Sampai akhir periode pertama, kasus-kasus itu tak juga tersentuh.”

Melunasi Utang

Menurut Eka Kurniawan, ada hubungan yang sangat mendasar antara penyelesaian kasus hak asasi manusia dengan kehendak pemerintahan Jokowi untuk meningkatkan pembangunan sumber daya manusia.

Misalnya, dalam hal pembangunan infrastruktur seperti bandara, tentu tidak akan berfaedah jika harus mencerabut petani dari sawahnya. Merebut manusia dari pekerjaannya bukan merupakan langkah yang tepat.

“Tanpa pekerjaan, ia tak berpenghasilan. Tanpa penghasilan, ia tak mampu beli tiket pesawat. Tanpa penumpang, bandara tak ada gunanya.”

Pembangunan infrastruktur besar-besaran mungkin saja menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Warga sekitar atau terdampak bisa jadi akan sejahtera. Tetapi ketika mereka (warga) merasa perlu bersyukur atas nikmat dunia tersebut, mereka dihadapkan pada kenyataan: tempat ibadah tidak tersedia; sudah digusur karena ditolak oleh tetangga-tetangganya.

“Sangat mustahil membayangkan penguatan sumber daya manusia jika hak-hak dasar mereka dicerabut. Petani takut tanahnya dirampas. Seniman takut sensor. Intelektual takut dirundung ormas. Menulis disertasi takut menyinggung umat beragama. Dan, kita tahu, itu semua terjadi dalam lima tahun pemerintahan Jokowi.”

Karena itu, harap Eka, jika Presiden Jokowi hendak meningkatkan sumber daya manusia, maka ia harus menyelesaikan utang-utangnya terhadap berbagai kasus hak asasi manusia yang kini tambah meluber. Entah itu utang masa lalu maupun utang dari pemeritahannya sendiri, mesti diselesaikan tanpa pilih-pilih.

“Ia harus mulai menghormati manusia Indonesia dan kerja-kerjanya: petani dari tanahnya; nelayan dari lautnya; intelektual dari buku-bukunya; buruh dari alat-alat produksinya. Ia harus membebaskan manusia Indonesia dari rasa takut ketika ia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menghidupinya.” [jp]

Baca juga: