Di tengah gempuran arus globalisasi dan dampak pandemi yang berkepanjangan, pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Dengan munculnya berbagai inovasi dalam sektor teknologi dan kebutuhan industri yang terus berkembang, banyak yang bertanya: apakah kita rela pendidikan ambruk, asalkan ekonomi tetap stabil? Pertanyaan ini bukan hanya sekadar refleksi, tetapi juga mencerminkan dilema yang lebih dalam tentang masa depan generasi mendatang.
Sekilas, stabilitas ekonomi tampak sebagai prioritas utama. Ketika pertumbuhan ekonomi nasional terus melangkah ke arah yang positif—didukung oleh permintaan domestik yang kuat—tampaknya tidak ada alasan untuk meragukan kapabilitas negara. Namun, apa harga yang harus dibayar untuk mencapai pertumbuhan tersebut? Mari kita telaah lebih dalam.
Setiap tahun, sebuah anggaran yang signifikan dialokasikan untuk sektor pendidikan. Namun, hasil yang diterima tampaknya tidak sebanding dengan investasi yang dilakukan. Dan di sinilah muncul persimpangan antara prestasi ekonomi dan kualitas pendidikan. Bukankah penting bagi kita untuk terus bertanya: sejauh mana kita dapat mengorbankan pendidikan demi stabilitas ekonomi?
Mari kita mulai dengan memahami faktor-faktor yang mendorong ekonomi tetap tumbuh meskipun terdapat kelemahan dalam sektor pendidikan. Pertama-tama, konsumsi domestik yang melimpah; masyarakat yang semakin banyak membeli produk lokal memicu permintaan yang tinggi. Hal ini bisa jadi merupakan cerminan dari semangat niaga yang kuat di tengah masyarakat. Selanjutnya, investasi asing juga meningkat sejalan dengan berbagai kebijakan pro-bisnis pemerintah. Namun, kita harus mempertimbangkan apakah investasi tersebut benar-benar menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat, atau hanya berfokus pada keuntungan jangka pendek.
Ketika kita berbicara tentang pendidikan, berbagai indikator kunci, seperti angka partisipasi sekolah, kualitas pengajaran, dan keberadaan fasilitas pendidikan yang memadai, tidak dapat diabaikan. Nyatanya, meskipun ekonomi mungkin tumbuh, kesenjangan pendidikan di berbagai daerah kian melebar. Dalam hitungan angka, proporsi masyarakat yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar masih cukup tinggi. Bahkan, berdasarkan laporan, tingkat literasi di beberapa daerah terpencil masih terbilang rendah. Apakah peningkatan permintaan barang dan jasa dapat menutupi kekurangan ini?
Di sinilah tantangan muncul. Stabilitas ekonomi yang tercapai tidak ada artinya jika masyarakatnya tidak memiliki keahlian yang memadai untuk bersaing di pasar global. Kita perlu mempertimbangkan, apakah kita akan terus mengokohkan fondasi ekonomi yang rapuh, sambil mengabaikan pendidikan yang seharusnya dapat menyuplai generasi penerus yang berkompeten? Hal ini mengundang pertanyaan baru: apakah perekonomian yang tumbuh pesat dapat bertahan tanpa dukungan dari pendidikan yang berkualitas?
Seiring dengan pertanyaan tersebut, mari kita selami lebih dalam soal efektivitas dan kebijakan pendidikan yang ada saat ini. Apa yang menjadi akar dari ‘ambruknya’ pendidikan di Indonesia? Salah satu penyebab utama adalah kurangnya alokasi anggaran yang tepat sasaran. Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, yang masih kekurangan sarana dan prasarana. Menyediakan tablet dan akses internet tidak akan membantu jika guru tidak terlatih dengan baik.
Lalu, kita juga tidak dapat melupakan aspek kurikulum yang kadang kala ketinggalan zaman dan tidak relevan dengan kebutuhan industri. Pendidikan seharusnya mampu membekali siswa dengan keterampilan praktis, bukan hanya teori yang mungkin tidak akan mereka gunakan di dunia kerja. Selain itu, kolaborasi antara lembaga pendidikan dan industri perlu diperkuat. Kebijakan yang memungkinkan praktisi untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka di ruang kelas akan sangat bermanfaat.
Terlepas dari tantangan tersebut, ada harapan. Inovasi terus berlangsung di sektor pendidikan, dengan banyak inisiatif berbasis teknologi yang mulai muncul. Mulai dari pembelajaran daring yang dapat diakses oleh siapa saja hingga program-program pelatihan yang dirancang untuk membantu siswa mengenali talentanya lebih awal. Namun, harapan ini tidak boleh membuat kita terjebak dalam zona nyaman. Kita harus memastikan bahwa pendidikan tidak hanya menjadi alat untuk mencetak lulusan, tetapi juga menghasilkan individu yang memiliki visi, keahlian, dan semangat juang.
Pada akhirnya, pendidikan dan ekonomi bukanlah dua kutub yang berseberangan. Keduanya saling terkait dan memerlukan pendekatan yang holistik untuk dapat berfungsi dengan optimal. Stabilitas ekonomi yang dicapai hari ini tidak akan ada artinya jika tidak diimbangi dengan penguatan pendidikan. Apakah kita akan terus berdiam diri melihat pendidikan ambruk, demi keuntungan sesaat dari pertumbuhan ekonomi? Ataukah kita akan bersatu untuk memperjuangkan sistem pendidikan yang lebih baik bagi generasi mendatang? Pilihan ada di tangan kita.






