Pengkhianatan Istri TNI

Pengkhianatan Istri TNI
©Indian Army

Dua istri TNI sembarangan di media sosial. Suami mereka harus menerima hukuman. Sekelas Dandim, berpangkat kolonel, harus menanggung malu, dicopot dari jabatan, karena ulah istri sendiri.

Ini menarik untuk dibedah. Kok bisa pemahaman ala SJW bisa menjangkiti sampai ke keluarga TNI?

Ini memang tidak lepas dari keberadaan media sosial, di mana siapa saja bisa menjadi sasaran narasi apa saja, dan dari mana saja. Jika koran dan TV masih ada lembaga berwenang untuk mengawasi dan menegur, media sosial jauh lebih bebas. Di sanalah para penebar hoaks dan ide radikalisme sangat leluasa melakukan pekerjaannya.

Sekritis-kritis media, seperti TV dan koran, masih ada celah buat dikontrol oleh siapa saja. Sementara di media sosial, cuma sesama pengguna saja yang bisa saling kontrol.

Artinya, media sosial cenderung lebih mudah bagi siapa saja yang punya maksud tertentu untuk membawa pengaruh. Pun, akun-akun media sosial saling terhubung satu sama lain. Saling memengaruhi, entah sengaja atau tidak sengaja.

Dua istri TNI tadi menjadi contoh. Narasi sesat dan membahayakan tidak kenal siapa dan dari mana, sebab bisa menyasar siapa saja. Kedua istri TNI itu lupa jika sosok yang ia cela adalah petinggi juga bagi suaminya. Ia hampir tak terpikir apa saja konsekuensi dari ketika singkat di media sosial.

Jadilah suami harus menanggung risiko; karier dalam taruhan, dan juga perasaan malu teramat besar. Apalagi, tingkah istrinya tersebut lebih terlihat sebagai pengkhianatan ketika suami justru masih berstatus sebagai abdi negara.

Pengkhianatan itu sendiri, bagi militer, jelas merupakan sebuah tabu teramat besar. Jika dalam perang, pengkhianatan begini bisa saja berujung tembak di tempat—terlepas hukum bisa jadi tidak membenarkan ini.

Jadi, edukasi bermedia sosial tetap dibutuhkan bagi siapa saja. Terutama bagi keluarga para abdi negara sendiri. Sebab terlalu besar risiko jika istri abdi negara saja bisa terpapar hate speech yang justru tertuju kepada pejabat negara.

Jika keluarga abdi negara, sekelas istri seorang Dandim, bisa terpapar, maka dapat diduga bahwa pengaruh dari penyesatan opini yang berkembang di media sosial memang sudah masuk ke tingkat bahaya.

Baca juga:

Pertanyaannya, apakah dengan ini lantas publik pun perlu dikekang dalam bermedia sosial?

Menurut hemat saya, tidak perlu pengekangan. Apa yang dibutuhkan adalah edukasi, agar kegiatan bermedia sosial tetap bebas namun lebih positif.

Pun berbagai akun yang sudah terdeteksi getol menebarkan hate speech sebaiknya diberangus. Sebab kebebasan berpendapat pun ada pagar-pagar yang tidak bisa dilangkahi. Mesti ada takaran jelas sejauh mana kebebasan yang bisa dibiarkan. Sebab fitnah, hasutan, dan sejenisnya tidak bisa dipandang sebagai bagi kebebasan berpendapat.

Selama ini, sorry, Siber Bareskrim Polri sendiri terbilang malas. Akun-akun yang jelas-jelas kencang meniupkan fitnah dan hasutan saja masih sangat leluasa. Padahal akun-akun seperti itulah yang membius pikiran masyarakat awam hingga gamang di mana harus berdiri di tengah derasnya informasi berkembang.

Mengibaratkan media sosial sebagai air, dalam takaran tertentu, memang bermanfaat. Jika terlalu deras tanpa terkendali, bisa mematikan.

Dalam kasus dua istri TNI, mereka baru saja “mematikan” karier suami mereka sendiri.

Jangan lupa, ada persoalan negara sangat serius di balik kasus ini: radikalisme dan memakan korban dari kalangan pejabat tinggi negara. Dalam kegentingan semacam ini, bermain-main dengan isu, semacam menuding bahwa itu cuma drama dan lain sebagainya, cuma membunuh diri sendiri.

Sebab, bagaimanapun, aparat negara yang berwenang punya keleluasaan yang tidak kita punya sebagai masyarakat biasa. Mereka bisa melakukan apa saja yang dianggap perlu, terlebih dalam kondisi-kondisi genting.

Berdiri membela sesama masyarakat memang tetap perlu. Namun jangan juga terjebak ikut menebar hasutan dan narasi-narasi sesat.

Zulfikar Akbar