Penumpang Gelap Demokrasi

Penumpang Gelap Demokrasi
©Redaksi Indonesia

Siapa penumpang gelap demokrasi di Indonesia?

Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolhukam), akhirnya secara resmi menyatakan sikap. Ia akan mengambil langkah pembubaran ormas (HTI) yang terang-terangan anti-Pancasila.

Setelah melakukan pengkajian, mempelajarinya secara komprehensif dan mendalam, Wiranto selaku Menkopolhukam menyimpulkan ormas tersebut telah bertindak di luar koridor hukum dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Ormas ini selalu mempropagandakan mengganti sistem pemerintahan berdasarkan Khilafah Islamiyah dan menjadi penumpang gelap di alam demokrasi.

Di sepanjang 2016 dan 2017, kita kerap menyaksikan persoalan fundamentalisme keagamaan. Selalu saja topik ini menjadi perdebatan panjang yang secara konseptual kenegaraan Republik Indonesia sangat kontradiktif. Nilai relevansi paham yang bagi sebagian umat tercap sebagai paham radikal sama sekali tidak ada.

Walau sepanjang perjalanan pembentukan NKRI, pertarungan paham yang demikian telah menjadi pelengkap rasa. Namun, model ideologi yang demikian bukanlah pilihan yang paling tepat untuk kita tempatkan pada bangsa Indonesia.

Tulisan ini bukanlah pemikiran reaksioner atas maraknya kembali panggung pertarungan ide keagamaan radikalis-fundamentalis yang melanda bumi pertiwi. Bukan pula tindakan responsif (kagetan) atas lantangnya suara keinginan mengubah ideologi dasar NKRI.

Hanya saja, bagi patriotis yang bergiat di ruang pengetahuan, tentu berkewajiban menjaga keharmonisan dan keutuhan bangsa dari penumpang gelap atas nama Nusantara. Perlu kiranya sekali lagi membaca dan menyegarkan konsep kesatuan dan persatuan yang tertuang dalam dasar negara kita Indonesia.

Dalam beberapa tulisan lainnya yang merebak, sudah dapat kita pastikan penemuan pokok ide dan pemikiran brilian. Semua untuk menjawab betapa makin daruratnya keutuhan NKRI yang terongrong kembali oleh sebagian bangsanya sendiri.

Baca juga:

Apa boleh dikata, saat panggung demokrasi Indonesia mencapai kebebasannya, beberapa kelompok keagamaan justru menjadi penumpang gelapnya. Mereka dapat menyuarakan ideologi oligarkis karena sedang menikmati keberadaannya di dalam negara yang demokratis.

Sungguh aneh menyimak fakta yang berkembang dan dikembangkan oleh sebagian orang yang menolak demokrasi di dalam negara yang demokratis. Makin tidak masuk akalnya bila dalam beberapa momentum mendapati orang lain yang tak sependapat dengan keyakinannya kita cemooh (dikafirkan, tidak diurusi jenazahnya, dll). Walaupun orang lain tersebut seiman dan bersaudara dalam agama.

Kegagalan Memahami Sejarah

Beberapa waktu yang lalu, beredar pula tayangan di media sosial tentang “ikrar sumpah khilafah mahasiswa” di IPB Dramaga Bogor yang mengikutkan ribuan mahasiswa (Harakatuna). Hal ini sejalan dengan hasil survei SETARA Institute yang mengungkapkan bahwa gagasan khilafah yang semula asing itu sudah mendapatkan dukungan 34,6 persen responden.

Dalam tulisan Pemisahan Khilafah dan Otoritas Agama, Prof. Mun’im Sirry mendeskripsikan secara umum perjalanan khilafah yang saat ini sedang menghangat merupakan bagian dari kecelakaan sejarah.

Sebagaimana pula menurut Fathorrahman Ghufron, yang memandang pendirian khilafah merupakan kekhilafan dalam memahami historitas model kepemerintahan yang Nabi Muhammad saw bangun di Madinah.

Menurut Fathurrahman yang saat ini aktif sebagai Wakil Katib Syuriyah PWNU DIY, nabi Muhammad tidaklah mendirikan negara berbasis agama seperti “Negara Islam”. Justru, secara geopolitik, Madinah merupakan sistem pemerintahan yang mengakomodir dan mengapresiasi banyak kepentingan yang ada di Madinah.

Secara akal sehat, sekelompok orang yang tetap berkeyakinan untuk tetap menegakkan khilafah merupakan bagian dari gagalnya berpikir memahami konsep “Piagam Madinah” sebagai konstitusi dasar yang bertujuan agar seluruh rakyat di Madinah dapat menjalankan rutinitas kepentingannya dengan baik.

Hal itu semata-mata untuk menjaga tatanan pemerintahan Madinah agar tidak lagi ada kekacauan dan konflik berkepanjangan yang berujung kekerasan. Sanksi tegas untuk melindungi Piagam Madinah berlaku pada siapa pun, baik Muslim, Majusi, Yahudi, dan Nasrani.

Konsepsi Piagam Madinah hakikatnya memiliki kemiripan dengan sistem Negara Islam Modern. Sebagaimana setelah runtuhnya Kerajaan Islam Turki, Jazirah Arab sebagai tempat embrio turunnya Islam terbagi menjadi negara-negara, bahkan di seluruh dunia. Walau setelah itu tidak ada lagi satu kesatuan kepemimpinan Islam di dunia, bukan berarti tidak ada lagi nilai-nilai keagamaan dalam sistem ketatanergaraan.

Halaman selanjutnya >>>
Moh Ariyanto Ridwan
Latest posts by Moh Ariyanto Ridwan (see all)