
Malam itu aku mencoba-merampungkan kembali ayat-ayat doa yang saban hari saat senja mulai berpamitan pergi (di)-dengar oleh telingaku dari lonceng-lonceng tua rumah biara akan kidung(mu)-Mariam
Aku memulainya dengan kata-kata yang kulihat luas dan tak terbatas oleh satu frasa untuk dipahami.
Demikian
“Engkau yang dikandung tanpa noda Ya Maria”-sucikanlah mulutku dari segala fitnah yang tak bertuan, lagi dusta.
“Engkau yang dikandung tanpa noda Ya Maria”-kuduskanlah imajinasiku dari segala pikiran sesat lagi nafsu bertakhta, tak ber-tuan-kan-Nya.
“Engkau yang dikandung tanpa noda Ya Maria”-kemanakan kakiku tanpa mengembalikan lidah pada tanganku untuk bertindak panjang, lagi sukar memaafkan.
Mariam
Aku rindu yang sebentar-sebentar Tuan kita ingin engkau mengunjungi rumah ibu(ku) biar aku yang menyeduh kopi melonjak hatinya dengan riang biar tubuhku jadi bersih dengan jiwa tentram
Per Mariam Ad Jesum
Sudah selesai. Semoga “Engkau yang dikandung tanpa noda Ya Maria” kuduskanlah jiwaku.
Lonceng itu hampir bunyi, sudahkan Alleluya diiringi dalam dring-drung-drang-dring lonceng yang berdesir-jerit Hossana Putera Daud.
Di Ujung Mata Berari
—teruntuk Congkasae, namanya—
Kutulis namanya Congkasae, saat kabut dan kebut mengepul asap di ujung asbak yang habis di cicipi bibir. Semoga saja, aku tak harus membawa serta air mataku.
Waktu itu, tunas-tunas pematang sawah sedang ranum dengan hijau yang subur. Kapan kau kembali? Kelak aku akan mengetok pintu rumahmu. Percayalah itu. “kataku meyakini Congkasae”
Di sini, di batas perjumpaan yang tak pernah lagi kutawakan. Aku rindu kolong-kolong rumah, tempat kita mengaduk rindu sekadar bermain petak umpet. Di atas, pada celah-celah halar rumah panggung kita, aku lihat ibu yang mengaduk kuali, ada asap keluar dengan aroma kopi yang baru saja usai digoreng.
‘Mari kita mengambil alu dan lesung, menumbuknya hancur dan mengayaknya jadi tepung.’ Ajak Congkasae dengan hening lesung yang menawan. Sebentar lagi, akan kukenang itu.
Congkasae, saban hari aku pernah menunggangmu di atas batu rumah kita. Menanti senja di bawah aroma kopi, menjuntai embun di atas kompiang, mengawini dingin di selundup songke.
Ah, andai kata senja tidak kembali di hari-hari nanti. Aku harap aku yang mengantikannya. Sadarkah aku, bahwa air matamu selalu menantikan senja? Senja yang namaku tersirat di dalamnya.
Congkasae, maaf aku rindu pada kopi pahit seduhmu, dikenang kompiang hangat, di ujung bibir yang keluh dikebut-kabut yang pekat. Aku dingin, kapan songke-mu menyetubuhiku kembali?
Senja kala, Congkasae saat mata menatap kampung halaman.
Completorium
Malam dan sudah malam-malam minggu lagi
Rumah sanak saudaraku jadi diam, hening di palu lonceng-lonceng tua. Di sana didengar seberang suara nyanyian jubah
“Ya Allah, bersegerahlah menolong aku….”
Apa yang aku jawab, saat digumuli massa berapa jumpa kits bertemu. Sama sekali tidak.
Malam itu, malam minggu aku hanya ingin berbaring di ketiak kekasihku menghirup nostalgia dengan satu jawaban ‘paling tidak, aku dengar lonceng itu, dan aku ingat (DIA) namun malam itu aku memilih mengingatkan kekasihku tetap terlelap biar esoknya kita jumpa di depan Altar, mimbar, dan pasar. Waktu itu, aku sedang membaca puisi untuk-nya (kekasihku)? Mungkin.
- Panggung Mati - 22 April 2020
- Wilhelmina - 23 Januari 2020
- Per Mariam Ad Jesum - 17 Desember 2019