Politik luar negeri Indonesia mengalami evolusi yang signifikan seiring dengan perubahan rezim yang terjadi di dalam negeri. Dari masa Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno hingga Orde Baru yang dikelola oleh Presiden Soeharto, masing-masing periode memiliki ciri khas yang membedakan pendekatan strategis dan diplomatik negara. Artikel ini akan membahas perbedaan mendasar dalam politik luar negeri Indonesia antara kedua era tersebut, serta implikasinya terhadap posisi dan pengaruh Indonesia di kancah internasional.
Era Orde Lama, yang berlangsung dari akhir 1945 hingga pertengahan 1960-an, ditandai dengan pendekatan yang sangat pragmatis dan ideologis dalam hubungan internasional. Soekarno, sebagai arsitek utama politik luar negeri Indonesia saat itu, memperkenalkan prinsip “nasionalisme, agama, dan komunis” untuk mewakili dan mengintegrasikan kepentingan nasional. Kedekatan dengan blok sosialis dan negara-negara non-aligned menjadi ciri khas hubungan internasional di masa ini. Soekarno sering berusaha untuk menggalang solidaritas dunia ketiga, dan menggagas Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 yang menjadi tonggak penting dalam menggalang dukungan antar negara berkembang.
Menariknya, pendekatan tersebut bukan tanpa tantangan. Inti dari politik luar negeri Soekarno sering kali diwarnai dengan ketegangan internasional, terutama dengan negara-negara Barat. Kebijakan luar negeri yang agresif dan simbolik, termasuk menghadapi kolonialisme dan imperialisme, membawa Indonesia ke dalam beberapa konflik, baik itu dengan Belanda pada kasus Irian Barat maupun dengan Malaysia dalam Konfrontasi. Ini menciptakan citra Indonesia sebagai pembela kedudukan negara-negara berkembang, tetapi juga berisiko menimbulkan isolasi politik di arena global.
Sebaliknya, Orde Baru yang dimulai pada tahun 1966 membawa perubahan signifikan dalam paradigma politik luar negeri Indonesia. Dengan Soeharto di kursi kepemimpinan, politik luar negeri lebih memfokuskan pada stabilitas, keamanan, dan integrasi ekonomi. Indonesia mulai menjalin hubungan lebih erat dengan negara-negara Barat dan bertransformasi menjadi sekutu strategis Amerika Serikat dalam konteks Perang Dingin. Pendekatan ini berimplikasi pada kebijakan luar negeri yang lebih pragmatis, alih-alih berbasis ideologis.
Salah satu perubahan paling mencolok adalah penguatan peran diplomasi ekonomi. Indonesia di bawah Soeharto berusaha untuk menarik investasi asing dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama. Dalam hal ini, politik luar negeri tidak hanya dimaknai sebagai alat untuk mencapai agenda politis, tetapi juga sebagai media untuk memfasilitasi pembangunan domestik. Munculnya forum-forum ekonomi internasional menunjukkan betapa pentingnya diplomasi ekonomi dalam mendukung kebangkitan ekonomi Indonesia yang terus bertumbuh seiring waktu.
Analisis terhadap kedua periode ini menunjukkan adanya paradoks dalam pendekatan yang diambil. Di masa Orde Lama, meskipun Indonesia berupaya untuk menunjukkan kemandirian dan kekuatan politik di pentas internasional, hasil yang dicapai kadang kali berseberangan dengan tujuan awal, yaitu memperkuat posisi Indonesia dalam komunitas global. Sementara di masa Orde Baru, meskipun stabilitas dan pertumbuhan ekonomi menjadi fokus utama, kritikus mencatat bahwa hal ini sering kali mengorbankan nilai demokrasi dan hak asasi manusia, yang berimplikasi pada legitimasi internasional.
Dalam konteks hubungan bilateral, masa Orde Lama lebih menekankan pada solidaritas dan kepentingan ideologis, yang terlihat dalam hubungan hangat dengan Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya. Sementara itu,masa Orde Baru menekankan keseimbangan kekuatan dan pragmatisme dalam menjalin hubungan diplomatik, terutama dengan negara-negara Barat dan ASEAN. Kesultanan ASEAN sebagai bagian dari kerjasama regional menjadi lebih dominan, dan Indonesia berperan sebagai inisiator dalam membentuk forum tersebut.
Namun, perlu dicatat bahwa kedua rezim ini menghadapi tantangan yang serupa: tantangan untuk menyeimbangkan antara kebijakan luar negeri yang agresif dengan stabilitas internal. Dalam konteks global yang selalu berubah, Indonesia harus terus beradaptasi. Perbedaan cara pandang dan pendekatan terhadap kebijakan luar negeri dalam dua rezim tersebut menciptakan warisan yang berbeda dalam sejarah hubungan internasional Indonesia. Warisan ini tidak hanya mempengaruhi citra Indonesia di luar negeri, tetapi juga membentuk narasi identitas bangsa di tingkat domestik.
Secara keseluruhan, perbandingan politik luar negeri antara masa Orde Lama dan Orde Baru menunjukkan bagaimana konteks sejarah dan ideologi mempengaruhi strategi dan kebijakan luar negeri suatu negara. Kedua periode tersebut memberikan pelajaran berharga bagi pembuat kebijakan masa kini, bahwa konsistensi, pragmatisme, dan kesadaran akan dinamika internasional sangat penting untuk menjaga posisi dan pengaruh Indonesia di kancah global.”
Dengan memahami perjalanan ini, kita bisa lebih menghargai dan mengkaji bagaimana politik luar negeri Indonesia ke depannya, serta tantangan-tantangan yang akan dihadapi dalam upaya mencapai cita-cita bangsa dalam konteks global yang semakin kompleks.






