Perempuan dan Kesadaran Politiknya

Perempuan dan Kesadaran Politiknya
©Liputan6

Perempuan selalu jadi tema besar yang tak pernah selesai kita bicarakan. Ia melulu jadi polemik dengan entitas yang membingungkan. Karakter dan kesadaran berhasil mengantarkan perempuan pada level di mana tak semua orang mampu memahaminya dengan mudah, apalagi utuh.

Dalam catatan sejarah dunia, eksistensi kaum perempuan memang tak secerah laki-laki. Ia adalah makhluk termarjinalkan. Sisi gelap ini terlihat dari ungkapan bapak Gereja Yunani, John Chrysostom, yang mengatakan: “Wanita adalah setan yang tak bisa kita hindari dan bencana abadi”. Tentu anggapan itu sesuai dengan kondisi perempuan Yunani di masanya.

Hakikatnya, diskriminasi terhadap kaum perempuan—sampai saat ini—belum juga tamat. Salah satu yang memengaruhi inferioritas perempuan terhadap superioritas laki-laki adalah agama, budaya, dan politik.

Namun kaum feminis bersikap amat positif tentang eksistensi kehidupannya sembari tetap menyangkal paradigma dehumanisme bahwa perempuan hanyalah bertugas di dapur, di kasur, dan di sumur. Asumsi radikal yang semacam ini tentu ada sebelum muncul kesadaran kolektif dari kaum perempuan.

Manifestasi Feminisme

Untungnya asumsi itu runtuh dan tak relevan lagi semenjak munculnya gerakan-gerakan feminisme—sebuah gerakan yang secara sederhananya kembali memanusiakan perempuan, sama juga seperti laki-laki pada umumnya. Dalam gerakan itulah mimpi besar seorang manusia “kedua” itu digantungkan.

Saat ini, perempuan juga telah mendapatkan ruang untuk berekspresi dan berkembang sebagaimana pihak laki-laki. Keterlibatan perempuan di ruang publik berkaitan dengan sosio-kultural berupa konstruksi sosial perempuan dalam relasinya dengan pekerjaan. Sedangkan, aspek budaya berkaitan dengan relasi kerja antara laki-laki dan perempuan yang dibatasi oleh norma, seperti agama dan budaya.

Namun demikian, di antara berbagai elemen-elemen gerakan kritis perempuan yang ada di berbagai belahan dunia, itu merupakan sebuah manifestasi dari kesadaran berpikir. Alhasil pun tak sia-sia di mana pada abad ini hampir seluruh aspek kehidupan perempuan juga menjadi bagian yang dipertimbangkan terkait dengan pemikiran dan kerjanya yang terkenal lebih telaten daripada laki-laki.

Untuk menelusuri keterlibatan perempuan dalam persaingan kehidupan, perlu kita menoleh jejak feminisme yang datang dari Mesir, Nawal El Saadawi. Perlawanan yang Nawal lakukan dalam melawan hegemoni laki-laki menginformasikan potret perempuan sebagai momok yang mencemaskan bagi kaum laki-laki. Sedangkan, letak pertahanan seorang laki-laki digoncangkan derajatnya sebagai sosok yang secara fitrahnya lebih mapan daripada seorang perempuan.

Baca juga:

Kejadian serupa juga terjadi di Nusantara bagian tengah, Kendeng. Seorang perempuan (Patmi) berasal dari Pati yang mati dalam aksinya menolak pembangunan tambang semen di Rembang. Kiprahnya membela tanah air menunjukkan pada dunia bahwa kebebasan, kemanusiaan, dan kemerdekaan sama pentingnya dengan sepiring nasi.

Menembus Batas Kesadaran

Melihat fakta yang ada, kelemahan yang mengendap dalam diri perempuan tak selamanya permanen. Hanya saja, perlu sebuah kesadaran yang seketika kondisi membelenggu untuk sampai di wilayah yang sekira menurutnya pantas. Kesadaran itu yang menurut Nazi adalah “kesadaran” yang terlepas dari baik dan buruk dan tak terikat oleh apa pun, sehingga lompatan besar akan sangat mudah ia peroleh.

Pencarian kesetaraan peran menjadi wilayah yang paling vital untuk menempatkan perempuan pada yang sepantasnya. Karena hal itu merupakan salah satu bentuk dari memuliakan perempuan dan menjadi sebuah keharusan bagi seorang laki-laki.

Karenanya, Mao Zedong mempertegas bahwa “perempuan itu menyangga separuh langit”. Inilah teguran keras pada laki-laki yang memandang perempuan sebagai lebih rendah daripada mereka. Sebab, jika tak ada perempuan, populasi manusia di dunia akan punah.

Selama ini, memang masih ada determinisme diskriminasi-dikotomik antara perempuan dan laki-laki, yaitu terkait pembagian peran. Laki-laki di wilayah publik, perempuan di wilayah domestik, serta menyangkut norma-norma sosial, moral, dan hukum banyak memihak kaum laki-laki daripada perempuan; dan konstruksi sosial masyarakat sering menempatkan perempuan sebagai makhluk tak berdaya yang menurut di bawah kekuasaan laki-laki (budaya patriarki).

Ilmuwan besar Aristoteles mempertegas hal ini. Menurutnya, “keberanian laki-laki terlihat ketika ia memerintah, keberanian perempuan ketika ia mematuhi perintahnya.”

Politik dan Perempuan

Hegemoni kekuasaan terkadang melumat seluruh logika normalitas ranah politik kehidupan manusia, yakni pengayom dan mencapai kesejahteraan. Kuasa politik kaum patriarki telah menjerat perempuan dalam kubangan feodalisme kekuasaan “monarki”. Sehingga, istri-istri para bupati atau Gubernur telah tergoda kegagahan politik praktis.

Atletisme tubuh perpolitikan telah meningkatkan libido dan nafsu politik para politisi, termasuk perempuan. Sehingga terkesan mereka adalah “budak tuan raja” yang para suami setir demi melanggengkan gagahnya kuasa politik.

Baca juga:

Bahkan, mulai tercium indikasi bahwa perempuan itu sengaja disiapkan untuk melanggengkan kemegahan singgasana kekuasaan yang sang suami bangun tanpa memperhatikan aspek kapabilitas dan kualitas diri. Popularitas dan “atletisme tubuh politik suami” merupakan modal prestisius para istri pejabat untuk maju ke pilkada dan menyisihkan rival politiknya.

Dalam hal ini, politik dan perempuan adalah ruang dialog seluruh aspek dan dinamika kehidupan manusia. Mulai dari sosial-budaya, ekonomi, maupun agama, baik di lingkungan domestik (rumah tangga) maupun publik (pemerintah dan negara). Baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama memiliki potensi untuk melakukan transformasi sosial dan perubahan kehidupan yang lebih baik.

Sebuah kesadaran pikiran logis mampu membawa kaum perempuan pada era kebebasan seperti pada abad ini. Itulah titimangsa di mana sebuah masa nyaris tak ada pengecualian yang pasti. Oleh sebab itu, tampak jelas sudah dari realitas yang ada, perempuan juga mampu dan pantas berkompetisi serta berafiliasi dengan lawan jenisnya.

*Abd Warits, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kontributor