
Menulis tidaklah gampang. Apalagi bagi penulis yang bernaung di bawah zodiak Gemini.
Banyak kawan penulis mungkin tak percaya adanya writer’s block. Mereka lebih percaya pada disiplin dan ketatnya ruang studi. Sebagian yang lain barangkali boleh percaya (dan tak lelah berharap) pada “momen-momen” yang bakal tetap rutin menyambangi mereka sebaik ibu peri.
Aku tidak punya disiplin yang baik sejak remaja. Tak pula kelewat tahan tenggelam dalam ruang studi yang sedingin Eropa tatkala cuaca membeku. Dan aku sudah lama sadar tak bisa mengandalkan momen-momen, yang puitik maupun tak puitik. Tetapi aku tahu bahwa aku masih selalu punya harapan. Atau paling tidak, berpikir bahwa aku masih selalu punya harapan.
Aku tak bisa menulis cerpen atau esai untuk media seproduktif pada masa-masa kuliah lagi. Itu jelas bagiku. Setiap penulis saya kira pernah mengalami periode itu, ketika kata-katamu mengalir deras seperti cucuran air dari dispenser begitu kau berada di muka laptop atau CPU. Jika air di galonnya habis, ya tinggal isi ulang dengan banyak pilihan cara.
Raudal Tanjung Banua mencoba menggunakan “tema” untuk memancing proses kreatifnya. Sekaligus menjadikan tema itu semacam fondasi juga benang merah pengikat cerpen-cerpennya. Maka kita tahu, lahirlah seri “cerita-cerita kecil” di Koran Tempo dan seri “kota-kota kecil” di Jawa Pos. Yang terakhir, kemudian dibukukan sebagai Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai; sebuah jembatan fakta dan fiksi yang menawan itu.
Dan sekarang, katanya, ia ingin menghidupkan “tokoh-tokoh kecil” yang pernah ia kenal di kampung halaman sebagai tema baru. Kendati ia juga tampak cukup rindu untuk kembali pada gaya yang lama, pada buku cerpen terbaiknya yang terbit pada 2005: Parang Tak Berulu. Kita bisa menemukan itu—suara narator yang layaknya Tukang Kaba dalam tradisi Minang—pada cerpennya Aroma Doa Bilal Jawad yang memenangkan Cerpen Pilihan Kompas 2018.
Tidak. Aku sesungguhnya tak pernah kekurangan gagasan juga gairah. Sekarang saja, ide-ide cerita, uneg-uneg dan kegelisahan, ataupun samar-samar baris puisi, terus bercokol di kepalaku. Ada bayang-bayang cerita pendek baru yang datang menghampiri. Seperti tamu tak diundang; dengan tawaran teknik dan muatan yang juga tampak baru.
Ada pula kisah-kisah lama tak terselesaikan. Tiba-tiba kembali menyapa dan mengingatkan jika mereka juga ada harganya; jangan kita biarkan saja mengendap sebagai sampah hardisk. Lalu embrio puisi-puisi yang masih berupa separuh racauan itu. Dulu saya catat dengan rada tergesa di Taiwan, Bangka, Belanda. Juga esai-esai yang mestinya ringan.
Baca juga:
Belum lama ini, akhirnya aku memang menulis dua esai setelah mangkir bertahun-tahun.
Kau tahu, hidup di era hiperrealitas dengan smartphone di tangan kerap kali membuatku merasa kelimpungan. Lantaran selalu saja muncul kecemasan untuk merespons beragam peristiwa yang sedang berlangsung. Itu lumayan mengesalkan.
Misalnya, mendadak aku ingin menulis tentang Rizieq, antihero sekaligus superhero. Ia mengingatkanku pada sang Imam Kensington yang rakus dalam The Satanic Verses juga Klan Teratai Putih dalam sejarah Cina itu. Lalu ada perang era baru yang terpicu dari Huawei dan fenomena Google Camera Modifikasi. Dan lain-lain, dan lain-lain lagi. Ini belum lagi dengan kegelisahan untuk mengkaji sekian buku dan karya lepas baca.
Tetapi, sekali lagi, menulis—seperti pula halnya membaca—tidaklah segampang makan atau berak. Kita tak bisa mengharapkannya dengan sekali duduk lalu selesailah pada waktunya. Sehingga alhasil, bagiku, keduanya pun serasa beban-beban yang mesti terpikul.
Ya, seyogianya ada begitu banyak gagasan yang bisa kutuliskan. Dan seharusnya pula aku bisa menyediakan waktu yang jauh lebih lapang untuk menuliskannya. Juga waktu yang lebih luwes untuk membaca di antara godaan-godaan lain yang cukup mengusik sekaligus menggairahkan. Seperti jalan-jalan, menonton film, dan berburu foto. Apalagi untuk urusan foto-memfoto, belakangan ini aku memang cukup antusias pada mobile photography.
Sungguh, aku tak ingin menyalahkan zodiak Gemini. Ia kukira telah memberikan padaku banyak kelebihan dan keberuntungan. Selain kelemahan, kesusahan, dan kesialan.
***
Namun aku sudah menulis ulang Bab Pertama novelku Kampung Halaman di Negeri Asing lebih dari sepuluh kali. Itu betul-betul melelahkan sekaligus menyakitkan hati. Sehingga sejumlah kawan yang tahu tentang hal ini pun telah menjadikannya sebagai bahan guyonan. Alih-alih berharap aku mampu menyelesaikannya dengan baik. Bahkan seseorang menyarankan padaku untuk membukukan saja kumpulan bab pertama itu. Ini lucu sekaligus menyedihkan.
Kawan yang lain mengatakan bahwa aku terlalu perfeksionis. Itu lantaran terhantui “novel-novel besar” yang pernah kubaca dan kuanggap ideal. Katanya, aku harus melakukan exorcism, mengusir hantu-hantu itu agar bisa menulis dengan lebih lancar.
Halaman selanjutnya >>>
- Dua Randy, Dua Kisah Tolo - 6 Desember 2021
- Rencana Tulisan Saya dan Komentar Rasial Anti-China - 1 November 2021
- Menulis di Koran - 11 September 2020