Polaritas Agama dan Politik

Polaritas Agama dan Politik
©Democrazy

Polaritas agama dan politik.

Agama sering dianggap hanya sebagai instrumen spiritual yang hanya mengurusi soal ibadah antara pencipta dan ciptaan, sehingga agama tersempitkan dan dianggap tidak memiliki kontribusi dan hubungan yang jelas terhadap kehidupan manusia khususnya terkait politik.

Jika kita lihat realitasnya, agama tidak hanya mengurusi dan berbicara tentang ibadah saja, melainkan juga tidak bisa lepas dari segala dimensi kehidupan umat manusia.

Agama dan politik tentu bukan hal yang baru di telinga dan kepala kita. Hal ini berkaitan dengan sejarah panjang umat manusia. Dewasa ini, agama dan politik masih menjadi pembahasan yang menarik dalam ruang-ruang publik khususnya pada perhelatan Pilkada dan Pemilu.

Agama yang harusnya hadir dengan penuh kedamain dan keadaban, malah dijadikan stempel ataupun senjata dalam hal memengaruhi, bersosialisasi, dan memobilisasi partisipasi publik hanya untuk kepentingan personal ataupun kelompok tertentu yang mengklaim bahwa seolah-olah dia atau kelompoknya adalah pemilik kebenaran dan kelompok lain dikambing-hitamkan.

Demikian pula, tidak sedikit orang ataupun kelompok dalam perhelatan politik mengumandangkan narasi-narasi keagamaan yang sifatnya sentimen, adu domba, ujaran kebencian, dan menanam kefanatikan (politisasi agama) untuk meraih perhatian dan simpatisan publik. Tentu tujuannya ialah merebut ataupun mempertahankan kekuasaan, lalu melupakan kesadaran moralitas, integritas, dan kejujuran.

Tentu hal ini menjadi variabel yang sangat unik dan menarik untuk para kandidat dalam upaya memengaruhi publik agar apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya dapat tercapai, tanpa mempertimbangkan efek dari variabel yang digunakan. Politik klaim mengklaim kebenaran (sektarian), bisa menimbulkan perpecahan yang berpotensi pada konflik di tengah-tengah keberagaman masyarakat.

Niccolo Machiavelli seorang filsuf modern juga melihat potensi agama sebagai alat dalam mengatur pemerintahan. Nilai politis agama yang paling utama adalah dapat membangun dan membentuk sikap manusia menjadi tulus, taat, setia, patuh, dan bersatu. Bahkan dia menganggap jika suatu agama tidak dapat berperan dalam dunia politik merupakan agama yang kosong dan hampa.

Secara etimologi, agama terdiri dari dua kata “a” tidak dan “gama” kacau. Agama berarti sebuah sistem, nilai atau aturan yang menjauhkan manusia dari tindakan kekacaun dan anarkisme. Agama membawa manusia pada tindakan yang baik, damai, dan menjaga hubungan manusia dan tuhannya, manusia dan manusia lainnya, hingga manusia dan lingkungannya, sesuai pada prinsip yang terkandung di dalam ajarannya.

Baca juga:

Indonesia yang menganut sistem demokrasi telah menjamin hak-hak setiap warga negara, termasuk penyampaian pendapat politik di ruang-ruang publik dengan ketentuan aturan yang ada. Namun, pada prinsipnya pemeluk agama dan pelaku politik dalam praktik-praktik politik di ruang publik harus berdasarkan kesadaran moralitas untuk sebuah kebaikan yang dianggap memiliki nilai kebenaran dan memperjuangkan hak kepentingan umum atau orang banyak.

Para pelaku politik tidak boleh menjadikan agama sebagai sebuah stempel kepentingan yang notabene bukan memperjuangkan kepentingan umum apalagi tujuannya menciptakan konflik. Nilai-nilai ajaran agama harus menjadi pijakan dasar dalam berpolitik agar nilai-nilai kemanusiaan tercapai seutuhnya.

Agama dan politik hadir untuk kemaslahatan, kemanusiaan, dan kedamaian, lalu menegaskan bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan, bukan sebuah perpecahan. Dan tidak menganggap bahwa agama adalah hal yang fleksibel sehingga mudah terklaim sana-sini sesuai kepentingan kelompok ataupun pemeluknya.

Berbicara tentang politik, tampaknya tidak akan pernah sepi bahkan akan selalu ramai untuk diperbincangkan. Sebab, politik itu ibarat benda abstrak sehingga tidak mudah untuk kita prediksi, ukur maupun interpretasikan. Politik seolah tidak pernah lepas dari isu dan fakta sosial bahkan seolah tidak memiliki batas sektoral tertentu.

Sentimen dalam politik tidak dapat terhindari sehingga perlu adanya proses pendewasaan dalam berpolitik. Sensitivitas masyarakat terhadap politik sering kali melupakan sisi positif politik maupun tujuan dari berpolitik itu sendiri.

Salah satu tujuan politik dalam ranah pemerintahan adalah sebuah seni untuk menjalankan kekuasaan untuk mengatur rakyat. Politik juga berarti menjalankan strategi yang jitu dan gemilang untuk kemaslahatan umat. Sehingga akan sangat fatal jika politik selalu jadi kambing hitam di setiap kegaduhan yang ada.

Perihal agama berbeda lagi, agama sudah tidak dapat kita bantah kedudukannya dalam menciptakan ketenteraman kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Sehingga jelas output dari agama ini adalah untuk menciptakan dan melanggengkan kedamaian dan kesejahteraan.

Baca juga:

Ada sebuah stigma yang melekat pada masyarakat awam yang cukup menarik untuk kita telaah bersama. Yaitu “Jangan mencampuradukan antara politik antara dan agama, agama terlalu suci bila terpadukan dengan politk”.

Stigma tersebut mengindikasikan agar sadar atau tidak masyarakat awam sudah masuk dalam doktrin bahwa ada sekat (batasan) antara politik dan agama. Ada indikasi menjauhkan umat beragama jauh dari nilai agama. Agama harus jadi pedomaan dalam mencapai tujuan.

Lalik Kongkar
Latest posts by Lalik Kongkar (see all)