
Tak ada kebijakan publik unggul selain berlandas pada penyerapan aspirasi. Tiap aspirasi harus mampu merepresentasikan kepentingan semua warga tanpa kecuali. Maka, meretas jalan penyerapannya adalah salah satu—jika bukan satu-satunya—jalan menuju upaya perwujudannya.
Tulisan ini berangkat dari diskusi dengan (nyinyiran) rekan sejawat. Di awal sama-sama kami asumsikan, DPR adalah lembaga yang tak lagi layak diberi kepercayaan. Dalih yang terbangun senada kritikan Iwal Fals dalam lirik Surat Buat Wakil Rakyat-nya, atau bertolak pada pernyataan Gus Dur: DPR adalah Taman Kanak-Kanak. Hingga tak ayal jika gaung Bubarkan DPR! masih terus menggema.
Kalau pembaca pernah mencecap permen nano-nano, atau makan buah simalakama, begitulah nikmat dan kenyangnya saya disuguhi hidangan (argumen) di forum kecil itu. Keadaannya kian geger setelah konsistensi mempertahankan DPR mendapat penentangan bertubi-tubi. Rentetan kasus oknum-oknumnya yang memalukan sudah tak mampu saya nafikan barang secuil pun.
Entah sebagai keberuntungan atau kesialan, tetapi kecilnya dominasi saya jugalah yang pada akhirnya memunculkan ide/gagasan sebagaimana akan tertuliskan berikut; tentang penyerapan aspirasi. Semoga ini bisa jadi bahan pertimbangan mendatang daripada melulu bertahan pada sikap skeptis yang berantakan.
Eksistensi Parlemen
Keberadaan parlemen disinyalir telah ada sejak tahun 930 M. Islandia adalah negara pertama yang gunakan lembaga ini dengan sebutan Athingi. Sementara, strukturnya, telah berakar kuat dalam tradisi Eropa sejak abad pertengahan.
Di Indonesia, sejarah parlemen pun sudah dimulai sejak negara-bangsa ini dijarah penjajah. Wujud riilnya baru lahir pasca founding fathers memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia—ditandai dengan diresmikannya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tertanggal 29 Agustus 1945, yang sekaligus diadopsi sebagai Hari Lahir DPR RI.
Penjabaran singkat di atas kiranya sudah mampu menghantarkan pembaca ke alam eksistensi parlemen secara umum. Selanjutnya, akan saya ajak kembali menjelajahi lebih jauh, yakni soal parlemen dari segi definitif juga teoritik.
Dalam ranah etimologi, parlemen berurat-akar pada kebahasaan Perancis. Sumber katanya adalah la parle/parler, yang berarti berbicara/pembicara. Maka jangan heran jika wakil rakyat kita yang bernaung di parlemen (DPR) sana adalah mereka yang banyak bicara. Dalam arti, penyuaraan aspirasi adalah tugas utamanya, yang tentu dengan kapasitas sebagaimana termaktub dalam Pasal 19-22D UUD 1945.
Terkait isu (pemikiran) membubarkan DPR, ini saya kira sangat keliru. Bertahan pada sikap tidak mempercayai eksistensinya pun terlalu terburu-buru. Sebab, selama paruh abad 20, jumlah parlemen kian bertambah drastis. Kajian The IPU (Inter-Parliamentary Union) menunjukkan, ada 190 dari 193 negara yang memiliki lembaga perwakilan berupa parlemen.
Data yang sama juga memperlihatkan, 2/3 (122) negara dunia menganut unikameral, yang sebagian besar adalah negara kesatuan. Sisanya, 62 negara menganut bikameral, berjenis utama sebagai negara federal.
Maka, dapat dipahami, parlemen adalah lembaga terpenting sebuah negara. Ia muncul dari gagasan agar negara dan kemampuannya mendapat legitimasi dalam hal menghadirkan aspirasi khalayak publik. Ya, meski belum ada jaminan apakah lembaga ini benar-benar demokratis atau tidak mengingat kepentingan partai politik cenderung mengitari dan mendominasinya.
Terkait tugas, fungsi, dan wewenang, tentu terang bahwa DPR punya kuasa yang relatif besar. Hanya saja, kuasa dan pengaruhnya tetap tergantung pada bagaimana penyerapan aspirasi (sebagai produk forum publik) dapat terwujud. Penyerapan aspirasi inilah yang kemudian membuat ketimpangan dalam menilai eksistensi DPR selama ini.
Subjek Penyerapan Aspirasi
Apakah penyerapan aspirasi rakyat merupakan tugas sepihak anggota DPR? Atau, hubungan timbal-balik kedua pihak antara DPR dengan rakyatlah tugas itu harus kita tempatkan?
Jajak pendapat World Public Opinion menekankan pentingnya keterwakilan sebagai prinsip sebuah pemerintahan. 85 persen pendapat percaya, kehendak rakyat harus jadi dasar pemerintahan. Sementara, 84 persen menyatakan, pemimpin pemerintahan harus hadir melalui jalur pemilihan umum.
Darinya, kita tidak serta-merta dapat mengklaim keterwakilan rakyat terpadai dengan ikut berpartisipasi menentukan pemimpin saja. Tetapi, rakyat juga harus turut mengawal kehendak-kehendaknya sebagai pijakan pembuatan kebijakan.
Meski pada pertengahan Juli 2017 Gallup World Poll (GWP) mengumumkan Indonesia menduduki peringkat pertama indeks trust and confidence in national government, tetapi ini bukan pertanda kepercayaan yang sama juga berlaku pada wakil-wakil rakyat di parlemen. Justru, sebagaimana rilis survei Polltracking, DPR menempati posisi terbuncit sebagai institusi negara paling tidak rakyat percayai.
Terlepas dari itu, tetap saja harus diakui, DPR belum mampu tergantikan sebagai lembaga yang punya fungsi perwakilan paling memadai. Peran dan wewenangnya, terutama di alam negara bersistem demokrasi seperti Indonesia, masih sangat dibutuhkan.
Karena itu, selain harus terus menguatkan eksistensinya, regenerasi politik pun senantiasa mesti diagendakan sedini mungkin. Di titik inilah peran pemuda sebagai calon generasi perlu digenjot.
Menjadi Staf Ahli
Setiap negara dunia memiliki susunan dan rasio keanggotaan parlemen yang berbeda. Disebutkan, China adalah negara yang memiliki anggota parlemen terbanyak, yakni 3.000 orang, disusul Inggris 1.400 orang. Sementara, Indonesia memiliki anggota parlemen (DPR dan DPD) sebanyak 692 orang. Jumlah ini lebih banyak ketimbang Amerika yang hanya memiliki 435 orang.
Apabila di antara kita bersepakat memahami parlemen sebagai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, maka jumlah anggota parlemen Indonesia sejatinya jauh lebih besar daripada China. Secara keseluruhan, parlemen Indonesia berjumlah 20.389 orang: DPR 560, DPD 132, DPRD Provinsi 2.137, dan DPRD Kabupaten/Kota 17.560 orang.
Komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, menyebutkan DPT Pilpres 2014 dalam negeri berjumlah 188.268.423 orang. Sedangkan untuk DPT dari luar negeri, jumlahnya mencapai 2.038.711 orang. Maka, total DPT Pilpres 2014 sebanyak 190.307.134 orang.
Dengan jumlah anggota parlemen di atas, dapat kita ketahui bahwa masing-masing mewakili sekitar 9.333 orang. Rasio keterwakilan inilah yang turut menjadi problem di hari mendatang.
Dikatakan, perlunya menambah staf ahli bagi tiap anggota (detikNews, 02/05/11). Suatu waktu, ada bisikan untuk menambah gaji yang lebih memadai (PoskotaNEWS, 01/10/15). Ada pula usulan perlu diadakannya 601 miliar untuk gedung baru dengan fasilitas yang pantas (Kompas, 30/10/17).
Sangat wajar memang jika hitung-hitungan saya di atas membuat para anggota parlemen mengeluh. Tapi, terhadap keluhannya, hemat saya, akan lebih tepat jika ditempatkan pada posisi poin pertama, yakni staf ahli.
Staf ahli menjadi penting untuk mendampingi kinerja para anggota DPR. Namun, kriteria ahli merupakan penilaian subjektif. Di sinilah perlunya melibatkan pemuda untuk turut serta dalam mengawal wakilnya dan mewakili masyarakatnya.
Saudara dapat membayangkan, bukan, bagaimana jadinya jika satu orang anggota DPR memberi kesempatan bagi para pemuda? Tentu mereka akan turut serta dalam merancang kebijakan dari tiap fungsi yang anggota DPR jalankan.
Kita ambil permisalan anggota DPRD Sulbar yang berjumlah 42 orang, dengan masing-masing orang meminta atau menggandeng 10 pemuda berprestasi dalam menyusun atau merancang kebijakan. Tentu efektivitas dan efisiensi kinerjanya tidak dapat diragukan lagi.
Baru-baru ini juga disebutkan bahwa kesadaran hukum masyarakat Indonesia akan tetap berada pada level rendah selama kebijakan dalam bentuk peraturan maupun Undang-Undang tidak pernah disosialisasikan. Seharusnya ini dapat dipercayakan kepada para pemuda yang telah dibekali dengan prosedur teknis.
Teknis Penyerapan Aspirasi
Pemuda yang merupakan bagian dari masyarakat dalam penyerapan aspirasi rakyat akan terasa lebih dekat tanpa harus bersusah payah mendatangkan anggota DPR untuk hadir dalam forum wirid-an yang dilaksanakan bapak-bapak atau ibu-ibu setiap satu minggu sekali, misalnya.
Begitu pun dengan pemuda yang tidak mesti merasa canggung untuk mengutarakan rancangan kebijakan bagi masyarakat di hari mendatang. Cara ini saya anggap lebih masuk akal dalam menjamin nalar politik kaum muda guna menjawab tantangan perlunya kehadairan pemuda di parlemen.
Untuk urusan teknis seperti apa perekrutan pemuda yang dimaksud, saya kira akan lebih baik melakukan kajian lebih lanjut. Pun dengan honor yang bakal pemuda terima setelah membantu para wakilnya yang saat ini kesulitan merancang kebijakan, apakah harus menggunakan uang rakyat atau wakil rakyat itu sendiri.
Tidak ada para pemuda berprestasi? Saya pikir ini merupakan tuduhan yang terlalu kelewatan. Saya sendiri sebagai penulis yang berharap menang ini masih optimis dapat dijadikan salah seorang relawan DPR dalam membuat kebijakan.
Kehadiran 10 orang pemuda terbaik daerah akan membuat kekhawatiran masyarakat terhadap kecurangan dan kebusukan anggota DPR terhapuskan. Sebab, ketika praduga tersebut muncul, maka setiap orang warga masyarakat dapat mengonfirmasi langsung kepada pemuda yang kebetulan anak tetangga.
Dengan demikian, parlemen sebagai ruang penyerapan aspirasi dapat terbentuk dengan hubungan timbal balik melalui peran pemuda. Begitu pun kepercayaan publik dan partisipasi politik yang sangat minim akibat para pemuda akan terus mengampanyekan hal itu. Atau nalar politik kaum muda yang lebih menjanjikan dengan memberi kesempatan untuk terjun langsung menentukan, merancang, menyosialisasikan ragam kebijakan yang semestinya sesuai dengan apa yang rakyat wakilkan.
Akhirnya, tidak usah mempertanyakan kesiapan pemuda untuk go to parliament. Sebab kaderisasi yang diberikan anggota DPR akan sedikit banyak melatih mental dan kualitas pemuda dalam memajukan masyarakat bangsa.
#LombaEsaiPolitik
___________________
Artikel Terkait:
- Kaum Muda Melek Politik Wujudkan Kedaulatan Aspirasi Publik
- Bukan Kampanye, tapi Pelaksanaan Amanat UU Partai Politik
- Kilas Balik Perjuangan GTT-PTT - 16 Februari 2019
- DPR Mengecewakan, Jangan Diulang - 16 Februari 2019
- HAM dan Konstitusi Ekonomi Difabel - 23 Desember 2018