Di tengah zaman yang sarat dengan perubahan sosial dan ekonomi, kita dihadapkan pada interaksi rumit antara pengetahuan dan pembangunan dalam konteks neoliberal. Neoliberalisme, sering dipahami sebagai disiplin pemikiran yang memprioritaskan kebebasan individu dan pasar, telah memberikan dampak yang dalam terhadap cara kita memandang pendidikan, pengetahuan, dan akhirnya, pembangunan.
Dalam memahami politik pengetahuan, kita perlu merujuk pada sejarah dan konteks di mana ide-ide ini berkembang. Sejak akhir abad ke-20, neoliberal berargumen bahwa pengetahuan seharusnya berfungsi untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Ini melahirkan gagasan bahwa pendidikan bukan hanya sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, melainkan juga alat yang didesain untuk melayani kepentingan pasar.
Politik pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari siapa yang memonopoli pengetahuan itu sendiri. Dalam konteks neoliberal, pendidikan mulai diperebutkan oleh korporasi dan lembaga keuangan yang berusaha mengubah institusi pendidikan menjadi entitas yang berorientasi profit. Dalam pandangan mereka, pendidikan dipandang sebagai komoditas, dan mahasiswa dilihat sebagai konsumen. Ketika pengetahuan diperlakukan sebagai produk yang dijual di pasar, maka yang terjadi adalah adanya pengurangan nilai kritis dari pendidikan itu sendiri.
Pandangan ini menuntut perhatian. Apakah kita telah kehilangan esensi dari pendidikan yang seharusnya menjadi pintu gerbang untuk berkontemplasi dan berpikir kritis? Atau apakah kita memang rela menjadikan lembaga pendidikan sebagai ajang perlombaan ekonomi yang semakin memperlebar kesenjangan sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut refleksi mendalam bagi setiap pemangku kepentingan.
Selanjutnya, kita harus mempertimbangkan ketidakadilan yang mungkin timbul dari sistem ini. Neoliberalisasi pendidikan seringkali mengabaikan ketimpangan yang ada antara berbagai kelompok masyarakat. Mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang beruntung menjadi semakin terpinggirkan dalam akses pendidikan. Modal sosial, yang berkaitan erat dengan jaringan dan keterhubungan antar individu, berperan penting dalam kesuksesan di dunia pendidikan. Di sinilah kita perlu berpikir ulang tentang model pendidikan yang kita anut.
Pembangunan neoliberal tidak hanya berfokus pada peningkatan ekonomis semata, tetapi juga menciptakan bentuk baru dari ketidakadilan dan eksklusi. Apakah model pembangunan ini benar-benar inklusif? Pertanyaan ini penting untuk diajukan, mengingat banyak program pembangunan sering mengabaikan suara kelompok yang paling dirugikan. Dalam sistem di mana segala sesuatu ditentukan oleh pasar, suara rakyat menjadi semakin redup. Apalah arti sebuah pembangunan jika hasilnya hanya menguntungkan segelintir orang?
Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan sebuah paradigma baru yang berupaya menjembatani antara pengetahuan, pendidikan, dan pembangunan. Konsep ‘knowledge economy’ bisa menjadi alternatif yang menarik. Dalam ‘knowledge economy’, pengetahuan dipandang sebagai aset yang tak ternilai, yang harus dikelola secara kolaboratif dan inklusif. Penekanan pada kolaborasi ini bisa membuka ruang bagi berbagai suara untuk didengar, serta menciptakan pendekatan pembangunan yang lebih berkelanjutan dan adil.
Kita juga harus menyadari bahwa perubahan tidak akan terjadi dengan sendirinya. Perlu adanya gerakan sosial yang menuntut revisi terhadap struktur pendidikan dan pembangunan yang ada, dengan tetap memfokuskan pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat luas. Dengan menciptakan kesadaran kolektif, kita dapat mengarahkan perhatian kepada kebutuhan yang lebih mendasar dari masyarakat, bukan hanya kebutuhan ekonomi.
Di sisi lain, penting untuk menciptakan ruang di mana pengetahuan dapat berbagi dan berkembang tanpa hambatan. Memfasilitasi dialog antara akademisi, praktisi, dan masyarakat bisa menjadi jembatan yang menghubungkan teori dengan praktik nyata. Artinya, pengetahuan tidak lagi monologis, tetapi menjadi dialog yang dinamis dan interaktif.
Untuk itu, kita perlu mendefinisikan ulang peran universitas dan institusi pendidikan lainnya dalam masyarakat. Sebagai pusat inovasi dan perubahan, institusi ini harus bertindak sebagai katalisator yang mendukung penciptaan pengetahuan untuk kepentingan bersama. Ini bukan sekedar tentang mencetak mahasiswa yang siap bersaing di pasar kerja, tetapi juga tentang membangun individu-individu yang peka terhadap isu-isu sosial dan mampu berkontribusi dalam pembangunan masyarakat.
Melalui pendekatan demikian, kita bisa mencapai pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada kekuatan ekonomi, tetapi juga keberlanjutan sosial. Dengan memadukan berbagai disiplin ilmu, kita mampu menciptakan solusi yang lebih komprehensif dan inklusif untuk tantangan yang kita hadapi. Hanya dengan cara ini kita dapat mulai memutus siklus ketidakadilan yang ada, membangun masyarakat yang lebih berintegrasi, dan pada akhirnya, memfasilitasi pertumbuhan yang seimbang.
Akhirnya, kita berada di jalur menuju suatu hubungan yang lebih harmonis antara pengetahuan dan pembangunan. Dengan menantang pemikiran tradisional dan mengusung gagasan-gagasan baru, kita memiliki peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah. Inisiatif ini bukanlah tugas ringan; tetapi, dengan kesadaran dan kerjasama, kita bisa mencapai sebuah transformasi yang esensial. Kini adalah saatnya untuk bergerak maju, menggapai impian yang lebih besar, dan membentuk kebijakan dan praktek yang merangkul semua lapisan masyarakat.






