
Hal lain yang tak kalah pentingnya dari gagasan pemikiran Gus Dur adalah tentang “Kemanusiaan”. Menurut Gus Mus, “Gus Dur adalah salah seorang yang paham betul tentang Islam, sehingga beliau memahami Islam tidak lain hanyalah untuk kepentingan manusia (bukan kepentingan Tuhan).” Karena itu, pemikirannya yang terkenal adalah membumikan agama (Islam).
Dengan demikian, Gus Dur melihat semua manusia adalah saudara (karena manusia). Gus Dur menyayangi semua manusia tanpa pilih kasih. Tak heran jika semua manusia juga mencintai Gus Dur.
Gus Dur, dengan pengetahuan pada tradisi keagamaan yang luas dan penguasaan ilmu sosialnya yang cukup memadai, adalah satu dari sedikit orang yang bisa memahami dinamika agama dan modernisasi tersebut. Jika kepada kalangan teknokrat-birokrat pemerintahan dan luar lingkungan keagamaan umumnya ia memberikan perspektif liberal dan progresif dari kehidupan agama, maka terhadap kalangan agama ia memberikan perspektif religius dari cita-cita kehidupan sekuler (modernisasi).
Melalui artikel “Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus dari Jombang”, yang ditulisnya bersama Zamakhsyari Dhofier, Gus Dur mencoba membantah anggapan bahwa agama merupakan unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain. Alih-alih diharapkan sebagai pendorong perubahan. Dari tatapan historis, menurut Gus Dur, jelas pandangan itu tidak kokoh.
Kasus sukses perubahan di Jepang dan Eropa Barat jelas memperlihatkan peran agama di sana sebagai spiritnya, yang didahului oleh perubahan pandangan keagamaan. Sebaliknya, kegagalan Turki di bawah Kemal Attaturk banyak disebut karena tidak diakuinya Islam (yang dianut mayoritas warga negaranya) sebagai penggerak perubahan pembangunan.
Demikian juga dengan melalui penafsirannya terhadap dua kasus yang terjadi di Jawa Timur, dan eksplorasi kritis terhadap teori-teori sosial mengenai hubungan agama dan perubahan, seperti dari Max Weber, Snouck Hurgronje, Racliffe Brown, dan Malinowski, Gus Dur mengungkapkan betapa dinamisnya agama sebagai penggerak perubahan.
Perubahan masyarakat itu didahului oleh perubahan pandangan keagamaan. Atau pandangan keagamaan bergeser oleh tuntutan perubahan masyarakat. Dengan demikian jelas tak ada pemahaman keagamaan yang statis dan tak berubah sepanjang aspirasi masyarakat yang memeluknya terus berkembang, demikian juga sebaliknya.
Berbeda dengan pemikiran keindonesiaannya, lanjut Gus Mus, “secara DNA, Gus Dur mulai dari atas (kakek buyutnya) adalah orang yang termasuk menganggap Indonesia adalah rumah sendiri (sebelum adanya ideologi, nasionalisme dan lainnya). Karena itu, maka penjajahan harus di lawan dan di hapus dari rumah kita meskipun menggunakan batu kecil. Di sini kita lahir, menghirup udara, bersujud, disini pula kelak kita akan di kebumikan.” Maka, secara otomatis cara mensyukurinya adalah dengan cara merawat dan melestarikannya.
Baca juga:
- Menghidupkan Gus Dur, Yahya: Kita Masih Butuh Kegusduran
- Meluruskan Fitnah ‘Gus Dur Mendukung Papua Lepas dari NKRI’
Gus Dur juga secara sadar terus mengingatkan fungsi korektif agama dan ideologi, dan bahaya dari semata-mata mengabsahkan kebijakan negara untuk kepentingan nasional. Demikian juga, ia mengemukakan kejemuan yang luar biasa pada watak positivistik dari nilai-nilai dan teori-teori sosial, termasuk yang menjadi jiwa dari program modernisasi dan pengelolaan politik negara.
Kendati demikian, bisa dipertanyakan adakah keinginan untuk mempertautkan kehidupan dan keyakinan keagamaan tersebut dengan cita-cita kehidupan nasional, ujung-ujungnya juga bermuara pada sifat legitimatif pada modernisasi dan pembangunan yang dijalankan? Terutama bahwa apa yang disuarakan Gus Dur, jika diingat, bukan berada di ruang hampa tetapi pada ruang di mana wacana modernisasi sudah menjadi hegemoni. Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu memerlukan telaah yang serius terhadap sisi epistemologis dan menyeluruh dari karya-karya Gus Dur.
Masih tentang kemanusiaan. Senada dengan Gus Dur apa yang di lontarkan oleh Mahatma Gandhi “Manusia sebagai mahluk otonom selalu berusaha sekuat tenaga untuk membangun hubungan baik dengan sesama.” Prinsip inilah yang menjadi suatu pendasaran tentang konsepsi masyarakat bagi Gandhi, bahwa masyarakat terbentuk karena kehadiran manusia sebagai mahluk otonom dan berkorelasi. Faktor berkorelasi tersebut memberikan suatu ikhtiar bagi manusia untuk tidak memusnahkan manusia lainnya dan menghindarkan diri dari perilaku kekerasan.
Konsepsi dasar Gandhi tentang manusia inilah menjadi titik tolak mengenai pemahamannya tentang masyarakat. Gandhi menganggap bahwa satu komunitas masyarakat yang sempurna tidak bisa dilepaskan dari suatu keadaan manusianya yang memiliki kesempurnaan pula. Begitu sebaliknya, manusia yang jahat juga berakibat bagi bangunan masyarakat yang menjadi tempat di mana para individu tersebut mengembangkan kehidupannya.
Bagi Gandhi, manusia yang sempurna adalah pribadi yang “satyagrahi”, yaitu orang yang mampu mengatasi kekuatan-kekuatan jahat yang dilakukan dengan sikap “ahimsa” dan pemurnian diri yang mencakup sikap lepas bebas terhadap harta milik dan bebas terhadap kelezatan dan kenikmatan melalui pengekangan diri, puasa, dan brahmacharya. Kesempurnaan manusia yang demikian pada akhirnya akan berhubungan dengan kondisi masyarakat yang dibentuknya.
Dengan demikian, konsekuensi logisnya adalah, kebaikan dan kesempurnaan suatu masyarakat sangat terpengaruh oleh kehidupan manusia di dalamnya. Karena manusia adalah penyusun bagi bangunan sebuah masyarakat. Artinya, baik buruknya suatu masyarakat dipengaruhi oleh keadaan dari para penyusunnya, yaitu perilaku manusianya.
Tidak akan ada gunanya mengidealisasikan suatu komunitas yang sempurna, ketika tidak disertai dengan suatu keteguhan hati untuk menjadikan manusia secara sempurna pula. Meski manusia sempurna secara individu, pada akhirnya ia juga akan menyempurnakan dirinya secara sosial.
Sebenarnya, hemat penulis, konstruksi masyarakat yang diinginkan Gus Dur dan Gandhi adalah masyarakat nir-kekerasan (non violence), hal ini memungkinkan dicapai hanya melalui komitmen warganya untuk menjalankan prinsip “ahimsa” dan “satyagraha”. Ahimsa adalah falsafah pantang kekerasan dan satyagraha adalah aksi perjuangan yang tidak mengenal kekerasan. Hal ini dicoba diterapkan Gandhi pada ashram, yang kemudian warga ashram menjadi komunitas tauladan yang diidamkan.
Halaman selanjutnya >>>
- Antara Religiositas dan Doyan Slot Judi - 6 September 2023
- Mengkaji Tuhan Yang Maha Abadi - 12 Mei 2023
- Telaah Konsep Manusia Sempurna menurut Ibnu Arabi - 13 Maret 2023