
Program Roots diimplementasikan dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, serta dukungan dari Komite Nasional Swiss untuk UNICEF dan mitra lokal (khususnya di Jawa Tengah: Yayasan Setara, LPA Klaten, Dinsos P3AKB, Forum Anak Klaten, dan beberapa mitra lainnya).
Program di Indonesia yang rilis pertama kali dilakukan uji coba di 2 Provinsi yaitu Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Empat SMP di Sulawesi Selatan yaitu 2 di Makassar dan 2 di Gowa. Sedangkan di Jawa Tengah yaitu 8 SMP, 4 di Klaten, dan 4 di Semarang. Salah satunya yaitu SMP N 1 Jogonalan, Klaten.
Roots merupakan program intervensi yang diadaptasi Indonesia dari program Amerika Utara yang berfokus pada perubahan positif di sekolah melalui kegiatan yang dipimpin oleh siswa.
Menurut UNICEF dalam modul evaluasi program Roots, bahwa Intervensi yang inovatif ini dikembangkan dengan menggunakan prinsip metodologi Riset Aksi Partisipatoris (PAR), yang melibatkan para siswa untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan program dari perancangan hingga implementasi serta monitoring dan evaluasi. Pendekatan ini memastikan bahwa intervensi diadaptasikan sesuai konteks kepada pengguna akhir program yang merupakan remaja itu sendiri, meningkatkan kepemilikan dan keberlanjutan proses.
Program ini diterapkan di Indonesia karena Indonesia memiliki sebuah prioritas nasional yaitu pencegahan kekerasan terhadap anak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meluncurkan Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak.
Satu dari 6 strategi utamanya yaitu untuk mengubah norma sosial saat ini yang menerima, menoleransi, dan membiarkan kekerasan, termasuk di sekolah. Hingga kita juga melihat sudah banyak sekolah di Indonesia dengan label Sekolah Ramah Anak.
Program roots ini adalah program anti bullying. Sebenarnya apa sih bullying itu? Bullying merupakan nama lain dari perundungan. Bullying sendiri adalah sebuah kekerasan.
Ada 4 macam bullying, yaitu Verbal Bullying, Physical Bullying, Social Bullying, dan Cyber Bullying. Dari serangkaian jejak pendapat online yang dilakukan pada platform media sosial UNICEF yaitu U-Report bahwa di Indonesia 8 dari 10 anak pernah mengalami bullying. Maka bullying ini menjadi masalah utama yang dihadapi anak maupun remaja.
Baca juga:
- Hasrat dan Jejak Ruang Media Sosial
- Maarif Institute dan P3M Luncurkan Video Pendek Hasil Sayembara Sinopsis
Selain mencegah perundungan, karena roots berfokus pada perubahan yang dipimpin siswa, maka tujuan dari roots ini juga mencetak para siswa yang berperan menjadi pembawa perubahan yaitu para agen perubahan.
Agen perubahan merupakan siswa yang sangat terhubung dan memiliki pengaruh besar di sekolah yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku teman-teman sebayanya. Tujuan dari dibentuknya agen perubahan ini sebagai bentuk pencegahan bullying di sekolah melalui pengaruh teman sebaya.
Siapa saja agen perubahan? Kok bisa sih jadi agen perubahan? Emang para fasilitator tahu sifat dari anak satu dan yang lainnya? No.. fasilitator tidak tahu sifat mereka satu persatu, apalagi kami fasilitator baru saja menginjakkan kaki di sekolah tersebut. Terus gimana cara milihnya?
Jadi agen perubahan itu bukan fasilitator, bukan guru, bukan kepala sekolah yang memilih, namun melalui penggunaan jaringan sosial dari siswa sendiri untuk memilih teman-teman mereka yang dapat ‘didengar’ dan mengurangi pemilihan siswa secara sembarangan. Kok gitu, kenapa?
Karena jika orang dewasa yang memilih siswa, pasti mereka biasanya akan memilih siswa atau anak-anak yang dianggap ‘baik’ atau ‘berprestasi’. Namun, para agen perubahan ini ditentukan melalui pemetaan jaringan sosial yang mana mereka yang memiliki pengaruh di kalangan siswa.
Beberapa yang terpilih bisa jadi adalah mereka yang sering terlibat konflik, tapi yang terpenting adalah perilaku seperti ini bisa menjadi pembelajaran yang dapat dilihat bersama. Dari situlah dapat menentukan siswa yang paling berpengaruh, seluruh anak di sekolah mengajukan 10 siswa di angkatannya yang menghabiskan waktu paling sering dengan mereka, entah itu di dalam sekolah maupun luar sekolah.
Maka dengan data inilah fasilitator kemudian memetakan jaringan sosial sebanyak 30-40 siswa yang akan dipilih untuk berpartisipasi dalam program roots atau yang akan menjadi agen perubahan.
Program roots ini akan diadakan pertemuan sebanyak 15 kali selama satu program dengan para agen perubahan. Agen perubahan yang telah terpilih akan diajak menghadiri sesi ini bersama fasilitator roots, yang diselenggarakan saat jam ekstrakurikuler.
Baca juga:
Fasilitator akan memberikan panduan panduan untuk menyusun materi kampanye, baik itu secara print maupun online, karena sekarang sudah era digital dan anak SMP hampir seluruhnya sudah memakai smartphone, yang nantinya ini akan digunakan siswa sebagai bentuk prakarya. Para agen perubahan juga dilatih untuk menghadapi konflik antarsiswa.
Dalam 15 pertemuan tersebut, setiap pertemuan diberikan tema yang berbeda namun berkesinambungan, seperti pengenalan bullying, kepemimpinan, bagaimana merespons sebuah konflik, hingga nanti di pertemuan akhir akan ada puncak acara roots dengan kegiatan kampanye anti bullying.