Publik Berperan Bukan Baperan

Dwi Septiana Alhinduan

Dalam masyarakat yang semakin maju dan terhubung melalui teknologi, muncul fenomena menarik terkait peran publik dalam diskursus sosial politik. Terminologi “Publik Berperan Bukan Baperan” bukan sekadar permainan kata; ia mencerminkan pandangan kritis terhadap cara individu dan kelompok merespons isu-isu yang ada di sekitar mereka. Dalam konteks ini, penulis ingin menyelidiki lebih dalam mengenai makna sebenar dari ungkapan tersebut dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu pengamatan utama yang dapat kita tarik adalah kecenderungan masyarakat untuk terlibat secara emosional tanpa mempertimbangkan substansi dari isu yang dibicarakan. Emosi dan perasaan sering kali mendominasi diskusi, mengaburkan logika dan rasionalitas. Komunikasi di media sosial, misalnya, sering kali dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan yang sarat emosi, sehingga menghimpun lebih banyak perhatian ketimbang argumentasi yang jelas dan terstruktur.

Namun, sebelum kita jatuh ke dalam perangkap emosional ini, penting untuk memahami mengapa dan bagaimana hal ini terjadi. Beberapa faktor penyebab yang bisa kita identifikasi antara lain adalah:

  • Media Sosial sebagai Arena Publik: Dengan kehadiran media sosial, setiap individu memiliki platform untuk mengekspresikan pendapatnya. Sayangnya, hal ini juga membuat informasi tersebar begitu cepat tanpa proses verifikasi yang layak. Ketika berita atau isu menjadi viral, reaksi emosional sering kali lebih mendominasi daripada kebutuhan untuk menganalisis secara mendalam.
  • Kurangnya Pendidikan Kritis: Pendidikan yang tidak cukup memperkuat kemampuan berpikir kritis di kalangan masyarakat menjadi penyebab tidak mampu membedakan mana informasi yang valid dan tidak. Dalam banyak kasus, publik lebih memilih untuk reaktif ketimbang responsif.
  • Penyebaran Misinformasi: Dalam era informasi, berita palsu dan disinformasi sering kali menyesatkan. Ketika masyarakat terperangkap dalam informasi yang salah, mereka cenderung merespons dengan emosi ketimbang berpikir kritis.

Meskipun kondisi ini tampak merugikan, terdapat harapan untuk menciptakan perubahan. Masyarakat bisa berupaya untuk berperan aktif dengan cara yang lebih konstruktif. Publik tidak hanya diharapkan untuk bereaksi, tetapi juga harus berfungsi sebagai agen perubahan. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah:

  • Membangun Kesadaran: Kesadaran akan pentingnya berpikir kritis harus digaungkan di seluruh lapisan masyarakat. Dengan cara ini, publik dapat belajar untuk menilai isu dari berbagai sudut pandang, sehingga menghasilkan analisis yang lebih komprehensif.
  • Dialog Konstruktif: Mendorong diskusi terbuka dan dialog yang sehat dapat membantu meredakan ketegangan. Ketika orang-orang diberi ruang untuk membagikan pandangan mereka dengan cara yang santun, pendekatan emotif dapat diminimalisir.
  • Pendidikan Berbasis Literasi Media: Mengedukasi masyarakat tentang cara menyaring informasi dan memahami konteks berita yang diterima menjadi sangat penting. Literasi media memberikan alat kepada individu untuk mengkritisi informasi yang beredar di sekitar mereka.

Selanjutnya, dalam praktiknya, masyarakat yang aktif dapat menjelma menjadi kekuatan pendorong dalam proses pengambilan keputusan. Ketika publik dapat berpikir kritis dan berperan aktif dalam diskusi, maka mereka tidak hanya sekadar menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen opini yang berpengaruh. Ini mengarah pada pertumbuhan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.

Salah satu contoh konkret yang dapat diambil adalah ketika masyarakat bergerak untuk menciptakan perubahan sosial melalui aksi kolektif. Partisipasi dalam gerakan sosial, pemilihan umum, atau kampanye advokasi menjadi bukti nyata bahwa publik bisa mengambil peran yang berarti dan bukan sekadar reaksi emosional yang dangkal. Ketika individu bersatu dengan visi dan misi yang jelas, tindakan mereka dapat menghasilkan dampak yang signifikan.

Apresiasi terhadap keberagaman pandangan, toleransi terhadap perbedaan menjadi elemen penting dalam membentuk masyarakat yang lebih paham dan dewasa. Kesediaan untuk mendengar dan berdiskusi, untuk memahami satu sama lain dan mempertemukan berbagai perspektif, adalah tanda kematangan suatu masyarakat. Ini adalah tantangan yang harus dihadapi, tetapi juga merupakan kesempatan untuk berkembang.

Di akhir tulisan ini, penting untuk ditekankan bahwa “Publik Berperan Bukan Baperan” bukanlah ajakan untuk meniadakan emosi. Emosi tetap merupakan bagian integral dari manusia. Namun, kesadaran untuk memisahkan reaksi emosional dari analisis rasional akan memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi lebih bijaksana dalam diskursus sosial politik. Harapan ke depan adalah terbentuknya masyarakat yang lebih teredukasi, kritis, dan aktif berperan dalam pembangunan bangsa.

Dengan demikian, era informasi ini bisa menjadi peluang emas bagi publik untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi sebagai aktor utama dalam perubahan sosial yang berkelanjutan dan membawa kemaslahatan bagi semua.

Related Post

Leave a Comment