Di tengah arus deras perubahan sosial dan politik yang menghantam Indonesia, sikap Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terhadap peraturan daerah (Perda) yang mengatur soal agama menjadi sebuah refleksi mendalam akan identitas kolektif dan nilai-nilai kemanusiaan. Perda agama, yang kadang dianggap sebagai pedang bermata dua, dapat menjadi alat untuk melindungi hak-hak individual sekaligus mengekang kebebasan. PSI, dengan metanarratifnya yang progresif, berupaya untuk menjembatani dua sisi mata uang ini—menghormati kepercayaan tanpa melanggar prinsip universalitas hak asasi manusia.
Perda agama di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai panduan normatif dalam aspek kehidupan beragama, tetapi juga berpotensi menghalangi kerukunan antar umat beragama. Sebuah ironi dalam demokrasi yang mengusung ragam keberagaman. PSI menempuh jalan untuk mengingatkan bahwa dalam menghormati kebebasan beragama, kita tidak boleh mengorbankan toleransi. Kebinekaan adalah inti sari kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sinilah posisi PSI menjadi relevan dan mendesak.
Sikap PSI terhadap Perda agama bisa dianalogikan dengan seorang pelukis yang berusaha menciptakan karya seni yang mengangkat tema kebersamaan. Dengan corak yang beragam dan warna yang harmonis, pelukis ini menolak untuk menggunakan warna yang gelap, yang dapat menciptakan kesan tegang. PSI berusaha menawarkan palet warna yang lebih cerah—sebuah pendekatan yang bersifat inklusif dan memberi ruang bagi dialog, alih-alih ketegangan dan perpecahan.
Pertama dan terpenting, PSI meneguhkan posisi mereka dalam mendorong dialog antar kepercayaan dan agama. Mereka percaya bahwa dialog adalah kunci untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat yang beragam. Dengan mendorong partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat, PSI berharap dapat menciptakan ruang di mana suara-suara minoritas, yang sering kali terpinggirkan, dapat terwakili. Dalam konteks ini, dialog tidak hanya menjadi alat, tetapi juga tujuan yang harus dicapai.
Di lain sisi, PSI memandang bahwa Perda agama harus diinterpretasikan melalui lensa hak asasi manusia yang universal. Hal ini mengisyaratkan bahwa regulasi yang berkaitan dengan agama tidak boleh merugikan pihak lain. Dalam pandangan PSI, setiap individu berhak untuk menganut kepercayaannya tanpa takut diidentifikasi sebagai objek pengawasan atau penilaian. Ini adalah prinsip yang seharusnya menjadi fondasi dari setiap kebijakan yang berkaitan dengan agama. Permasalahan ini tidak hanya bersifat lokal, melainkan juga mencerminkan dinamika global dalam memahami kebebasan beragama.
Melanjutkan pemikiran ini, PSI menyoroti pentingnya dedikasi dalam menyusun kebijakan yang tidak hanya mematuhi norma-norma hukum, tetapi juga menekankan aspek etis. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang mampu merangkul inklusivitas dan mendorong kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan. PSI mendesak pemerintah daerah untuk melibatkan masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah dalam perumusan Perda yang menyentuh aspek-aspek spiritual. Inisiatif ini dapat menciptakan rasa kepemilikan yang lebih besar di kalangan masyarakat.
Dalam konteks implementasi, PSI mengusulkan adanya mekanisme pengawasan yang ketat terhadap penerapan Perda agama. Penerapan yang tidak tepat atau diskriminatif dapat memicu kontroversi yang berujung pada ketegangan sosial. Hal ini sejalan dengan prinsip transparansi yang seharusnya menjadi landasan setiap kebijakan publik. PSI berpendapat bahwa masyarakat perlu diberikan ruang untuk memberikan umpan balik terhadap implementasi regulasi, sehingga setiap kebijakan yang diterapkan mencerminkan aspirasi masyarakat luas.
Namun, tantangan terbesar yang dihadapi PSI adalah melawan arus konservatisme yang sering kali mengelilingi isu-isu agama. Dalam konteks ini, PSI harus bersikap tegas dan mampu mengangkat isu-isu sensitif dengan kehati-hatian, agar tidak terjadi salah pengertian yang berujung pada konflik. Di sinilah kepiawaian retorika dan kemampuan persuasi sangat diperlukan. PSI harus mampu berkomunikasi dengan luwes antara prinsip-prinsip luhur kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual, agar pesan yang disampaikan dapat diterima tanpa menimbulkan resistensi.
Menyoroti kembali, sikap PSI terhadap Perda agama adalah sebuah panggilan untuk lebih menghargai perbedaan dan merangkul keberagaman. Seperti seorang maestro dalam orkestra, PSI berusaha menghadirkan simfoni yang harmonis, di mana setiap lagu, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, tetap dapat berkontribusi pada keindahan keseluruhan. Dengan pendekatan yang elegan dan inklusif, PSI memiliki potensi untuk menjadi lumbung harapan bagi setiap individu yang mendambakan kebebasan beragama yang nyata.
Kesimpulannya, sikap PSI terhadap Perda agama bukan hanya sekadar pernyataan politik. Ini adalah refleksi dari upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai tempat di mana kebinekaan diakui dan dihormati. Dalam setiap kebijakan, harus ada semangat untuk mendengarkan, memahami, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah tantangan yang harus dihadapi dengan keberanian dan tekad, demi masa depan yang lebih cerah bagi seluruh rakyat Indonesia.






