Radikalisme Beragama dan Politik Culas

Radikalisme Beragama dan Politik Culas
©Shutterstock

Menjadi lain bila radikalisme beragama masuk ke wilayah politik.

Nalar Warga – Ada teman kristiani yang punya staf muslim. Saya perhatikan, stafnya pakai celana cingkrang dan berjanggut.

Staf itu bagian delivery product. Dia senang dengan stafnya. Karena sangat disiplin mengelola bagian delivery. Sehingga delivery product selalu on time.

Yang lebih penting, stafnya sangat jujur. Jam istirahat, tidak makan di luar, tetapi makan di kantor dengan bekal dari rumah. Dia hanya keluar untuk salat. Sebelum jam istirahat berakhir, dia sudah di mejanya. Teman tidak terganggu dengan sikapnya beragama. Dan stafnya selalu dapat bonus.

Tentu itu semua hal yang positif dari sikap radikalisme beragama. Sikap radikal dari beragama secara KTP menjadi orang religius. Siapa pun, apa pun agamanya, harus konsisten dengan keyakinannya beragama. Tidak perlu malu atau inferior. Karena agama itu soal pilihan yang sangat asasi.

Semua orang beradab harus menghormati sikap dan simbol dalam agama. Hanya menjadi lain bila radikalisme beragama masuk ke wilayah politik dan menjadi mindset dalam kehidupan sehari-hari. Ini berbahaya. Karena akan sulit beradaptasi dengan mereka yang berbeda.

Hidup, kan, colorful? Penuh warna.

Artinya, selagi agama itu ditempatkan dalam ranah privat, makin radikal ya makin bagus. Bahkan makin banyak rakyat Indonesia radikal dalam beragama, makin bagus untuk Indonesia. Itu membuat proses revolusi mental makin efektif. Karena output agama, kan, akhlak? Itu lebih hebat dari konsep passion dan spiritual emotion.

Baca juga:

Sikap radikal beragama dalam ranah privat merupakan SDM yang hebat. Agama mengajarkan cinta dan kedamaian. Mudah bermitra dengan siapa pun dan saling menjaga. Tidak perlu mandor, karena sadar bekerja itu bagian dari ibadah kepada tuhan.

Tidak perlu KPK, karena mereka sadar, di mana pun, tuhan menjadi saksi atas perbuatannya. Hari pembalasan itu ada.

Jadi, kalau Mahfud MD punya program deradikalisasi yang didukung oleh Menag, Mendikbud, Mendagri, MenPAN, bukan berarti melarang orang radikal melaksanakan keimanannya. Tapi melarang menggunakan radikalisme beragama itu dalam ranah politik.

Mengapa? Politik itu tidak ada dalam dimensi ajaran agama mana pun. Kalau ada agama mengajarkan politik, jelas itu bukan agama. Itu ideologi sekuler yang membajak agama. Politik culas.

*Salma Brecht

Warganet
Latest posts by Warganet (see all)