Rektorat Uin Jogja Semena Mena Gerakan Mahasiswa Malah Melempem

Di tengah gerakan mahasiswa yang penuh semangat, ada suatu ketegangan yang cukup mencolok antara pihak rektorat Universitas Islam Negeri (UIN) Jogjakarta dengan Senat Mahasiswa. Peristiwa dibubarkannya PBAK 2022 oleh pihak rektorat memicu berbagai reaksi dari mahasiswa, terutama terkait klaim otoriterisme yang dilontarkan oleh Senat Mahasiswa UIN Jogja. Apa yang sebenarnya terjadi di balik keputusan kontroversial ini? Mari kita telusuri lebih dalam konflik ini dan dampaknya terhadap dinamika pergerakan mahasiswa di kampus.

PBAK, atau Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan, merupakan momen penting bagi mahasiswa baru. Kegiatan ini biasanya menjadi ajang pengenalan bagi para mahasiswa untuk memahami lingkungan akademik dan sosial di kampus. Namun, saat kegiatan ini dibubarkan, tak pelak menimbulkan pertanyaan besar mengenai kebebasan berorganisasi dan ekspresi di lingkungan kampus. Dalam konteks pendidikan tinggi, sebuah universitas seharusnya menjadi tempat di mana beragam pendapat dan kegiatan dapat berkembang dengan baik, bukan sebaliknya.

Pernyataan Senat Mahasiswa mengenai kebijakan rektorat yang dinilai sebagai tindakan yang otoriter point out individual yang merugikan mahasiswa. Mereka berargumen bahwa keputusan tersebut bukan hanya menyangkut pembubaran sebuah acara, melainkan juga mencerminkan sikap represif terhadap gerakan mahasiswa yang seharusnya aktif berpartisipasi dalam mengawasi kebijakan kampus. Tindakan tersebut seakan menutup ruang bagi kritik dan dialog, dua hal yang mutlak diperlukan dalam sebuah institusi pendidikan.

Konflik ini tidak hanya berakar dari perbedaan persepsi antara mahasiswa dan rektorat, tetapi juga mencakup isu kebutuhan akan reformasi di dalam struktur manajemen universitas. Terlepas dari tujuan awal PBAK untuk mendukung adaptasi mahasiswa baru, banyak yang berpendapat seharusnya rektorat memberikan ruang bagi mahasiswa untuk belajar berorganisasi, bukan justru sebaliknya, mengintimidasi mereka.

Salah satu dampak signifikan dari peristiwa ini adalah munculnya gairah protes di kalangan mahasiswa. Namun, ironisnya, di tengah semangat tersebut, terasa ada kegamangan. Meskipun banyak mahasiswa yang berkeinginan untuk bersuara, langkah konkret dalam menghadapi kebijakan represif ini tampak melempem. Di sinilah tantangan terletak; bagaimana mahasiswa dapat mengorganisir diri dan menyusun strategi yang efektif tanpa harus menghadapi risiko lebih besar dari pihak rektorat?

Di sisi lain, penting untuk mempertimbangkan bahwa suasana pendidikan tinggi yang ideal adalah ketika ada dialog yang konstruktif antara mahasiswa dan pihak universitas. Dialog ini tidak hanya menciptakan keterbukaan, tetapi juga membangun kepercayaan antara kedua belah pihak. Jika rektorat bersedia membuka ruang untuk mendengarkan aspirasi mahasiswa, mungkin kita akan melihat kemajuan menuju perubahan yang lebih baik.

Namun, kenyataannya, desakan untuk penegakan hak-hak mahasiswa tidak selamanya berjalan mulus. Penindasan terhadap suara-suara menggema di lingkungan kampus bukanlah hal baru. Sejarah mencatat banyak contoh di mana gerakan mahasiswa ditekan, bahkan di institusi pendidikan yang dianut oleh prinsip-prinsip demokrasi. Kejadian di UIN Jogja seolah menjadi pengingat bahwa mentalitas otoriter tidak meninggalkan ruang untuk inovasi dan kreativitas, dua elemen vital bagi kemajuan suatu lembaga pendidikan.

Satu hal yang perlu diperhatikan ialah pentingnya literasi politik di kalangan mahasiswa. Kesadaran akan hak-hak dan kewajiban mereka sebagai elemen penting dari masyarakat sipil menjadi semakin krusial. Dengan memahami konteks politik dalam pendidikan dan memasukkan nilai-nilai demokrasi ke dalam kurikulum, mereka akan lebih siap dalam menghadapi situasi serupa di masa yang akan datang.

Melihat ke depan, ada harapan untuk perbaikan dalam cara rektorat berinteraksi dengan mahasiswa. Tindakan mendiskreditkan gerakan mahasiswa dengan cara membubarkan kegiatan mereka tidak akan membawa dampak positif bagi citra kampus. Sebaliknya, menciptakan suasana yang mendorong kolaborasi dan komunikasi terbuka akan membantu membangun komunitas kampus yang lebih inklusif dan progresif.

Akhirnya, perjuangan mahasiswa UIN Jogja dapat menjadi cerminan banyak universitas di Indonesia. Satu hal yang jelas: kebangkitan gerakan mahasiswa tidak dapat diabaikan. Meski tampak melempem saat ini, semangat yang membara untuk kebebasan berpendapat dan berorganisasi akan selalu menemukan jalannya. Sebuah universitas yang baik adalah yang mampu mendukung dan memfasilitasi pengembangan pemikiran kritis, bukan yang menghakimi dan membungkam suaranya.

Dengan ini, kita semua berharap bahwa UIN Jogja dapat menjadi tempat di mana mahasiswa bukan hanya belajar secara akademik, tetapi juga belajar untuk mengemukakan pendapat, berorganisasi, dan berjuang untuk hak-hak mereka dalam suasana yang demokratik dan penuh respek. Hanya dengan cara demikian, universitas dapat memenuhi perannya sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

Related Post

Leave a Comment