Runtuhnya Mazhab Uin Jogja

Dwi Septiana Alhinduan

Runtuhnya Mazhab Uin Jogja merupakan fenomena yang menarik untuk dianalisis dalam konteks dinamika hukum Islam di Indonesia. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, bagaimana kita dapat memahami proses ini? Apakah perubahan ini sekadar suatu fase ataukah menandakan pergeseran mendasar dalam pemikiran dan praktik hukum Islam di kalangan akademisi? Sebuah pertanyaan yang mungkin muncul adalah, bagaimana seharusnya kita menyikapi perubahan ini dalam kerangka berpikir yang lebih luas?

Sejak berdirinya Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, mazhab pemikiran yang berkembang di sana telah menjadi rujukan bagi banyak kalangan. Para pemikir seperti Hazairin telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan hukum Islam di Indonesia. Namun, dengan berjalannya waktu, tantangan baru muncul—baik dari dalam maupun luar institusi. Peneliti dan akademisi kini dihadapkan pada sejumlah dilema, yang mendorong perlunya evaluasi kritis terhadap posisi mereka.

Dalam konteks ini, penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap runtuhnya mazhab tersebut. Salah satu alasannya adalah budaya akademik yang terkikis. Hal ini terlihat jelas dari berkurangnya minat mahasiswa untuk mendalami fikih klasik dan dasar-dasar hukum Islam tradisional. Di saat yang sama, munculnya trendologi baru yang lebih pragmatis sering kali dinilai lebih relevan dengan dinamika sosial-budaya saat ini.

Selain itu, kita harus juga mempertimbangkan persepsi masyarakat terhadap hukum Islam yang terus berkembang. Ketidakpuasan terhadap keputusan keagamaan yang dianggap tidak cocok dengan realitas kehidupan sehari-hari menyebabkan hilangnya kepercayaan pada otoritas keilmuan yang ada. Dapat dikatakan bahwa masyarakat kini lebih condong kepada pendekatan hukum yang fleksibel dan responsif. Ketidakselarasan ini dapat mengguncang eksistensi mazhab yang selama ini berdiri kokoh.

Selanjutnya, marilah kita telusuri keterkaitan antara perubahan politik dan runtuhnya mazhab ini. Dalam lingkungan yang semakin terbuka terhadap globalisasi dan modernisasi, masyarakat mendambakan sistem yang lebih adil dan transparan. Paradigma ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi pemicu disintegrasi dari berbagai mahzab pemikiran yang ada.

Bagaimana kita dapat mengharapkan tradisi pemikiran yang konsisten jika konfrontasi antara idealisme dan realitas terus terjadi? Bahkan, jika kita menelusuri lebih jauh, dapat diidentifikasi bahwa aspek politik yang mendominasi juga mengalihkan perhatian para pemikir dari misi mereka untuk menegakkan hukum yang adil dan berlandaskan pada prinsip keadilan sosial.

Konflik ideologis dalam bodinya juga berperan penting. Iklim akademik yang semestinya menjadi ruang kreatif untuk bertukar gagasan kini justru diwarnai oleh fanatisme dan eksklusi pemikiran. Apa sudah saatnya kita menghidupkan kembali dialog interdisipliner yang inklusif di UIN Jogja? Mungkinkah dengan cara ini kita bisa menemukan solusi yang inovatif untuk mempertahankan keberlangsungan mazhab jarang yang kini terancam?

Terlebih lagi, regresi di kalangan generasi muda juga patut menjadi sorotan. Di zaman digital saat ini, ketidakpuasan akan metode pembelajaran konvensional yang dianggap membosankan menyebabkan munculnya apresiasi yang rendah terhadap pemikiran-pemikiran yang ada. Masyarakat cenderung lebih tertarik kepada fenomena yang dapat diakses dan relevan dengan kehidupan sehari-hari, seperti hukum positif. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengajar untuk merumuskan pendekatan baru yang lebih menarik dan sesuai dengan kebutuhan zaman.

Pada titik ini, kita harus memahami bahwa pundak para akademisi harus lebih kuat untuk memikul tanggung jawab dalam melanjutkan diskusi tentang hukum yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Akankah mereka mampu menghadapi tantangan ini? Ketika mengamati perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia, jelas bahwa perubahan selalu membawa risiko sekaligus peluang. Dalam konteks runtuhnya mazhab, kita perlu memikirkan kembali bagaimana cara untuk membangkitkan kembali minat akan studi hukum yang komprehensif dan mendalam.

Dalam analisis akhir, runtuhnya Mazhab Uin Jogja seharusnya tidak dilihat sebagai akhir dari sebuah era. Alih-alih menganggap ini sebagai suatu nekad, mungkin kita perlu menginterpretasikannya sebagai panggilan untuk beradaptasi terhadap kondisi kontemporer. Pertanyaan yang keluar dari pengalaman ini adalah bagaimana kita dapat menjembatani jurang antara tradisi dan perubahan? Akankah kita mampu menemukan titik temu untuk menciptakan sistem hukum yang lebih relevan, responsif, dan adil?

Kepedulian serta keterlibatan masyarakat dalam diskusi hukum Islam menjadi hal yang urgent di sini. Dapatkah kita membayangkan suatu masa di mana pemikiran hukum Islam di Indonesia kembali mencerminkan dinamika zaman sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasarnya? Jawaban atas tantangan ini terletak dalam kemampuan kita untuk merangkul perubahan tanpa kehilangan akar-nya.

Related Post

Leave a Comment