
Saya tidak akan menuduh Prabowo gila kekuasaan. Keberadaannya di dalam lingkaran kekuasaan, sebagai menteri pertahanan, coba saya yakini sebagai kesempatan untuknya membuktikan ide-ide seputar pertahanan.
Memang, beberapa bulan lalu, ia sempat jadi sasaran guyonan. Tepatnya saat ia menyebut dirinya lebih TNI daripada TNI. Namun sekarang, ia berkesempatan membuktikan benar-benar paham masalah dan solusi untuk ranah pertahanan atau tidak.
Sebagai pribadi, saya termasuk yang lebih berharap figur seperti Moeldoko Bin Moestaman yang berada di posisi ini. Sebab loyalitas dan integritasnya sudah teruji.
Namun, negara bukan soal kemauan pribadi, tapi bagaimana melihat realitas yang jauh lebih luas. Bahwa negara mesti menjadi rumah bagi semua orang, dan memberi peran bagi siapa saja yang dianggap pantas, melampaui sekat-sekat rivalitas.
Soal kecewa? Ya, pendukung Prabowo banyak yang kecewa. Bahkan, ada yang mati-matian membelanya, sekarang justru mati-matian menghujatnya.
Sama, pendukung Jokowi juga banyak yang kecewa. Bahkan yang sempat mati-matian membelanya, pun tak sedikit yang menghujatnya.
Itu efek lumrah dari kekecewaan.
Lagi, saya sendiri mau bilang, kekecewaan itu ranah perasaan. Sementara negara tidak cukup sekadar mengikuti perasaan, tapi di sana ada kalkulasi, hitung-hitungan, hingga strategi menjalankan pemerintahan. Semuanya membutuhkan kekuatan nalar yang tidak boleh dikaburkan oleh urusan perasaan.
Eh, kalian ada perasaan jengkel dengan tulisan kecil ini? Biasakan untuk biasa-biasa saja. Sebab, calon jodoh dinikahi orang saja tidak bikin kita larut dalam rasa kecewa, bukan?
Baca juga:
- Kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma’ruf
- Untuk Kepentingan Besar, Prabowo: Tidak Ada Ruang bagi Perasaan Pribadi
- Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi dan Kemenag RI - 30 November 2019
- Jalan Paulo Coelho Menjadi Penulis - 27 November 2019
- Sepak Bola Indonesia Lebih Hidup di Tangan Anak Muda - 25 Oktober 2019