Sajak kepada Faris Al-Farisi

Sajak kepada Faris Al-Farisi
©Lazuva

Tiap malam
Kita menjadi pemulung kata
Memungutnya di sudut kota
Lalu, sama belajar menenun diksi seperti pujangga,

Kita sering menolak lapar
Berpuasa puisi
Berbuka imajinasi.

Di Jogja ini kita merangkum saksi
Berbekal tangis yang kau bungkus dalam lipatan waktu
Cepat menuai harap yang kita rajud dalam sujud.

Maut dalam Selimut

Dalam satu ruang
Ada raung maut
Dalam selimut

Bergetar ke gendang telinga
Munusuk ke rongga dada
Pedih,
Perih,
Kurasakan pelan-pelan.

Hingga aku lupa
Bahwa hidup dalam tubuh duka
Aku adalah debu
Yang diterkam angin ke mana-mana.

Mei

Pada siapa kukabarkan rindu
yang akan menghembus nafas terakhirnya
di ranjang ingatan,
sejak hitungan kalender melambat
tepat pada bulan kematian,
sejak itu juga rindu memutuskan dimana harusnya ia tinggal.

Dalam keadaan genting
orang-orang hanya mencipta hening
aku jadi khawatir bahwa rindu dalam hidupnya
menjadi pembunuh alam pikir.

Tak ada lantunan ayat yang di dengungkan orang sebagai sabda paling puja
kecuali kabar angin yang membawa hawa dingin di puncak sesak ini.

Bertamasya ke Langit Kota

Tak ada payung tempat berlindung
Selain pada rimbun alismu
Berdiam anak-anak senja saling mengumpat
Meniadakan kepiluan yang ia selip dalam kedipnya.

Bertamasa ke langit kota
Kita sama-sama mengumpulkan benih kata
Menyusun sajak seperti penyair
Menulis bait demi bait melawan sakit.

Setelah itu
Kita dapat merasakan sepi kepanjangan
Tak ada lagi dengung waktu
Yang menerjemah bising-bising rindu.

Hujan Membawa Kita dalam Pelukan

Di bukit Turi
Hujan membawa kita dalam pelukan
Saling merasakan nafasmu yang basah
Dan nafasku di ujung gelisah

Waktu itu,
Kita saling menerka makna grimis
Menafsir desir angin adalah puncak kedamaian
Dalam dekap tubuh mungilmu
Kutemukan ketenangan,

Sebab itu,
engkau adalah tenang air dilaut dadaku
jernih dan tak sekeruh perih lukamu
yang aku basuh sampai lusuh.

Jogja, 2022

Syafiq Rahman
Latest posts by Syafiq Rahman (see all)