
Sampah intelektual makin banyak berserakan di masyarakat.
Gambaran saya ketika mendengar kata “intelektual” adalah orang yang mempunyai kapasitas pengetahuan di atas kemampuan orang awam. Berintelektual berarti mampu menjawab berbagai persoalan dalam dinamika kehidupan.
Orang yang berintelektual biasanya hidup dalam kesenangan, karena mampu menjalani hidupnya sesuai dengan kebutuhan. Orang berintelektual tak pernah haus akan kekuasaan, melainkan pengetahuan yang menjadi orientasi dalam kehidupan.
Lalu apakah seorang intelektual bisa menjadi sampah masyarakat? Hal ini bisa saja terjadi. Mungkin sudah banyak dari seorang intelektual yang justru menjadi sampah masyarakat.
Ada beberapa faktor yang menjadi sebab seorang intelektual yang cerdas, cakap, justru dianggap tidak berguna ilmunya bagi masyarakat.
Pertama, jarang berinteraksi dengan masyarakat. Hal ini membuat masyarakat berasumsi jelek terhadapnya. Karena masyarakat menilai baik dan buruk masyarakatnya melalui bagaimana cara orang tersebut berinteraksi dengan lainnya.
Secerdas atau sepandai apa pun, setinggi apa pun jabatannya, apabila tidak pernah berbaur dengan masyarakat, tidak pernah melakukan komunikasi dengan masyarakat, maka tetap saja orang tersebut dicap jelek.
Kedua, tidak mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat. Seorang intelektual yang setiap hari selalu mengonsumsi wacana pengetahuan, pastinya selalu bermunculan inovasi-inovasi baru.
Namun apabila wacana yang dikonsumsi hanya untuk memperkaya perspektif diri sendiri, tanpa mau mengimplementasikan dalam kehidupan, maka tidak akan mampu membawa pengaruh terhadap masyarakat.
Baca juga:
Hal tersebut membuat masyarakat berasumsi jelek terhadap seorang intelektual. Buat apa mereka bersusah payah mendalami pengetahuan, memperkaya pengalaman, kalau ujung-ujungnya tidak mampu membawa perubahan pada masyarakatnya? Hal ini mengingat bahwa yang dibutuhkan masyarakat adalah orang yang mampu membawa perubahan menuju masyarakatnya yang lebih baik.
Apa pun latar belakangnya, berpendidikan ataupun tidak, yang diinginkan adalah seorang sosok yang bisa menjadi panutan. Ini yang harusnya menjadi PR bagi para mahasiswa.
Bahwa akhir-akhir ini, sampah intelektual makin banyak berserakan di masyarakat. Mereka yang baru lulus kuliah tidak mampu memosisikan dirinya di hadapan masyarakat. Hidupnya kacau. Apa yang sudah diajarkan di bangku kuliah sama sekali tidak mampu diterapkan di masyarakat.
Hidupnya justru tidak terarah, dan tidak tahu harus ke mana. Mendaftar kerja yang sesuai dengan bidang kuliahnya tidak diterima. Mendapat tawaran kerja yang tidak sesuai dengan bidangnya tidak mau menerima. Akhirnya memilih diam di rumah, tanpa melakukan aktivitas apa pun.
Itu yang membuat masyarakat menjadi resah dengan keberadaannya. Yang tadinya diidam-idamkan oleh masyarakat untuk menjadi panutan bagi masyarakat, namun masyarakat dibuat kecewa oleh tingkah lakunya.
Harusnya, sebagai seorang intelektual, mampu memikirkan sosusi di berbagai persoalan yang dihadapinya. Bukannya menyerah terhadap kegagalan yang dihadapinya.
Berbagai cara harus dilakukan, sebagai bentuk upaya mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya. Di sisi lain, masyarakat tidak memandang rendah terhadap orang yang senantiasa berusaha dalam menggapai cita-citanya.
Baca juga:
- Filsafat dan Ateisme - 10 Mei 2020
- Jadi Kiai Tak Perlu Ngaji - 26 April 2020
- Jejak Pendidikan Karl Marx - 19 April 2020