Satu Alasan Mengapa Manusia Harus Berfilsafat

Satu Alasan Mengapa Manusia Harus Berfilsafat
©Wordpress

Banyak orang yang memandang berfilsafat itu sebatas “omong-kosong”. Mereka pikir kalau filsafat tak ada fungsi serta peran yang berarti bagi hidup.

Itu sebab banyaknya pendapat dengan paradigma (cara pandang) berpikir yang keliru. Mereka katakan bahwa filsafat adalah hal yang serbarahasia, mistis, dan aneh. Bahkan, katanya, filsafat bisa-bisa membuat seseorang yang mempelajarinya menjadi murtad.

Eksistensi filsafat dewasa ini, sejatinya, diyakini sebagai “induk” berbagai ilmu pengetahuan yang sekarang tumbuh maju dan berkembang pesat. Namun sayang, kini filsafat seolah berada di ujung jalan. Ia kian renta dan mandul oleh sebab kedewasaan serta kemandirian ilmu-ilmu pengetahuan yang lahir darinya kini merajai hampir segala lini penghidupan manusia.

Tak heran filsafat seakan menjadi sesuatu yang sudah “basi”. Nyaris tak layak pakai lagi. Perbedaan cara pandang semacam inilah yang membuat banyak orang tak mau lagi “bercinta” dengan filsafat.

Meski demikian, apa yang menjadi cara pandang tersebut dalam menilik filsafat bukanlah sesuatu yang “haram”. Itu malah justru bisa membangun pemahaman-pemahaman manusia yang lebih matang ke depan.

Sebagai manusia, sudah hal yang tak bisa kita mungkiri lagi jika berpikir kritis jadi tuntutan. Ini bertujuan guna memformulasikan pemahaman-pemahaman yang telah ada dalam bingkai berpikir yang berbeda-beda.

Pertanyaan yang kemudian bergejolak adalah: Bagaimana filsafat itu muncul? Faktor-faktor apa yang jadi pemicu, membuat kegiatan untuk berfilsafat jadi tuntutan seorang manusia?

Ada beberapa alasan yang sangat kuat untuk kedua pertanyaan di atas. Ini kemudian yang mendasari mengapa filsafat itu ada dan mengapa berfilsafat jadi tuntutan manusia dalam kehidupannya.

Berpikir secara Filsafat

Pada mulanya manusia takjub. Ia takjub melihat benda-benda asing di alam semestanya yang luas tak terhingga. Darinya, muncul pertanyaan-pertanyaan, menghantui pikiran-pikiran yang mencoba menjawab ketakjuban itu.

Mencoba makin menjawab, makin muncul pula rasa ketidakpuasan akan jawaban-jawaban yang lahir. Alhasil, manusia pun tampak terkurung dalam ruang-ruang pertanyaannya sendiri; tiada henti.

Itulah hasrat setiap manusia yang tak akan pernah hilang. Sebagaimana pernah Jean Paul Sartre katakan, manusia memang punya hasrat untuk bertanya sebenar-benarnya bertanya.

Jadi jangan heran ketika ada manusia yang melulu bersikap ragu, skeptis. Apalagi terhadap sesuatu yang baginya belum mampu ia rasionalisasikan. Ini kemudian jadi sebab mengapa berfilsafat senantiasa jadi tuntutan manusia, berpikir secara filsafat.

Karena dengan berfilsafat, manusia akan mampu menjadi seorang yang lebih manusiawi. Dalam arti, mereka akan lebih mampu menggunakan rasio yang mereka miliki sebagaimana manusia adalah mahluk yang berakal.

Sehingga dalam memutuskan sesuatu, tidak serta-merta mereka akan berpatokan lagi terhadap apa yang belum riil, seperti pemahaman-pemahaman yang telah ada yang tidak menutup kemungkinan sudah tak bisa layak pakai lagi dalam suatu konteks.

Dengan berfilsafat juga, manusia pun akan mampu berpikir secara radikal. Radikal yang termaksud di sini adalah radikal yang universal, kritis/peka, dan menjauhkan seseorang dari sifat-sifat akuisme dan akusentrisme.

Olehnya, berfilsafat adalah hal yang sangat manusia butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Itu harus bertujuan hanya guna mengoleksi ilmu pengetahuan sebanyak mungkin. Dan, kalau bisa, itu akan membimbingnya untuk menerbitkan serta mengatur semua koleksi pengetahuannya dalam bentuk yang sistematis.

Hemat kata, filsafat membantu kita dalam menganalisis problem yang timbul dari pemikiran sendiri. Dan filsafat juga yang akan membawa kita kepada pemahaman, kemudian pemahaman itulah yang kelak akan mengarahkan kita ke dalam tindakan yang lebih layak.

Baca juga: