Saya, Perempuan Muda, dan Tarian Belati

Saya, Perempuan Muda, dan Tarian Belati
©Centre Phi

Perempuan muda itu selalu menyelipkan kata-kata vulgar. Bahkan cenderung seronok yang membuat saya makin tertarik.

1.)

“Jleb!”

“Kamu!”

“Ya, Pak!”

“Aduh, sakitnya!”

“Begitu juga yang saya rasakan, Pak! Sakitnya tuh di sini!” Telunjuk tangan kanan perempuan muda itu mengarah ke dadanya.

Saya kaget. Terkesima. Baru saja saya membalikkan tubuh, menatap langit-langit kamar,benda itu tiba-tiba menancap tepat di jantung. Sangat cepat. Saya tak menduga akan seperti ini yang terjadi. Sekarang benda itu masih menancap.

Saya melihat perempuan berusia 20 tahunan itu masih menggenggam belati, kemudian mendorongkannya dengan sekuat tenaga. Seperti ada kekuatan dahsyat dan mistis yang membantunya. Darah segar muncrat.

Mata perempuan itu menatap saya dengan tajam. Sangat tajam. Seperti ada nuansa dendam yang mewarnai sorot matanya. Layaknya ada dorongan tak kasat mata yang menghipnotis saya, sehingga saya menjadi tak berdaya. Sepatah kata pun tak bisa saya ucapkan.

Saya pening. Mungkin sebentar lagi saya pingsan. Mungkin tak lama lagi saya menemui ajal. Barangkali malaikat maut akan menjemput saya di kamar ini, di ambulans, atau di rumah sakit, saya tak tahu. Namun, saya masih mampu mengingat peristiwa-peristiwa yang telah lalu.

2.)

Melalui media sosial Facebook saya berkenalan dengan perempuan berusia 20 tahunan. Kemudian saya akrab. Bertegur sapa melalui inboks. Chatting dengannya. Setelah itu, karena pengakuannya, saya tahu bahwa ia wanita pekerja di panti pijat.

Sorot matanya tajam. Layaknya mata elang yang sedang mengintai mangsanya. Saya sangat menyukai matanya itu. Ya, matanya. Hingga akhirnya saya tersungkur tak berdaya. Saya menyukainya. Entah kekuatan apa yang mengendalikan saya hingga saya bisa jatuh hati kepadanya.

Namanya? Saya juga tak begitu peduli. Nama kota ataukah nama desa atau bahkan nama luar negeri, itu bukan urusan saya. Apa sih arti sebuah nama? Berbahagialah mereka yang memiliki nama yang simetris dan konsisten dengan ucapan dan perbuatannya. Soal namanya, ia berbohong atau tidak, saya juga tidak ambil pusing.

Akan tetapi, menurut pengakuannya, perempuan muda itu bernama Melankolia. Sesuai dengan foto profil yang tertera di Facebook, wajahnya memang melankolis. Alis matanya hitam legam dan tebal seperti alis mata milik penyanyi lagu Indonesia populer terkenal pada tahun 80-an, Andi Meriem Matalata. Di atas mulutnya terdapat kumis tipis, seperti milik penyanyi dangdut Iis Dahlia. Hidungnya seperti kebanyakan hidung perempuan Uzbekistan.

Jika chatting, perempuan muda itu selalu menyelipkan kata-kata vulgar. Bahkan cenderung seronok yang membuat saya makin tertarik. Sudah berapa puluh kali kata sayang diucapkan. Ini membuat saya makin tergila-gila kepadanya.

Pada saat chatting yang kesekian kalinya, saya sampaikan niat kepadanya. Saya sudah tak dapat menahan diri lagi. Saya ingin bertemu dengannya. Ingin bercengkerama dengannya. Ingin menumpahkan segala keluh kesah kepadanya.

3.)

Malam itu saya menemuinya di tempat dia bekerja. Ingin merasakan pijatan tangannya. Setelah bekerja seminggu, badan ini terasa sangat penat. Sangat capek. Saya masih ingat wajahnya yang melankolis itu.

Benar! Ketika saya memasuki bangunan kuno peninggalan Belanda yang berada di kawasan Kota Tua, saya bertemu dengan wanita yang saya kenal melalui Facebook. Di dalam bangunan tua yang kokoh dan luas itu saya dipersilakan masuk oleh penerima tamu. Saya lihat banyak juga laki-laki yang berkunjung ke sini. Setelah dihubungi dengan handphone oleh penerima tamu, perempuan muda yang saya cari itu datang. Ia mempersilakan saya masuk ke dalam kamar. Kamar Nomor 13 atau Kamar Mawar.

Di dalam kamar saya mengambil sebotol air mineral lalu saya meneguknya beberapa kali. Saya dipersilakan oleh perempuan muda itu agar membuka baju dan kaos oblong. Tanpa disuruh pun kemudian saya mencopot sepatu dan kaos kaki. Saya diberi handuk. Saya tengkurap di atas kasur. Udara dingin karena ruangan ber-AC. Lamat-lamat alunan suara Bob Dylan terdengar dari speaker di dalam kamar itu. Perempuan muda itu meminta izin keluar kamar sebentar. Katanya hendak mengambil sesuatu.

4.)

“Bapak masih ingat saya? Bertahun-tahun saya menunggu. Mencari waktu terbaik. Sekarang telah datang kesempatan ini. Ternyata Bapak cuma pecundang! Manusia kardus!” Perempuan itu berkata dengan nada marah. Saya tak mampu membalasnya. Hanya diam. Darah segar meleleh di dada saya. Saya mulai lemas. Saya tak mampu berbuat apa-apa.

“Saya mencari info ke mana-mana mengenai Bapak,. Tetapi tak berhasil. Saya hampir berputus asa. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Bapak malah mendekati saya. Meminta berkenalan melalui Facebook. Bapak rupanya masih menyimpan memori tentang saya,” kata perempuan muda itu masih dengan nada marah.

“Setelah memperkosa saya, di pengadilan Bapak ternyata memutarbalikkan fakta. Karena semua penegak hukum di negeri ini bisa Bapak beli. Memang karena uang semuanya bisa diatur. Hukum bisa direkayasa. Tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.Di pengadilan Bapak dimenangkan. Saya malah menjadi tersangka. Saya diputus oleh hakim telah bersalah. Hingga akhirnya saya masuk penjara. Menjadi penghuni hotel prodeo,” kata perempuan muda itu sambil menarikan belatinya di jantung saya.

Saya hanya diam. Mulut saya seperti terkunci. Mata saya berkunang-kunang. Saya tak memiliki kekuatan. Saya tak memiliki keberanian. Hanya mata saya yang melihatnya. Tak berkedip. Apa lagi yang akan diperbuatnya, saya tak tahu.

“Lima tahun, Pak, saya menghuni hotel prodeo! Sebagai pesakitan saya tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi saya tak memiliki lobi dan uang untuk meringankan hukuman saya. Namun, bayangan Bapak selalu menghantui saya. Wajah Bapak yang terlihat bersahabat itu ternyata hanya topeng! Mungkin Bapak lebih tepat dikatakan seperti musang berbulu ayam. Bahkan lebih dari itu, serigala berbulu domba!” Perempuan muda itu terus berkata dengan nada kecewa.

“Mungkin nanti saya akan kembali ke dalam penjara. Tetapi saya telah melunaskan sakit hati saya. Bayangan Bapak yang selalu hadir sebagai mimpi buruk, kini lenyap dan telah pergi. Dibawa hanyut badai dan bandang kesumat. Sekarang ini tak ada yang mengkhawatirkan saya. Tak ada yang menunggu saya. Karena semuanya telah Bapak rusak, sehingga saya dianggap tak memiliki martabat. Masa depan saya hancur!” kata perempuan muda itu lamat-lamat saya dengar.

5.)

Saya memasuki lorong yang sangat gelap. Saya cuma bisa merangkak. Tak ada seberkas sinar pun yang datang menerawang ke dalam lorong gelap itu. Saya tak menemui siapa pun, kecuali hanya kegelapan. Juga angin yang berkesiur menampar-nampar telinga saya. Saya juga tak menemui siapa pun. Sendiri.

Setelah melewati lorong, kemudian saya melalui jembatan besi. Di atas jembatan besi saya bisa berdiri meski berpegangan pada pagar besi yang ada di sebelah kiri dan kanan saya. Tiba-tiba tubuh saya menggigil. Tangan saya meraba besi pembatas jembatan itu kuat-kuat.

Mata saya melihat ke bawah. Air kali yang bening mengalir di bawah jembatan seperti mendidih dan bergelora. Akan tetapi, anginnya dingin. Sangat dingin. Batu besar dan hitam terlihat seolah-olah mengikuti saya.

Saya bulatkan tekad di dada yang masih terasa sakit. Saya ingin segera melewati jembatan itu. Saya ingin segera sampai ke sana, sebuah rumah kayu yang sangat kumuh, tak terawat, kotor, penuh dengan timbunan daun kering dan jaring laba-laba. Saya ingin beristirahat di sana.

Namun, tiba-tiba saja, di sebelah saya telah berdiri sesosok makhluk hitam menyeramkan. Siapakah dia? Saya tak tahu. Mungkin saja malaikat pencabut nyawa. Sungguh mengerikan. Saya berusaha memalingkan kepala. Karena tak ingin melihatnya. Akan tetapi, saya tak mampu menggerakkan kepala. Bahkan, setelah itu, tiba-tiba seluruh bagian raga saya lemas.

“Masukkan ke dalam lemari pendingin sebelum keluarganya datang!” Lamat-lamat saya mendengar suara itu. Setelah itu, saya tak melihat apa pun, kecuali hanya kegelapan. Saya juga tak tahu apa lagi yang terjadi kemudian.

Syukur Budiardjo
Latest posts by Syukur Budiardjo (see all)