
Setiap dari kita, terutama para perempuan, bila ditanya tentang adakah pengalaman mendengar atau menyaksikan teman mengalami kekerasan seksual, atau bahkan apakah mempunyai pengalaman mengalami hal tersebut, pasti menjawab pernah. Hal ini menjelaskan bahwa kekerasan seksual adalah hal yang sering terjadi dalam kehidupan kita.
Grafik laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang disusun Komnas Perempuan dalam Catahu (Catatan Tahunan) atau organisasi lainnya membantu kita mengenali seberapa banyak kita terbuka dan berani mengambil tindak tegas terhadap kekerasan yang terjadi.
Jawa Tengah adalah daerah tertinggi angka pelaporan kekerasan seksual terhadap perempuan. Sedangkan pada Papua dan Sulawesi Barat nyaris di titik nol. Tapi bukan berarti tidak ada kekerasan seksual di sana.
Kurangnya keberanian untuk terbuka dan melaporkan kekerasan seksual yang terjadi dapat disebabkan karena mitos dan stigma yang dapat melekat pada pribadi korban. Misalnya seorang korban yang ingin melaporkan pelecehan seksual terbayang bahwa nanti namanya akan menjadi buruk. Karena orang lain menyalahkan atas alasan kenapa pelecehan seksual itu terjadi padanya.
Undang-undang yang ada pun masih kurang dalam melindungi pelapor/korban. Akibatnya, kekerasan terhadap korban kemungkinan besar dapat meningkat setelah pelaporan. Seperti: penindasan kepada korban dari pihak polisi, pelecehan kembali oleh pelaku, dan pelecehan/penyudutan oleh masyarakat.
Contoh lain adanya ketakutan pengungkapan kasus kekerasan terdapat di Kulon Progo, Yogyakarta. Ketika ditelusur dalam organisasi pemerintah yang terdapat di masyarakat, ditemukan ada struktur yang berfungsi sebagai wadah yang menampung laporan kekerasan seksual, namun tidak ada kegiatan atau vakum.
Dan terdapat kecenderungan di daerah tersebut untuk menyelesaikan konflik kekerasan seksual secara kekeluargaan dan menghindari jalur hukum.
Ketakutan lainnya yang mendorong korban untuk tidak mengungkapkan perlakuan seks menyimpang yang menimpanya juga disebabkan pertimbangan korban akan perasaan pasangan pelaku dan hubungan kekerabatan mereka.
Baca juga:
Adapun muatan kebijakan atas kasus kekerasan seksual (di sini disebut perbuatan cabul yang berarti merendahkan berkenaan dengan seks dan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan) dalam KUHP, yaitu tentang kejahatan kesusilaan, perbuatan cabul, dan perkosaan.
Bila ditilik lebih dalam, undang-undang yang ada dibuat dengan menitik-beratkan pada pelaku kekerasan seksual. Tidak menyediakan perlindungan atau penyembuhan untuk korban. Demikian juga, terdapat ketimpangan lain dalam RKUHP. Antara lain: soal peragaan penggunaan alat kontrasepsi yang harus dengan izin dari departemen bersangkutan.
RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) dibuat dengan menitik-beratkan kebijakan pada kepentingan korban. Yakni: perlindungan, ganti rugi, dan perawatan pasca-kekerasan, serta payung hukum yang diperlukan.
Tetapi meski sudah diupayakan agar semua individu dapat terlindungi dengan RUU ini, masih saja ada perkataan yang terkesan menyudutkan dari masyarakat. Itu karena mereka belum memahami kandungan rancangan tersebut. Antara lain bahwa RUU PKS mendukung keberadaan LGBT.
Di sini perlu dijelaskan bahwa RUU PKS melindungi siapa pun, termasuk LGBT, bila mengalami kekerasan seksual. Jadi, dukungan yang diberikan adalah mengenai keamanan dari kekerasan.
Daftar Pustaka:
- Komnas Perempuan, Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2019
- Remotivi, Yang Bersembunyi di Balik Berita Cabul
- Tempo, Pelecehan Seksual dan Hukum Kita
- Kompas, Siapa yang Bisa Dipidana dalam Pasal soal Alat Kontrasepsi di RKUHP?
- Sekelumit tentang Pentingnya RUU PKS untuk Segera Sah - 12 Oktober 2019
- Membudayakan Cinta Buku Melalui Film - 19 September 2019
- Luviana dan Perlawanannya atas Diskriminasi Media dalam “More Than Work” - 13 September 2019